Ia lalu memondong tubuh puterinya dan Han Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak mengenal budi. Setelah tiba di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin Lian dan telunjuk tangan Han Han. Hebat sekali cara kakek ini membenarkan sambungan tulang karena setelah diurut sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja telah sembuh kembali.
"Pengalamanmu hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa pentingnya mempelajari ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu, bukan hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku melihat bakat yang amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di antara sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua ilmuku, Han Han."
"Akan tetapi, locianpwe, aku tidak ingin belajar silat."
"Coba sajalah. Dan pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah mengenal seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka sekali. Sementara ini, biarlah engkau akan menerima menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung untuk membalas budi kepadaku. Bagaimana?"
Kakek itu memang cerdik. Ia telah mengenal bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa, memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal budi. Karena itu, ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak. Anak ini sudah mempelajari kitab tentang budi pekerti sampai mendarah daging, di mana diajarkan bahwa setiap budi yang dilepas orang harus dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi sendiri yang dicurahkan kepada orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan segera dilupakan.
"Baik, locianpwe."
"Bagus, Han Han. Sekarang engkau telah menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu (Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih muda darimu."
"Baik, suhu, teecu (murid) mengerti."
Makin kagum hati kakek itu dan timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan orang biasa ketika mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu, kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan paikwi (menyembah) sampai delapan kali. Ia mengangkat bangun muridnya itu dan berkata,
"Han Han, muridku, sebagai seorang murid, pertama-tama engkau harus mengerti apa yang menjadi kewajiban utama seorang murid?"
"Teecu mengerti. Harus taat dan berdisiplin. Taat terhadap segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam memegang tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap guru."
Kalau tadi Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran dan tercengang.
"Sin Lian, dengar baik-baik omongan sutemu (Adik Seperguruan) ini. Engkau dapat belajar banyak dari dia, Han Han, pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama dari suhumu, kau ceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu dan bagaimana engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup seorang diri."
Han Han terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia sudah mengambil keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya yang terbakar, di mana terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat wajah tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si Brewok dan Si Muka Kuning. Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya. Ia menundukkan mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya, mendadak ada rasa aneh sekali di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu terbanting pada dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini berdenyutan keras, seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya menjadi pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk.
"Teecu tidak dapat menceritakan itu...."
Tiba-tiba Sin Lian mencela dengan suara keras dan nyaring,
"Sute (Adik Seperguruan)! Engkau ini murid macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan pertama kau telah tidak mentaati perintah guru."
Han Han makin marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan yang lebih muda daripadanya akan tetapi telah menjadi kakak seperguruannya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata aneh, seperti orang terpesona, terbelalak keheranan. Dengan hati marah Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki.
"Kau bocah cerewet. Kau seperti seekor monyet yang menari-nari."
Mendadak terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan menggerakkan kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik,
"Aku seekor monyet.... menari-nari...., Aku seekor monyet yang menari-nari....."
Dan ia menari-nari dengan gerakan lucu, seolah-olah ia meniru gerakan monyet. Lauw-pangcu tadinya mengira bahwa Sin Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak memperolok-olok dan mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak puterinya yang manja itu,
"Sin Lian! Hentikan itu."
Akan tetapi, puterinya yang biarpun manja namun selalu mentaati perintahnya itu, masih saja berjoget, secara aneh dan lucu sambil terus berbisik,
"Aku seekor monyet menari-nari.... seekor monyet menari-nari...."
Terkejutlah Lauw-pangcu. Ia menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini menyinarkan cahaya yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti mengeluarkan api, demikian tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak mampu menggerakkan bola mata, membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu, seperti melekat, seperti tertarik besi sembrani. Ia mengerahkan sin-kang, berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han Han, padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh wibawa, penuh pengaruh luar biasa.
"Suhu sudah tua, tidak perlu merisaukan suci yang nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur daripada menjengkelkan kelakuan suci...."
Terjadi keanehan ke dua. Kakek itu menguap dan mulutnya berkata lirih,
"Auhhh, aku sudah tua.... ingin mengaso dan tidur...."
Lalu kakek itu pun merebahkan kepala di atas meja, berbantal lengan dan tidur. Han Han melongo saking herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus menari-nari sambil berbisik-bisik,
"Aku seekor monyet yang menari-nari.... seekor monyet...."
Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih tidur nyenyak. Melihat ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso dan tidur daripada mempedulikan Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih terus menari-nari seperti telah menjadi gila. Dari bingung, Han Han menjadi ketakutan dan diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
"Suhu...., Suhu.... Bangunlah, suhu....."
Lauw-pangcu serentak bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya.
"Apa.... apa yang terjadi....?"
Tanyanya seperti orang habis bangun dari mimpi, padahal ia tertidur belum ada dua menit. Ketika ia menoleh ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai pengalaman yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun, ia sudah dapat menguasai perasaannya, cepat ia melompat mendekati Sin Lian yang masih menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal itu, menangkap pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian mengeluarkan suara merintih perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan ayahnya.
"Dia.... dia kenapa, Suhu? Suci mengapa tadi....?"
Tanya Han Han, khawatir juga menyaksikan semua itu karena kini ia dapat menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan menari-nari untuk mengejeknya. Kakek itu hanya menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar lalu berkata lirih,
"Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur."
Kemudian ia mengajak Han Han keluar.
"Han Han, mari kita bicara di luar."
Dengan hati tidak enak Han Han mengikuti gurunya keluar kamar dan duduk di ruang depan pondok kecil itu. Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah muridnya dengan pandang mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han dan ia menunduk.
"Han Han, pandanglah mataku."
Perintah kakek itu. Han Han mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan jantung kakek itu berdebar. Mata yang hebat, Ia merasa betapa sinar mata itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya tergetar. Seperti mata iblis. Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang terasa hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun kakek ini mengerahkan sin-kangnya,
Akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang. Padahal ia telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki tenaga mujijat? Harus kucoba lagi. Berpikir demikian, Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh Han Han menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar saja karena kakek itu telah menotoknya kembali, membebaskannya. Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas bahwa anak ini tidak mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang mengerti ilmu silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas penyerangan terhadap dirinya.
Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu, tidak berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa akan serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya yang hebat. Adapun Han Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh gurunya membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih kembali, menjadi heran dan penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya. Akan tetapi ia menganggap suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang dan seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang kedua pundaknya dengan cekalan erat, mata kakek itu menatapnya penuh selidik dan terdengarlah pertanyaannya dengan suara keras mendesak.
"Han Han"
Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam hypnotism)?"