Pengemis Tua Aneh Chapter 29

NIC

“Sudahlah, sudahlah! Kau mau pergi, pergilah! Siapa yang hendak menahanmu?” “Twako, kau memaafkan aku?”

“Sudahlah, jangan ulang-ulangi lagi hal itu!” Lie Kiat lalu banting diri di atas pembaringan sambil gunakan kedua tangan tutupi telinganya.

Lie Bun lalu tinggalkan kakaknya dan setelah berpamit kepada ayah ibunya, ia pergi dengan cepat.

Keadaannya kini jauh berbeda dari pada dulu ketika ia merantau bersama suhunya.

Dulu ia hidup sebagai seorang pengemis. Tapi sekarang ibunya memaksa ia membawa cukup uang guna belanja selama ia merantau. Pakaiannya juga bagus dan di dalam bungkusan pakaian yang berada di punggungnya masih ada barang dua stel pakaian baru.

Lie Bun menuju ke Timur karena ia ingin menjelajah sepanjang pantai laut timur yang terkenal indah.

Untuk menghibur hatinya yang terluka, ia sengaja ambil jalan air dan naik perahu sepanjang sungai Yang-ce menuju ke timur. Makin ke timur, sungai ini makin melebar dan pemandangan makin indah.

Lie Bun berlayar seorang diri dan membiarkan perahunya dibawa hanyut di pinggir sungai. Beberapa pekan kemudian, tibalah ia di Nan-king, kota yang sangat besar dan menjadi pusat kebudayaan itu.

Ia mendarat dan dengan penuh kagum di dalam hati. Ia berjalan sepanjang jalan yang lebar dan melihat-lihat rumah-rumah dan bagunan-bangunan dengan ukiran-ukiran indah.

Ketika ia masuk ke dalam sebuah jalan yang ramai dan banyak sekali orang. Tiba-tiba di tempat yang agak berdesakan ia merasa betapa sebuah tangan dengan cepat sekali menyambar bungkusannya. Tapi lebih cepat lagi jari telunjuk Lie Bun menyambar

dan dapat menotok pergelangan tangan itu hingga pergelangan itu menjadi lumpuh dan bungkusan yang telah disambar itu dijatuhkan kembali.

Lie Bun segera pungut buntalan pakaiannya dan ia melihat wajah seorang setengah tua meringis kesakitan sambil memandangnya dengan heran.

Kemudian copet itu lalu melarikan diri dengan cepat di dalam tempat yang ramai dan penuh sesak itu.

Lie Bun menghela napas. Ternyata tidak hanya rumah-rumah, jalan-jalan dan barang- barang yang istimewa di dalam kota besar ini. Bahkan tukang copetnya juga istimewa karena ia harus akui kelihaian tukang copet tadi yang sekali bergerak saja buntalan yang diikatkan di punggungnya telah kena disambar.

Untung ia cepat dapat menggunakan totokan dengan satu jari, yakni ilmu totok It-ci- sian, untuk merampas kembali buntalannya. Kalau tidak, entah bagaimana kalau sampai pakaian dan uangnya semua hilang! Ia tersenyum geli kalau teringat betapa pencoleng itu lari sambil membawa luka di pergelangan tangannya karena totokannya itu. Kalau bukan orang yang telah melatih ilmu totok ini dengan sempurna, sukar agaknya untuk memulihkan kembali pergelangan tangan itu.

Biarlah, tentu ia akan mencari aku dan minta pertolonganku, pikir Lie Bun. Dan pemuda ini lalu mencari kamar dalam sebuah hotel yang memakai merk “Lo-seng”.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah ia bersihkan badan, pelayan hotel memberikan sebuah sampul merah kepadanya.

“Surat ini untuk kongcu,” katanya.

Dengan menyembunyikan rasa herannya, Lie Bun menerima surat bersampul merah itu. Ketika ia buka sampulnya , maka ia mencium bau harum keluar dari sampul itu.

Ia tarik keluar suratnya yang berwarna merah muda. Tulisannya bagus dan halus. Nyata tulisan tangan seorang wanita. Ia membaca dengan heran.

Lie-taihiap yang terhormat,

Kelihaian taihiap telah kami rasakan melalui seorang anggota kami, maka kami kagum sekali kepada taihiap.

Sukalah taihiap memberi kehormatan pada kami dengan menghadiri pertemuan yang kami adakan hari ini di loteng rumah makan Ayam Emas.

Menanti dengan hormat, Cian-chiu Sin-touw

Lie Bun kagum sekali dengan kelihaian orang yang menulis surat ini. Baru saja ia datang, orang sudah tahu akan namanya.

Yang menandatangani surat adalah Cian-chiu Sin-touw atau Malaikat Copet Tangan Seribu, tentu inilah copet di kota ini. Ia lalu bertanya kepada pelayan hotel di mana letaknya rumah makan Ayam Emas.

“Ah, kongcu belum tahu letaknya Kim-kee-tian? Itu adalah rumah makan terbesar dan yang paling mahal di kota ini.”

Pelayan itu lalu memberi petunjuk kepada Lie Bun dan ia makin menaruh hormat. Karena biasanya orang yang mencari dan makan di rumah makan itu tentu tamu yang padat kantongnya.

Setelah bersiap, Lie Bun pergi ke rumah makan Ayam Emas. Ketika ia tiba di depan rumah makan itu, seorang setengah tua menyambutnya dengan menjura hormat sekali.

Lie Bun tersenyum karena ia segera kenal wajah ini, yaitu wajah pencopet yang kemaren mencoba mencopetnya! Ketika ia lirik pergelangan tangan orang itu, ternyata totokannya telah dibuka orang! “Siauwte kemarin telah menerima pelajaran dari taihiap, harap taihiap maafkan. Pangcu kami menanti taihiap di loteng dengan para saudara lainnya.”

Lie Bun balas memberi hormat, lalu ikut pencopet itu naik ke loteng. Ternyata loteng itu luas sekali. Tapi agaknya perkumpulan copet itu telah memborongnya karena keadaan sunyi sekali dan para tamu hanya memenuhi ruang di bawah saja.

Ditengah-tengah ruang atas itu tampak sebuah meja yang besar dikelilingi bangku- bangku sebanyak lima belas buah. Meja itu penuh masakan dan arak, sedangkan di situ telah duduk beberapa orang.

Ketika Lie Bun menghampiri, semua orang berdiri dan alangkah heran dan kagetnya Lie Bun ketika yang menyambutnya adalah seorang gadis kira-kira berumur dua puluh tahun yang berwajah cantik. Gadis itu mengenakan pakaian serba hijau dan sikapnya gagah sekali. Sebuah kantung piauw tergantung di pinggangnya dan wajah yang cantik itu diberi warnah merah-merah sehingga menambah kecantikannya.

Gadis itu tanpa malu-malu dan dengan ramah tamah mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.

“Lie-taihiap, silahkan duduk di tempat penerimaan kami yang buruk.”

Lie Bun balas memberi hormat. “Bolehkah aku yang bodoh ini mengetahui dengan siapa aku bertemu?”

Gadis itu tersenyum genit dan matanya mengerling tajam. “Aku yang rendah adalah Cian-chiu Sin-touw sendiri, pemimpin dari perkumpulan kami di kota ini. Mari, mari silakan, taihiap!”

Kemudian Malaikat copet tangan seribu yang bernama Swat Cu itu memperkenalkan Lie Bun kepada orang-orang yang kesemuanya merupakan pemimpin-pemimpin copet dari berbagai kota!

“Taihiap diundang ini untuk menjadi tamu kehormatan kami, karena kami tahu bahwa taihiap orang asing di sini. Kami mengagumi totokan It-ci-sian yang lihai dan maklum bahwa taihiap bukan orang sembarangan. Justru kami paling suka bersahabat dengan orang-orang pandai. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pertemuan tahunan untuk memilih pengurus baru, maka mungkin sekali hal ini menggembirakan taihiap. Karena inilah taihiap kami undang.”

Kemudian mereka makan minum dengan gembira karena ternyata bahwa mereka kesemuanya terdiri dari orang-orang yang pandai bergaul. Terutama Swat Cu pandai sekali bergaul dan sangat ramah tamah kepada Lie Bun, yang merasa tertarik sekali dan seakan-akan telah kenal lama dengan gadis baju hijau ini.

Lie-taihiap, apakah membawa kartu undangan?” tiba-tiba Swat Cu bertanya sambil memandang pemuda itu sambil tersenyum.

Lie Bun mengangguk dan meraba sakunya. Tapi alangkah herannya karena saku itu telah kosong dan kartu undangan itu telah lenyap. “Bukankah ini kartu undangan itu?” Swat Cu berkata sambil mengeluarkan sampul merah itu dari kantung bajunya yang lebar.

Lie Bun terkejut, karena baru saja ia menduga-duga sampai di mana kepandaian gadis yang menjadi kepala copet ini. Tahu-tahu dirinya telah dijadikan korban demonstrasi. Tanpa diketahuinya tahu-tahu kartu itu telah dicopet Swat Cu.

Lie Bun tertawa dengan muka merah dan hanya bisa berkata. “Kau sungguh lihai sekali, pangcu!”

Kini ia tahu bahwa yang membuka totokannya pada pergelangan lengan pencopet itu tentu gadis ini juga. Ia kini ingat bahwa tadi ketika mempersilakan ia duduk, gadis itu berada dekat sekali dan agaknya meraba bajunya sambil mempersilakan. Dan tentunya ketika itulah digunakan oleh gadis itu untuk mencopet isi sakunya.

Setelah makan-minum cukup, Swat Cu lalu berdiri dan berkata.

“Nah, cuwi yang terhormat. Sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk menuju ke tempat perkumpulan kita dan mengadakan pemilihan. Lie-taihiap, kami tetap mempersilakan taihiap ikut dengan kami untuk menambah pandangan kami. Taihiap tetap menjadi tamu kehormatan kami.”

Karena merasa tertarik gembira melihat orang-orang yang begitu ramah tamah tapi yang sebenarnya adalah kepala-kepala copet yang lihai. Lie Bun mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

Kemudian mereka beramai-ramai turun dari loteng itu dan menuju keluar kota sebelah barat.

Dan yang mereka sebut rumah perkumpulan itu bukan lain adalah sebuah perahu layar besar yang berlabuh di pinggir sungai Yang-ce.

Mereka lalu masuk ke dalam perahu itu yang ternyata cukup besar hingga dalamnya merupakan ruang yang cukup lebar. Di situ juga telah dipasang meja kursi dan semua orang lalu duduk mengitari meja. Swat Cu memimpin pertemuan itu dan membukanya sambil berkata.

“Cuwi, sebagaimana terjadi tiap tahun, kali ini kita bersama hendak memilih ketua baru di antara kita. Dan tiap orang yang hadir mewakili kota masing-masing. Tahun yang lalu aku mendapat kehormatan untuk memimpin perkumpulan ini dan sekarang aku hendak serahkan kedudukan ini kepada siapa yang terpilih.”

Seorang yang telah tua tapi matanya tajam angkat bicara.

“Pangcu, lebih baik kau letakkan kedudukan atau lepaskan kedudukan sebagai ketua lebih dulu. Kemudian baru dipilih seorang ketua baru dan kau masih berhak juga untuk menjadi ketua baru itu.”

Semua orang setuju. “Tapi kalau pangcu melepaskan kedudukannya, siapa yang akan memimpin pemilihan ini?” tanya seseorang.

Seorang berdiri dan berkata. “Aku tidak setuju kalau ketua lama berhak dipilih lagi. Pantasnya ketua harus seorang pria!”

Yang berkata ini adalah seorang yang masih muda dan tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya. Tubuhnya tegap dan mukanya kejam.

“Aku setuju dengan pendapat ini!” kata seorang lain yang juga masih muda dan brewokan mukanya.

Swat Cu berdiri dengan tenang. “Siapa lagi yang setuju dengan pendapat ini?” Tak seorangpun menjawab.

“Jiwi,” kata Swat Cu kepada dua orang itu. “Jangan kira bahwa akupun terlalu suka menjadi pangcu. Kalau aku bukan anak pangcu yang lama dan dipilih oleh semua pemimpin daerah, tak nanti aku mendapat kedudukan ini. Nah, saudara-saudara sekalian. Karena kita harus berlaku adil, maka tidak tepat kalau kini setelah aku letakkan jabatan pangcu, lalu memimpin kembali rapat ini. Lebih baik kita minta tolong kepada Lie-taihiap untuk membantu kita sebentar dengan pemilihan ini.”

Posting Komentar