Pendekar Pemabuk Chapter 23

NIC

“Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?” Tin Eng mendesak pula tidak sabar.

“Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa pertolonganku.”

Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya, lalu berkata. “Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu ini.”

“Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barang- barangmu. Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu ”

“Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali kepadaku,” kata Tin Eng memotong.

Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum. “Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka memberi sedikit ‘uang lelah’ kepada kawan kami itu.”

Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak mempunyai uang. Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata,

“Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku? Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya.”

“Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari kau lihat sendiri buktinya!” Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.

Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.

Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.

“Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!” kata Tin Eng yang sengaja bernapas tersengal-sengal. Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya,

“Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!” Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai tertinggal lagi. Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan yang bertentangan.

Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja sedangkan yang lain hanya mendengarkan.

Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan tersenyum,

“Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!” Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi uang kepada ketua maling ini.

“Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?” Tin Eng membentak marah. “Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala botak sambil mengancam.

“Kitab sudah berada di tangan mereka,” kata si maling yang berkepala botak itu sambil melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa dan berkata,

“Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!”

Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.

Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.

Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.

Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata, “Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!”

Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali.

“Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!”

Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia menjawab,

“Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima uang pengganti seratus tail.”

Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui. “Jadi kau mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?” tanyanya.

“Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!” kata Tin Eng yang sudah menjadi tidak sabar lagi.

“Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?”

Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala.

Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi, “Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?”

Tin Eng menjadi hilang sabar. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!” Ia menggerak-gerakkan pedangnya.

Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing.

“Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya, baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahun- tahun mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu.” “Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah menyerbu dan menyerangnya.

“BAGUS, kalian mencari mampus!” teriak Tin Eng yang segera memutar pedangnya sedemikian rupa menurut gerakan-gerakan Sin-eng Kiam-hoat. Sebetulnya pelajaran pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari oleh Tin Eng masih belum matang betul, akan tetapi ilmu pedang itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan tidak tersangka sehingga seakan-akan merupakan seekor Garuda Sakti yang menyambar dan menyerang mempergunakan paruh, sepasang cakar, dan sepasang sayapnya. Biarpun kedua orang itu mengeroyoknya dengan sengit, namun Tin Eng dapat mendesak mereka dengan serangan- serangan hebat.

“Kalau tidak dikembalikan kitab itu, kalian mampus!” Kembali Tin Eng mengancam oleh karena sesungguhnya ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya itu. Akan tetapi, kedua orang lawannya tanpa banyak cakap mengadakan perlawanan hebat, agaknya merekapun tidak mau mengalah dan hendak mempertahankan kitab itu dengan nyawa mereka.

“Twako, kau bawalah kitab itu kepada suhu! Biar aku yang menahan iblis wanita ini,” seru yang seorang dan orang yang membawa kitab itu lalu melompat jauh dan lari pergi. Tin Eng merasa marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba orang yang lari itu berseru girang,

Posting Komentar