Mati bukan apa-apa untuk membela kebenaran. Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang enghiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing penjilat. Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat. Bukankah peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga, nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada harganya sama sekali. Terdengar jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya putih seperti susu baru diperas.
Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan mukanya sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka yang halus itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit tak dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup oleh Si Perwira Brewok yang lebar. Tiba-tiba terdengar teriakan serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut. Bangga hati Han Han melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau, meloncat bangun dan sambil berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira Brewok. Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri yang tepat mengenai dada ayahnya.
"Dukkk....."
Tubuh Sie Bun An terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini sejak kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai ilmu silat, maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira brewok itu, ia terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An benar-benar telah menjadi seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati membuat ia seperti tidak merasakan nyeri akibat pukulan itu dan sambil berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat tempat duduk perwira muka kuning yang masih menciumi isterinya dan meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi, perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan....
"Blesssss....."
Pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung. Tubuh Sie Bun An menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh genangan darahnya yang masih mengucur keluar dari perut dan punggung. Han Han hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan cicinya menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira muka kuning sambil tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri dan Si Brewok berkata dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain yang masih duduk.
"Rumah ini boleh dibersihkan, suruh anak buah masuk membantu."
Setelah berkata demikian, Si Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan belakang, diikuti oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie.
Dua orang wanita ini menjerit-jerit akan tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Adapun lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di luar, mereka ini meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya. Dengan tubuh menggigil saking marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke belakang dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Ia sudah mengambil keputusan nekat untuk mati bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong ibunya, menolong cicinya. Tanpa mengenal takut lagi anak ini berlari-lari menuju ke kamar ibunya. Akan tetapi sebelum ia memasuki kamar ibunya yang sunyi saja,
Tiba-tiba ia mendengar jerit cicinya di kamar sebelah, yaitu kamar cicinya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu dan apa yang disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cicinya menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu brewok yang hendak memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam mulut Si Perwira. Pakaian gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang terengah-engah dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu meronta dan melawan, makin senanglah hatinya. Dalam pandangan Han Han, ia seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan seekor tikus kecil sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika tiba-tiba terdengar suara ibunya.
"Leng-ji (Anak Leng).... anakku....."
Suara ini terdengarnya demikian memilukan sehingga Han Han mengurungkan niatnya menolong cicinya, atau terlupa karena seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya. Agaknya Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya dan kini pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, ketika mendengar jerit Sie Leng, timbul kekuatannya dan meronta sambil memanggil anaknya. Ia berhasil melepaskan diri daripada cengkeraman kedua tangan perwira muka kuning dan dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu. Namun sekali melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan melemparkannya ke atas pembaringan sambil tertawa.
"Heh-heh, biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh."
Kembali ia menubruk nyonya itu dan pada saat itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya, ia berteriak nyaring dan menerjang maju, memukuli punggung perwira muka kuning, menjambak rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
"Ehhh, Bocah setan.... Mau apa kau....?"
Perwira itu menoleh, tanpa menghentikan usahanya menggelut Nyonya Sie.
"Han Han....! Pergilah...., Pergilah jauh-jauh dari sini....."
Nyonya Sie bergerak dan membelalakkan mata melihat puteranya.
"Ibu....."
"Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu saja."
Si Perwira Muka Kuning meloncat, menjambak rambut Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan tetapi Han Han tidak takut, melotot dan kedua tangannya berusaha memukul. Perwira itu lalu menampari mukanya.
"Plak-plak-plak-plak."
Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak, mulutnya mengeluarkan darah. Namun anak itu masih memandang dengan mata melotot, penuh kebencian kepada perwira muka kuning.
"Han Han....."
Nyonya Sie menjerit. Perwira itu membanting tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu rebah miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang. Kemudian kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali mengenai dadanya. Tubuh anak itu terlempar membentur dinding. Kepalanya terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak itu roboh tak sadarkan diri, mukanya membengkak dan matang biru sehingga matanya tidak tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula hidungnya.
"Han Han....."
Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di seluruh rumah itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang berharga, dan lapat-lapat terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara ketawa yang parau dari perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning. Malam yang amat mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi di dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan. Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia beradab.
Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira karena malam-malam jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan baginya. Han Han tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera teringat dan cepat bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan main, berdenyut-denyut keras, kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya sesak. Ia tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya menggeletak di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu berlepotan darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang rendah dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus sehingga kepala itu letaknya terlalu miring sehingga aneh kelihatannya.
"Ibu....."
Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya, terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan tetapi matanya terbelalak memandang leher yang hampir putus, mata yang terbuka, mata yang tidak bersinar lagi.
"Ohhh.... ohhh.... Ibuuuuu....."
Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat ibunya, pingsan kembali. Rumah gedung Keluarga Sie yang telah dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah siasat para perwira tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah hancur menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu habis dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan bahwa mereka itu diperkosa atau dibunuh? Tidak ada seorang pun tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung terlewat oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Dalam keadaan seperti itu seperti yang terjadi pada setiap negara yang dilanda perang,