Tentu saja hal ini amat mengejutkan mereka. Kepandaian para perwira itu bukan rendah, dan terutama sekali Ban Kong telah terkenal dengan ruyungnya. Akan tetapi kini menghadapi Thian-te Lo-mo, mereka belaan orang perwira itu seakan-akan menjadi tikus-tikus kecil menghadapi seekor kucing besar.
“Muridku, kau pergi antarkan mertua dan isterimu pulang! Aku mempelai tua hendak makan minum dulu dengan pangeran Ong!” kata Thian-te Lo-mo kepada Tiong San sambil melangkah ke pintu. Sedangkan para perwira yang masing-masing mendapat hadiah sabetan pada mukanya itu memandang dengan hati khawatir sekali. Melihat betapa kakek gila itu masuk ke dalam gedung, mereka tidak perdulikan Liong Ki Lok dan puterinya lagi, akan tetapi segera mengejar masuk ke dalam gedung.
Tiong San tertawa bergelak melihat perbuatan suhunya dan berseru, “Suhu, makanlah dulu sepuasnya, akan tetapi jangan habiskan semua, beri bagian kepada teecu!”
Pada saat itu, Liong Ki Lok dan Bwee Ji telah menghampirinya dan nona itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong San! Akan tetapi Tiong San segera memegang tangannya dan menariknya berdiri. Kemudian ia pegang pula tangan Liong Ki Lok dan segera lari sambil menarik tangan kedua orang itu meninggalkan kota raja!
Biarpun Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji telah memiliki kepandaian yang cukup baik dan ilmu lari cepat mereka juga tidak rendah, akan tetapi ketika digandeng dan ditarik oleh Tiong San, mereka merasa betapa kedua kaki mereka seakan-akan tidak menyentuh bumi, demikian cepatnya mereka lari!
Setelah tiba di luar tembok kota raja, Tiong San melepaskan tangan mereka dan berkata, “Nah, pergilah kalian ke mana kalian suka! Sekarang tidak ada bahaya lagi.” Mendengar ucapan ini, hati kedua orang itu merasa terkejut dan kecewa. Bwee Ji kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu oleh karena ia merasa bahwa pemuda ini beserta suhunya telah menolong jiwanya dari kesengsaraan atau kematian yang hebat.
“Inkong,” kata Liong Ki Lok sambil menjura, “Bukankah kau .... sudi menjadi suami anakku yang bodoh
....?”
Tiong San tertawa gelak-gelak mendengar ucapan ini, lalu menjawab, “Apa kau kira aku ini seorang gila?”
Ketika Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji memandangnya dengan heran mendengar kata-katanya ini. Ia lalu mengucapkan sebuah syair kuno dari seorang yang patah hati,
Kalau kau ingin hidup bahagia Terdapat tiga syarat
Dan pantangan utama:
Jangan mencari isteri, Jangan mencari kawan, Dan jangan mencari lawan! Berkawanlah dengan buku Berlawanlah dengan arak!
Selagi Liong Ki Lok dengan anaknya masih bengong memandang pemuda itu, tiba-tiba tubuh Tiong San berkelebat dan lenyap dari depan mereka, hanya terdengar suaranya yang sudah jauh. “Suhu, jangan habiskan hidangan-hidangan itu!”
Liong Ki Lok menarik napas panjang dan berkata, “Ia benar-benar gila, akan tetapi sakti dan berbudi!”
Sementara itu, Bwee Ji masih berlutut dan kini terdengar ia terisak-isak menangis. Hatinya telah tertambat kepada pemuda yang cakap, gagah dan berbudi itu dan akan bahagialah hidupnya apabila ia bisa menjadi isteri pemuda itu.
Tadi ia telah merasa amat girang ketika mendengar betapa pemuda itu agaknya bersedia menjadi suaminya. Tidak tahunya kini pemuda itu meninggalkannya dengan syair yang menunjukkan bahwa pemuda itu memandang rendah tentang pernikahan dan tidak sudi kepada wanita.
“Ayah .... di dunia ini tak mungkin ada orang kedua seperti dia ”
Mendengar ucapan ini, ayahnya maklum bahwa hati anaknya telah tertarik kepada pemuda itu. Maka sambil menarik napas panjang berkali-kali, ia lalu mengajak Bwee Ji pergi dari situ dengan cepat.
“Yang terpenting sekarang ialah mengajak ibu dan adik-adikmu segera pergi jauh sebelum jahanam- jahanam itu mendapat kesempatan mengejar.”
Mereka lalu berlari cepat menuju dusun Bi-lu-siang dan tanpa membuang waktu lagi mereka semua lalu pergi ke selatan, melarikan diri sejauhnya dari tempat yang berbahaya itu sambil selalu terkenang kepada Shan-tung Koay-hiap yang telah menolong mereka, akan tetapi berbareng juga mengecewakan hati mereka itu.
********************
Di ruang yang lebar dalam gedung pangeran Ong Tai Kun sedang diadakan pesta yang mewah dan gembira. Nampak empat buah meja persegi di ruang itu dan setiap meja dikelilingi oleh empat orang tamu yang semuanya berpakaian indah karena mereka ini adalah pembesar-pembesar belaka.
Mereka ini terdiri dari pangeran-pangeran dan orang-orang berpangkat dan belasan orang ini memang seringkali mengadakan perjamuan makan. Saling mengundang untuk bergembira ria menikmati hidangan- hidangan istimewa.
Di pojok kamar itu nampak serombongan penyanyi meramaikan suasana dengan nyanyian-nyanyian merdu sehingga mereka yang sedang berpesta menjadi makin gembira. Arak yang lewat di kerongkongan makin hangat dan wangi sedangkan masakan-masakan yang mereka makan makin lezat dengan mendengarkan lagu-lagu merdu yang dinyanyikan oleh nona-nona manis itu. Para penyanyi ini bukanlah rombongan penyanyi biasa, akan tetapi terdiri dari selir-selir tuan rumah sendiri. Maka tentu saja wajah mereka yang cantik-cantik itu membuat belasan orang tamu menjadi kagum.
Ong Tai Kun sendiri duduk berhadapan dengan tiga orang tamu yang mendapat kehormatan istimewa karena mereka ini adalah tiga orang berpangkat tertinggi di antara sekalian tamu. Seorang di antaranya yang berhadapan muka dengan Ong Tai Kun, adalah seorang pangeran pula, yakni pangeran Lu Goan Ong yang menjadi penasehat kaisar. Pengaruh pangeran Lu Goan Ong ini malahan lebih besar dari pada pengaruh pangeran Ong. Maka sudah tentu saja sikap Ong Tai Kun terhadapnya amat menjilat-jilat.
Sebagaimana pembaca masih ingat, pangeran Lu Goan Ong adalah pangeran yang dulu bertemu dengan Tiong San dan dua orang kawannya di telaga Tai-hu, dimana Thian-te Lo-mo mengamuk di atas perahu pangeran itu setelah perahu pangeran itu menubruk perahu ketiga pemuda itu.
“Kabarnya saudara Ong mendapatkan kembang baru yang segar, cantik dan juga pandai silat!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil tersenyum-senyum dan mengangkat cawan araknya lalu mengerling ke arah para penyanyi. “memang saudara Ong paling pandai memilih kembang hingga taman bungamu penuh dengan kembang-kembang cantik!”
Ong Tai Kun tertawa senang. “Lu-taijin terlalu memuji,” katanya. “Nona yang kau maksudkan itu belum datang, dua pekan lagi mungkin ia akan berada di sini. Akan tetapi selihai-lihainya wanita, ia hanya memiliki ilmu silat biasa saja. Kalau Lu-taijin suka kepada salah satu kembang di tamanku ini, tunjuklah saja dan tentu akan kupersembahkan untuk di tanam di taman bungamu!”
Lu Goan Ong tertawa gembira dan minum araknya. “Jangan, jangan!” Ia mengangkat kedua tangannya. “Di sana sudah cukup banyak. Kalau terlalu banyak sukar mengurusnya!”
Dua orang lain yang berada di kanan kiri mereka ikut tertawa senang, dan seorang yang duduk di sebelah kiri Ong Tai Kun berkata, “Kalau bungamu yang baru itu kepandaiannya dapat menyamai Gui-siocia di gedung Lu-taijin, barulah hebat!”
“Mana bisa menyamai Gui-siocia?” kata Ong Tai Kun. “Untuk jaman ini, Gui-siocia tidak ada keduanya, baik mengenai kecantikannya maupun mengenai kelihaian ilmu silatnya.”
Lu Goan Ong menarik napas. “Keponakanku Siu Eng memang cukup tinggi ilmu silatnya, akan tetapi hal itu membuat ia menjadi keras kepala. Banyak sahabat datang meminangnya, akan tetapi ia bersikeras tidak mau kawin dengan seorang yang tidak memiliki bun dan bu. Dan sukarnya, calon jodohnya harus dapat mengalahkannya!” Pangeran Lu Goan Ong menggeleng-geleng kepala seperti orang merasa jengkel.
Padahal sebenarnya ia merasa bangga sekali akan keponakannya itu, yakni nona Siu Eng. “Sudah banyak pemuda-pemuda yang amat baik, tinggi ilmu kesasteraannya, akan tetapi ia selalu menolak. Isteriku terlalu memanjakannya sehingga aku benar-benar merasa bohwat (kehabisan akal).”
“Mengapa Lu-ya demikian bingung?” kata orang yang duduk di sebelah kanan Ong Tai Kun. “Adakan saja sayembara di panggung lui-tai untuk mencari pemuda-pemuda yang yang lihai ilmu silatnya!”
Lu Goan Ong mrngangguk-angguk. “Memang sudah ada pikiran demikian dalam hatiku. Akan tetapi sukar juga karena Siu Eng hanya mau dijodohkan dengan pemuda yang selain pandai ilmu silat dan dapat mengalahkannya, juga harus pandai dalam ilmu kesusasteraan. Di mana ada pemuda yang berkepandaian lengkap seperti itu?”
“Ah, dia menghendaki seorang bun-bu-cwan-jai (pemuda gagah yang pandai silat dan sastra)!” kata Ong Tai Kun. “Memang tepat, karena kalau tidak demikian, mana dapat direndengkan dengan Gui-siocia?”
Pada saat Lu Goan Ong hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba matanya terbelalak memandang kepada seorang kakek berpakaian merah yang tiba-tiba muncul dari pintu dan masuk ke dalam ruangan itu.
“Thian-te Lo-mo ...” bisiknya dan wajahnya menjadi pucat. Semua orang memandang dengan kaget dan menjadi pucat karena semua pembesar dan pangeran ini biarpun di antaranya ada yang belum pernah melihat Thian-te Lo-mo, akan tetapi pernah mendengar nama kakek gila yang pernah menggegerkan istana kaisar dan seluruh kota raja!