“Hayo lekas periksa dengan teliti dan kalau kau tidak bisa memberi obatnya, awas dan jaga kepalamu!”
Kemudian pintu kamar itu terbuka dan Lie Bun pura-pura tidur sambil mengintai dari balik bulu matanya.
Ternyata Swat Cu masuk dan diikuti oleh seorang tua yang berambut putih dan berpakaian sebagai sastrawan. Wajah kakek itu halus dan gerak-geriknya pun halus dan terang sekali bahwa ia seorang terpelajar.
Lie Bun tidak tahu bahwa Swat Cu telah memaksa orang tua itu datang ke kamarnya dan tidak tahu pula bahwa orang tua itu adalah Lie Ban Tong, tabib yang terkenal sekali di Nan-king sehingga mendapat julukan tabib dewa.
Karena keadaan dalam kamar itu sudah agak gelap, maka Swat Cu lalu menyalakan sebatang lilin. Tabib itu sambil dekatkan lilin pada muka Lie Bun, mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti. Jari-jari tangannya yang halus itu beberapa kali mengusap- usap kulit muka Lie Bun hingga Lie Bun harus bertahan kuat-kuat karena merasa geli.
Setelah pemeriksaan beberapa lama, tabib itu berkata. “Kau tenanglah. Aku sanggup obati muka ini!”
Lie Bun berdebar hatinya. Diobati? Apa maksudnya? Tapi kedua orang itu bertindak keluar dan ia tidak keluar dan tidak mendengar apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk dan membawa makanan dan air dalam mangkuk.
“Siocia persilakan makan malam, kongcu,” katanya sambil meletakkan hidangan itu di dekat pembaringan.
“Terima kasih, eh di manakah aku sekarang? tanyanya.
Pelayan itu tertawa kecil. “Kau berada di kamar siocia! Sejak pagi tadi kau tidur saja!”
“Apa? Kamar siocia yang mana? Kau maksudkan pangcu?”
Pelayan itu mengangguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Pangcu atau Oey-siocia itu sudah berlaku baik sekali terhadapmu dan ia bahkan telah menyerahkan kamarnya untukmu sedangkan ia sendiri tidur di kamar lain. Kau harus berterima kasih atas budi kecintaannya ini, kongcu!”
Lie Bun tidak jadi berdiri dan ketika pelayan itu meninggalkannya, ia duduk termenung.
Alangkah baiknya nona Swat Cu itu. Baru saja kenal telah merawatnya begini baik, bahkan telah bersusah payah mendatangkan tabib untuk mengobati mukanya.
Tiba-tiba ia terkejut ketika teringat akan kata-kata pelayan tadi. Budi kecintaan? Apakah nona yang gagah dan menjadi pangcu itu cinta padanya? Tak mungkin nona gagah dan cantik itu cinta padanya, sedangkan ia buruk rupa?
Ia lalu mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa pagi tadi. Cinta Kasih Murni (Tamat)
TIBA-TIBA ia teringat dan ia loncat bangun lagi. Ah, bukankah nona itu tertarik dan kagum padanya karena pertempuran tadi?
Mungkin nona itu sangat kagum setelah ia mengusir ketiga musuhnya dan jatuh cinta. Tapi tabib itu? Lie Bun tersenyum pahit. Tentu saja Swat Cu ingin sekali melihat ia menjadi tampan, jadi betapapun juga, gadis ini tidak menyukai mukanya yang buruk, dan yang disukai hanyalah kepandaiannya saja.
Tentu akan lain halnya kalau ia tidak berkepandaian tinggi. Ah dan ia menjadi
kecewa. Tapi karena kepalanya masih terasa berat, ia lalu makan sedikit dan tidur lagi dengan nyenyaknya!
Pada keesokan harinya, ia mendengar lagi suara tabib yang lemah lembut itu, disusul suara Swat Cu yang lembut.
“Kau sungguh keras hati, nona. Kau kuat menunggu aku sampai semalam penuh membuat obat itu, sungguh mengagumkan!” tabib itu memuji.
Lie Bun terkejut, jadi tabib itu dengan Swat Cu telah sibuk semalam penuh dalam pembuatan obat untuk mukanya! Cepat Lie Bun bangun dan bereskan pakaiannya lalu ia membuka pintu kamarnya.
Ternyata tabib itu sedang duduk menghadapi secangkir teh dan di depannya duduk Swat Cu yang rambutnya agak kusut dan mukanya mengantuk. Dan di dekat cawan teh itu tampak sebuah bungkusan kecil.
Melihat Lie Bun telah bangun, Swat Cu berdiri dan menyambutnya dengan senyum. “Lie-taihiap, enakkah tidurmu?”
Melihat sikap ini, Lie Bun merasa tidak enak kalau tidak menjawab, maka iapun berkata.
“Terima kasih atas segala kebaikanmu, pangcu. Sekarang perkenankanlah aku kembali ke hotelku dan maafkan bahwa selama ini aku telah mengganggumu.”
“Eh, Lie-taihiap, nanti dulu. Silakan duduk dulu, taihiap.” Terpaksa Lie Bun duduk di atas sebuah bangku.
Tabib itu lalu berkata kepada Swat Cu. “Kau telah tahu cara menggunakannya, nona yakni kuulangi lagi. Masak dengan air semangkuk sampai airnya habis. Lalu campur dengan embun yang terkumpul di ujung daun-daun bambu sampai basah betul.
Biarkan menempel di muka sampai satu hari satu malam lamanya, pasti akan berhasil dan sembuh!”
Setelah berkata demikian, tabib itu lalu berpamitan dan meninggalkan tempat itu sambil membawa sebuah bungkusan yang tampak berat, agaknya uang perak hadiah dari Swat Cu.
“Pangcu, sekarang terpaksa aku juga harus pamit,” kata Lie Bun sambil berdiri.
“Tunggu sebentar, taihiap. Aku merasa sangat kagum dan berterima kasih kepadamu. Untuk menyatakan terima kasihku, maka sukalah kau terima pemberianku ini. Bukan barang berharga, melainkan semacam obat yang kau telah mendengar sendiri cara pemakaiannya tadi. Sesungguhnyaaku ingin sekali diberi kesempatan untuk mengobati mukamu, taihiap. Aku ingin sekali bahwa aku dan tanganku sendiri yang mengerjakan pengobatan itu, tapi ” gadis itu menundukkan mukanya dengan pipi
kemerah-merahan.
Celaka, pikir Lie Bun. Dugaannya benar! Ia merasa tidak enak kalau menolak pemberian ini, karena ternyata betapa gadis ini dengan sabar menunggu tabib itu mengerjakan dan membuat obat ini sampai semalam penuh. Maka ia lalu berkata sambil tersenyum.
“Pangcu, kau benar-benar baik hati. Baiklah, pemberianmu kuterima dengan senang hati dan terima kasih. Tapi aku tidak berani mengganggumu dan membuatmu repot, pula akupun sebenarnya tidak ingin menjadi tampan. Tapi ” sambungnya ketika
melihat betapa Swat Cu merasa terpukul dengan pernyataan ini. “Siapa tahu, mungkin sewaktu-waktu aku perlu dengan obat pemberianmu ini.” Setelah berkata demikian, maka Lie Bun terima bungkusan obat yang telah diangsurkan oleh Swat Cu itu.
“Nah, selamat tinggal, nona. Aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang yang baik dan ramah tamah.”
“Tapi, tapi ..... kau hendak kemana taihiap? Tidakkah kau kembali lagi kesini?”
Lie Bun tersenyum. “Tentu, kalau aku kebetulan lewat kota ini, tentu aku akan mampir kesini.”
“Ah, alangkah baiknya kalau kalau kau suka di sini, taihiap.”
“Tak mungkin, nona. Aku harus kembali ke tempat tinggalku di Bi-ciu.”
Maka, Lie Bun tinggalkan nona kepala copet yang lihai itu dengan perasaan kasihan, sungguhpun ia tahu bahwa nona itu mencintainya karena kepandaiannya, bukan karena sewajarnya.
Setelah tiba dihotelnya, Lie Bun keluarkan bungkusan obat itu dan ia pandang obat yang ditaruh di atas meja itu lama sekali. Timbul perang di dalam hatinya.
Alangkah baiknya kalau ia pakai obat itu dan ternyata berhasil. Ia akan berubah tampan, kulit mukanya akan putih dan cakap, seputih Lie Kiat, secakap kakaknya itu.
Ia akan disukai orang, tidak diejek dengan julukan si muka buruk lagi. Ia akan dapat membanggakan kecakapannya. Ia akan dicintai oleh ya oleh siapa? Apa artinya
dicintai seluruh orang di muka bumi ini kalau Kwei Lan tidak mencintainya?
Kwei Lan tidak mungkin mencintainya karena gadis itu kini telah menjadi isteri Lie Kiat, telah menjadi kakak iparnya. Tapi Kwei Lan juga tidak tergila-gila muka
tampan. Sekarang, setelah tiada seorangpun gadis yang diharapkan olehnya, untuk apa ia menjadi tampan? Tiada guna! Dengan tak terasa ia ambil obat itu dan masukkan ke sakunya.
Pada hari itu juga Lie Bun melanjutkan perjalanannya karena ia dengan sengaja tinggalkan kota itu cepat-cepat agar dapat terlepas dari Swat Cu.
Ia melakukan perjalanan sepanjang pantai laut timur dan tidak lupa tiap kali bertemu dengan peristiwa yang membutuhkan bantuan tenaganya, ia selalu melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa demi membela kebenaran dan keadilan.
Karena sepak terjangnya yang memang menggemparkan berkat kepandaiannya yang tinggi itu, sebentar saja namanya sebagai Ouw-bin Hiapkek telah menjadi terkenal sebagai seorang pendekar muda yang budiman, yang selalu membantu orang yang kesusahan.
Setelah merantau kurang lebih enam bulan, maka Lie Bun lalu putar arah perjalanannya menuju pulang. Kini ia ambil jalan darat dan tempuh perjalanan yang sangat jauh itu dengan berkuda.
Juga pada waktu pulangnya, di tiap tempat yang dilewatinya, ia selalu melepas tenaga membela mereka yang perlu ditolong. Ia sengaja tidak melewati Nan-king, tapi memutar ke selatan melalui Han-kou.
Beberapa bulan kemudian tibalah ia kembali di kotanya.
Kalau dihitung semenjak ia tinggalkan kota itu pergi merantau, maka ia telah pergi kurang lebih sebelas bulan. Nyata bahwa ia tidak boleh pergi lebih lama dari pada setahun.
Ketika ia hendak masuk pekarangan rumah orang tuanya, hatinya sudah dak dik duk tidak karuan karena ia takut kalau-kalau ia akan bertemu dengan Kwei Lan yang pasti sudah menjadi isteri Lie Kiat dan tinggal di rumahnya itu.
Tapi ia heran karena di rumahnya sunyi saja. Seorang pelayan yang melihat datangnya segera lari masuk memberi laporan dan sebentar kemudian ayah ibunya berlari-lari keluar menyambutnya.
Lie Bun memberi hormat kepada mereka dengan girang dan ibunya senang sekali melihat puteranya yang kedua ini kembali dengan selamat, bahkan tampak lebih matang air mukanya.
Karena melihat kesunyian rumah itu, Lie Bun serentak bertanya. “Ayah, ibu, mana twako?”
Ayah dan ibunya saling pandang hingga Lie Bun merasa terkejut dan menyangka yang bukan-bukan.
“Dimana dia?” Lie Bun mendesak. Ayahnya menjawab sambil menghela napas. “Ia di belakang, mungkin di kebon seperti biasa.”
Lie Bun lalu berlari-lari ke belakang, dipandang oleh ayah dan ibunya sambil geleng- geleng kepala.
Benar seperti kata ayahnya, Lie Kiat sedang duduk di pinggir empang sambil melamun. Ia tampak sedih sekali dan ketika ia menengok dan memandang Lie Bun.
Lie Bun terkejut melihat betapa wajah yang tampan itu kini nampak tua. Padahal Lie Kiat baru juga berusia paling banyak dua puluh tiga tahun.
“Twako, kau kenapa? Dan mana isterimu?”
Lie Kiat pada waktu melihat adiknya datang, wajahnya menjadi girang, tapi hanya sebentar. Apalagi ketika Lie Bun bertanya demikian, mukanya menjadi muram.
“Ah, nasibku memang ternyata lebih buruk darimu, Lie Bun!” “Kenapa, twako, kenapa? Apa belum juga kau kawin?”