Pendekar Super Sakti Chapter 05

NIC

"Tentu seorang kongcu yang menyamar menjadi pengemis."

"Eh! Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga bukan pengemis."

"Lagak dan sikapmu seperti kongcu. Kau patut menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu."

Han Han penasaran.

"Biarpun pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis. Aku makan dari hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti yang aku bantu membongkar muatan terigu."

"Ahhh, begitukah?"

Sin Kiat menghela napas dan menunduk.

"Kalau aku.... aku pengemis tulen."

Han Han merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia memegang lengan anak itu dan berkata,

"Engkau sampai menjadi begini akibat perang...., bukan kehendakmu, Sin Kiat."

Tiba-tiba Sin Kiat berkata penuh semangat.

"Kalau sudah besar aku akan menjadi seorang perajurit seperti mendiang Ayahku"

Bahkan aku akan menanjak menjadi Perwira. Kau lihat saja."

Han Han tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira.

"Nih, kau ambil lagi rotinya,"

Ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut kawan baru itu. Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata,

"Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?"

"Hah? Kalau perlu tentu saja boleh."

"Bagus. Engkau benar-henar anak jempol, Mari ikut aku."

Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota. Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan.

"Mana teman-teman yang lain? Ada rejeki datang."

Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri.

"Pergi mengemis ke pasar,"

Jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul.

"Katanya ada pembesar meninjau pasar."

"Huh, bodoh. Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti menerima cambukan para pengawal yang galak,"

Kata Sin Kiat mengomel.

"Itulah sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,"

Kata pengemis ke dua.

"Aku benci melihat pembesar...."

Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut.

"Hmmm...., anak-anak, hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?"

Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya, pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.

"Lopek, silakan makan roti kering seadanya."

Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya.

Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja. Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan gembira. Han Han lalu menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung keluarganya. Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara mendesak,

"Kek, kau ajarlah aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira."

Kakek itu membuka matanya, menjawab malas.

"Aku tidak bisa silat...."

"Bohong...., Kakek bohong....."

Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak. Akan tetapi kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.

"Kemarin dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajar kami ilmu silat, Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang sekalipun takkan menjadi habis."

Han Han kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera berkata.

"Aku tidak suka belajar silat."

"Hehhh??"

Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa. Sin Kiat memegang lengannya dan bertanya.

"Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?"

"Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan."

Kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis kerempeng.

"Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita minta."

Kata bocah pengemis yang lain.

"Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,"

Kata pula Sin Kiat. Han Han menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita ketiga orang anak ini.

"Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si lemah. Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak. Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya."

Kakek yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa.

"Ho-ho-ho. Omongan takabur dan menyeleweng jauh, bocah. Omongan sombong, Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya. Ilmu silat telap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih tajam daripada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha."

Han Han tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek gembel itu. Teringat ia akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung daripada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek gembel. Melihat betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.

"Hayolah, Kek, ajar kami ilmu silat."

"Aku tidak bisa ilmu silat."

"Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat mereka roboh,"

Bantah Sin Kiat.

"Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat)."

"Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat."

Kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang kawannya. Kakek itu menggeleng kepala.

"Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku."

Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali. Han Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah mengikuti kakek itu.

"Heiiiii...., Ehhh....?"

Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari pundaknya, namun tidak herhasil.

Posting Komentar