Pengemis Tua Aneh Chapter 22

NIC

“Ayah ...... ibu ”

Sebelum kedua orang tua itu kenali Lie Bun, tahu-tahu Lie Bun sudah menubruk dan memeluk kaki ibunya.

”Ibu ...... anakmu A Bun datang !”

“A Bun ? nyonya Lie memekik.

“Lie Bun .....! Kau ??” Lie Ti berseru.

Mereka lalu berpelukan dan Lie Bun mencucurkan air mata. Air mata bangga. Lie Kiat masuk dan tertawa sambil berkata kepada ibunya.

“Nah, apa kataku dulu, ibu? Si Topeng Setan itu pasti akan kembali!” “Lie Kiat! Jangan kau sebut adikmu demikian!” tegur ibunya.

Tapi Lie Bun dengan air mata masih membasahi pipi tersenyum. “Biarlah, ibu. Twako memang nakal, bahkan ia telah memberi nama baru padaku, yaitu Si Muka Hitam.”

“Memang, dia adalah Ouw-bin Hiap-kek yang berkepandaian tinggi sekali. Ayah, kau akan heran melihat kepandaian silat si Muka Hitam ini!” kata Lie Kiat.

Maka bergembiralah sekeluarga dengan kembalinya Lie Bun hingga pemuda itu yang telah merantau dan hidup menempuh serta menghadapi kepahitan dan perjuangan hidup beserta suhunya selama tujuh tahun, kini merasa aman dan tenteram.

Setelah berdiam di rumah beberapa lamanya, tahulah Lie Bun bahwa kakaknya menuntut hidup yang royal dan mewah sekali. Dan bahwa Lie Kiat selalu dimanja oleh orang tuanya. Ibunya dengan wajah susah pernah berkata kepada Lie Bun tentang kakaknya.

“Lie Bun, kakakmu itu memang bandel dan bengal. Ia telah ditunangkan dengan seorang gadis dari keluarga baik-baik dan kaya, juga gadis itu cerdik dan cantik. Tapi A Kiat itu masih saja bergaul dengan segala macam perempuan tak keruan di luaran. Bahkan sekarang ia mempunyai seorang kekasih, kabarnya dari kalangan persilatan, seorang gadis kasar yang tak pandai bermain jarum, tapi pandai bermain pedang. Ah, ngeri aku memikirkannya, seorang gadis bermain-main dengan pedang tajam.

Sungguh berbahaya!”

Ibunya yang cantik dan halus gerak-geriknya itu geleng-geleng kepala dengan wajah susah.

Lie Bun memandang ibunya dengan tersenyum geli. “Barangkali twako cinta kepada gadis berpedang itu!”

Ibunya hanya geleng-geleng kepala. “Kau jangan tiru-tiru adat kakakmu, A Bun!”

Tapi di depan Lie Kiat, ibu yang menyintai anaknya ini tak pernah membicarakan soal ini. Karena kasihan melihat ibunya, pada suatau hari Lie Bun dengan berterang berkata kepada kakaknya.

“Twako, aku dengar kau mempunyai seorang kawan baik yang lihai ilmu pedangnya dan cantik rupanya.”

Lie Kiat memandangnya dengan mata melotot. “Eh, eh! Kau tahu dari mana?”

“Dari mana aku tahu bukan soal penting, yang terpenting ialah betul atau tidak?” Lie Bun menggoda sambil tertawa.

Lie Kiat bersungut-sungut. “Ah, kau anak-anak tahu apa! Jangan ikut-ikut urusan orang dewasa!”

Lie Bun cemberut tak puas. “Twako, jangan lupa, aku telah berusia delapan belas tahun. Bukankah umur sebegitu itu sudah dewasa namanya?” “Biarpun sudah dewasa, kau tahu apa tentang perasaan cinta!”

Lie Bun tiba-tiba teringat akan Kwei Lan, gadis Lo-wangwe yang jelita dan belum pernah terlupa olehnya itu dan ia merasa hatinya seperti tertusuk. Tapi ia cepat tekan perasaannya dan tersenyum sambil menggoda kakaknya.

“Ah, kalau begitu kau sudah jatuh cinta rupanya? Koko, perkenalkanlah aku kepada calon sosoku itu!”

Tiba-tiba Lie Kiat termenung. “Itulah yang membingungkan hatiku,” katanya perlahan.

Lie Bun pegang lengan kakaknya yang berkulit halus putih. “Ada apakah, twako?”

“Aku telah ditunangkan kepada seorang gadis keturunan hartawan oleh ayah dan ibu, yakni gadis dari kota Lun-kwan.”

“Apakah kau tidak suka kepada gadis itu?” tanya Lie Bun. “Suka sih suka. Orangnya cantik manis dan terpelajar pula.” “Habis, mengapa kau mengeluh? Itukan beruntung namanya.”

“Ah, kau tidak tahu! Bukankah kau tadi bilang aku mempunyai seorang kawan yang pandai main pedang?”

“Ooooo jadi ada gadis lain yang telah mencuri hatimu?” Lie Bun berseru

menggoda.

“Lie Bun, jangan main-main, kupukul kau nanti! Ini bukan urusan kecil. Pikiranku bingung sekali.”

Lie Bun tidak mau menggoda lebih lanjut dan ia tarik muka sungguh-sungguh.

“Twako, mengapa harus dibingungkan? Kau tinggal pilih mana yang kau sukai dan kawinilah dia, habis perkara.”

Lie Kiat termenung dan berkata. “Aku ingin mengawini dua-duanya, dua-duanya

berat bagiku. Yang seorang terpelajar dan cantik jelita, sedangkan yang lainnya gagah dan manis.”

Lie Bun pandang kakaknya dengan mata terbelalak dan ia garuk-garuk kepalanya. “Dua-duanya ??”

Suara adiknya membuat Lie Kiat memandangnya dengan tajam.

“Ya, dua-duanya! Habis kau mau apa? Siapa yang berhak melarangku? Apa salahnya kalau aku ambil dua-duanya?” “Eh, aku sih tidak apa-apa, tapi .... tapi ... ini berabe juga !”

“Sebetulnya Cui Im tidak keberatan, tapi tunanganku, pilihan ayah ibu itu tentu merasa keberatan, dan ayah ibu sendiri ah, aku bingung, Lie Bun!”

“Siapa itu Cui Im, twako?”

“Gadis kedua,” jawabnya pendek.

“Twako ” kata Lie Bun perlahan agar jangan mengagetkan kakaknya yang sedang

termenung dengan wajah murung.

“Ada apa?” jawab kakaknya acuh tak acuh. “Sebetulnya kau beruntung sekali.”

Lie Kiat memandang adiknya dengan heran. “Beruntung? Apa maksudmu?” “Kau menyinta dan dicinta oleh dua orang gadis cantik.”

Kalau sekiranya Lie Kiat tidak terlalu berwatak mementingkan diri sendiri, tentu ia akan mendengar betapa di dalam pernyataan Lie Bun ini terkandung rintihan jiwa menderita rindu. Tapi Lie Kiat yang tak pernah memikirkan orang lain itu hanya menjawab.

“Cui Im memang cinta padaku. Tapi anak hartawan Lun-kwan itu belum tentu. Akupun baru satu kali melihat orangnya!” Tiba-tiba Lie Kiat merasa bangga karena kata-kata adiknya itu dan timbul pikirannya untuk membanggakan nona kekasihnya kepada adiknya ini.

“Lie Bun, hayo kau ikut aku ke rumahnya!” tiba-tiba ia berkata. “Ke rumahnya? Rumah siapa, twako?”

“Hayo, ikut saja!”

Keduanya lalu tinggalkan rumah mereka dan Lie Kiat ajak adiknya menuju ke Lun- kwan. Ia sengaja ambil jalan memutar, melalui sawah-sawah yang sunyi karena ia hendak gunakan ilmu lari cepatnya untuk menguji kemampuan adiknya.

Tapi sebenarnya dalam hal ilmu lari ia masih jauh di bawah Lie Bun, hanya karena memang Lie Bun beda wataknya jika dibandingkan dengan Lie Kiat. Pemuda ini selalu merendengi kakaknya dan tidak mau memamerkan kepandaiannya.

Kota Lun-kwan terletak di sebelah selatan Bi-ciu dan jauhnya hanya tiga puluh li. Maka dengan ilmu lari cepat mereka, tak lama mereka tiba di Lun-kwan dan Lie Kiat ajak adiknya menuju ke sebuah rumah yang kecil sederhana. Seorang gadis yang usianya tak lebih dari tujuh belas tahun dan berwajah manis dan berpakaian sederhana menyambut mereka dengan girang. Lie Bun melihat betapa sepasang mata gadis itu berseri gembira ketika melihat Lie Kiat.

“Koko, aku telah mendengar tentang kemenanganmu. Kionghi, kionghi! Kau hebat sekali, koko!” Kemudian setelah mempersilahkan mereka duduk, gadis itu melanjutkan kata-katanya dengan sikap manja.

“Dan akupun mendengar tentang adikmu yang katanya telah mengalahkan Hok Hwat Hwesio. Benarkah itu?”

Lie Kiat tersenyum manis. “Cui Im, adikku itu sebetulnya biasa saja kepandaiannya dan ia banyak mendapat petunjuk dari aku. Nah, ini dia orangnya. Perkenalkan, inilah Ouw-bin Hiap-kek, adikku, namanya Lie Bun.” Kemudian kepada Lie Bun ia berkata. “Nah, inilah Cui Im yang kuceritakan padamu tadi!”

Cui Im memandang kepada Lie Bun dengan kagum dan heran, sedangkan Lie Bun segera berdiri dan angkat kedua tangan memberi hormat. “Cui-siocia, aku merasa terhormat sekali dapat berkenalan dengan kau.”

“Ah, silahkan duduk. Jangan sungkan-sungkan, Lie-taihiap. Kau sungguhpun masih muda tapi kepandaianmu hebat sekali. Sungguh membuat aku kagum,” Cui Im memuji.

Kemudian mereka bertiga mengobrol dengan gembira. Kebetulan sekali Cui-hujin, yakni janda ibu Cui Im, sedang keluar hingga gadis itu berada seorang diri di rumahnya.

Lie Bun melihat betapa keadaan gadis itu miskin, tapi ternyata sikap gadis itu ramah sekali dan pandai bergaul hingga sangat menyenangkan dan cepat sekali ia merasa tertarik. Pantas saja kokonya jatuh hati kepada gadis itu, pikirnya. Dan ia tidak salahkan Lie Kiat dalam hal ini.

Ia lalu teringat akan ibunya. Ah, ibunya adalah keturunan bangsawan. Tentu saja ibu menghendaki seorang anak mantu yang selain cantik jelita juga halus dan pandai mengerjakan segala macam kerajinan tangan.

Lie Bun ingin sekali melihat sampai di mana tingkat permainan pedang Cui Im. Tapi ia tidak berani menyatakan keinginannya ini. Hanya berkata dengan menyimpang.

“Cui-siocia, dari saudaraku ini aku mendengar bahwa kau adalah ahli ilmu pedang. Bolehkah kiranya aku mengetahui siapa gerangan gurumu yang mulia?”

Cui Im tersenyum dan tampaklah dua lesung pipit yang manis di kanan kiri pipinya.

“Lie-koko memang bisa saja memuji-muji orang,” katanya sambil mengerling ke arah Lie Kiat. “Siapa sih yang pandai silat pedang? Aku hanya bisa gerakkan satu dua jurus saja dan guruku adalah Leng Leng Nikouw dari kelenteng Hwe-thian-sie.”

Maka timbullah watak Lie Kiat yang selalu ingin memamerkan sesuatu. “Moi-moi, cobalah kau perlihatkan satu dua jurus ilmu pedangmu yang indah itu kepada adikku!” katanya gembira.

Posting Komentar