"Guruku sekarang berada dalam pasukan perangnya Giam Ong," Sin Cie jawab, tetap dengan hormat, tak perduli orang tegur ia secara bengis. "Aku mohon cianpwee beramai sudi kembalikan emasnya Giam Ong itu. Aku janji lain hari akan minta guruku menulis surat kepada cianpwee untuk haturkan terima kasihnya."
Pemuda ini tidak hendak sebutkan nama gurunya.
"Siapa itu gurumu?" tanya Un Beng Tat, tertua yang pertama.
"Guruku itu jarang sekali berkelana dalam dunia Kangouw, karena itu tak berani aku yang muda menyebutkan namanya," Sin Cie jawab dengan hormatnya tak pernah ketinggalan.
"Hm!" berseru Un Beng Gie, tertua yang kedua. "Dengan kau tidak sudi menyebutkannya, mustahil kami tak mendapat tahu? Lam Yang, coba kau main-main dengan bocah ini!"
Dari antara rombongan itu keluar satu orang umur empat-puluh lebih, mukanya berewokan. Dia adalah putera kedua dari Jie-yaya Un Beng Gie ini. Dalam angkatan kedua dari Cio Liang Pay, dia ternama. Dia sudah lantas lompat kedepan Sin Cie, untuk terus kirim tonjokannya kearah muka.
Sin Cie berkelit, atas mana menyusullah kepalan kiri orang she Un itu. Pemuda kita lantas berpikir: "Mereka berjumlah banyak, jikalau mereka maju satu persatu, aku bisa celaka karena lelah. Jikalau aku tidak berlaku cepat, sulit untuk aku loloskan diri."
Maka itu, ketika kepalan kiri lawan sampai, mendadak Sin Cie angkat tangan kanannya, untuk menangkis sambil teruskan menyekal kepalan itu, setelah mana, ia menyempar kebelakang sambil tubuhnya sendiri menyamping.
Lam Yang tidak sempat lepaskan kepalannya itu, belum sampai ia menancap kaki, tubuhnya sudah terbetot kedepan, nyelonong, ketika kakinya injak genteng, genteng itu pecah dan ia terjeblos dan rubuh. Sukur untuk dia, Beng Go, sang paman yang kelima, masih keburu lompat untuk menarik dia, kalau tidak, tidak ampun lagi, dia pasti ngusruk kebawah genteng. Mukanya menjadi merah bahna malu dan gusar, tidak ayal lagi, ia maju menyerang pula. Ia menjadi sangat penasaran.
Sin Cie sudah bersiap. Tak bergeming dia ketika lawan mengancam. Hanya ketika serangan datang, ia putar tubuhnya, ia melengak, sambil berbuat mana, kakinya yang kiri berbareng terangkat! Segera, Un Lam Yang rubuh tengkurap! Menyusul sontekan kaki kirinya itu, Sin Cie pun ulur tangan kanannya, selagi kaki kirinya ditarik pulang, tangan kanannya sudah sambar baju dibelakang penyerangnya itu, ia menjambak, ia mengangkat. Maka tak sampailah mukanya Lam Yang beradu dengan genteng, malah dia terangkat hingga dia dapat berdiri pula.
Bukan main mendongkolnya orang she Un ini, tetapi tak dapat ia berkelahi lebih jauh, maka setelah awasi si anak muda dengan mata melotot, ia mundur sendirinya. "Ha, bocah ini benar-benar liehay!" berseru Beng Gie dalam gusarnya. "Biarlah lohu mencoba-coba main-main dengan muridnya seorang liehay!"
Jie-yaya ini segera juga geraki kedua tangannya, untuk mulai maju.
Dengan tiba-tiba, Un Ceng lompat kesamping orang tua itu, untuk berbisik : "Jie-yaya, dia telah angkat saudara denganku, jangan kau lukai dia. "
"Setan cilik!" orang tua itu kata dengan sengit. Masih Un Ceng cekal tangannya Beng Gie. "Kau toh mengabulkan, Jie-yaya?" katanya.
"Kau lihat saja!" kata si orang tua dengan keras seraya tangannya menyempar, atas mana pemuda itu terpelanting beberapa tindak, hampir saja dia rubuh tegruling.
Un Beng Gie maju dua tindak kearah pemuda kita. "Kau maju!" ia membentak.
"Aku tak berani," sahut Sin Cie seraya ia rangkap kedua tangannya.
"Kau tak hendak menyebutkan nama gurumu, maka kau seranglah aku tiga jurus," Beng Gie kata. "Nanti aku lihat, bisa atau tidak aku kenali siapa gurumu itu."
Panas juga hatinya Sin Cie melihat kejumawaan orang tua ini.
"Jikalau begitu, biarlah aku berlaku kurang ajar," kata dia akhirnya. "Apa jang aku bisa ada sangat berbatas, karena itu, aku minta cianpwee menaruh belas kasihan terhadapku. "
"Lekas mulai!" membentak pula Un Beng Gie. "Siapa kesudian ngobrol denganmu!"
262 Sin Cie segera menjura hingga dalam, sampai tangan bajunya mengenai genteng, kemudian setelah ia mulai berbangkit, dengan tiba-tiba tangan bajunya itu menyambar kearah si orang tua agung-agungan itu. Serangan itu mendatangkan siuran angin keras.
Beng Gie terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Segera ia ulur tangannya, akan sambar tangan baju itu.
Sin Cie menyambar dengan tangan kiri, ketika ia disambar, ia berjingkrak, tangan kirinya itu ditarik pulang, akan tetapi sebagai gantinya, tangan bajunya yang kanan menyambar pula dengan tak kalah sebatnya, mengarah kemuka! Kembali Beng Gie terperanjat. Kembali satu serangan sebat diluar dugaan. Tak sempat dia menangkis. Sedang dia mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, selama separuh umurnya, ia hidup diantara "gunung golok dan rimba tumbak," pengalamannya ada banyak sekali. Terpaksa ia ngelengak kebelakang untuk luputkan diri dari sambaran itu.
Sin Cie tidak mau kasih ketika untuk orang balas serang dia, segera dia memutar tubuh.
Un Beng Gie sudah berdiri pula dengan tetap, ia lihat gerakan orang ia duga anak muda ini hendak angkat langkah panjang, maka ia memikir untuk menghajar supaya pemuda itu tak dapat lolos. Belum sampai tangan kanannya dikeluarkan, mendadak ia rasai pula sambaran angin, kali ini ia tampak, kedua tangan Sin Cie bergerak dengan berbareng, mirip dengan sambaran ular, kedua tangan itu nyelusup kearah dua iganya! "Itulah tangan baju belaka, apa artinya umpama kena terserang?" pikir jago tua ini. Maka ia ulur kedua tangannya, dengan niat sambar tangan baju orang itu, untuk digentak. Cepat luar biasa, kedua ujung tangan baju dari Sin Cie sudah sampai pada sasarannya, mengenai dengan jitu kepada atasan pinggang Jie-yaya dari Un Ceng. Dua kali telah terdengar siara nyaring karena sambaran jitu itu.
Berbareng dengan kaget, Un Beng Gie rasai ia sesemutan. Dilain pihak, lawannya sudah loncat mundur. Setelah putar tubuhnya, anak muda ini mengawasi sambil berdiri tegak.
Un Ceng telah saksikan gerakan tubuh yang sangat gesit dan luar biasa itu, ia heran hingga hampir ia berseru.
Un Beng Gie malu dan mendongkol sekali. Tidak perduli ia adalah seorang dengan banyak pengalaman, ia masih tidak bisa kenali, ilmu silat apa itu yang digunai si anak muda, yang main ujung baju... Sebenarnya, pada pertama kali, Sin Cie sudah gunai ilmu silat Hok-hou-ciang dari Bok Jin Ceng, yang kedua kali , itulah ilmu mengentengkan tubuh pengajaran Bhok Siang Toojin, dan yang ketiga kali adalah buah-hasil peryakinan dari "Kim Coa Pit Kip" peninggalan Kim Coa Long-kun. Ini ada ilmu pukulan "Siang Coa Coan ek" atau "Sepasang ular nyelusup ke ketiak", sedang kedua tangannya sengaja diumpati didalam ujung tangan baju. Tentu sekali Un Beng Gie bingung karenanya, sedang pertempuran mereka ada seperti sejurus demi sejurus dan tak ambil tempo lama.
Juga Un Beng Tat dan tiga saudara lainnya berdiri bengong, mereka saling mengawasi, hati mereka penuh dengan keheranan.
Dalam murkanya, Un Beng Gie menyerang pula secara sangat mendadak. Wajah masih merah-padam, alis dan kumisnya bagaikan bangun berdiri. Tangannya menyambar seraya perdengarkan angin berkesiur. Dibawah sinar si Puteri Malam, Sin Cie lihat kepala musuh seperti mengebulkan uap, suatu tanda jago tua itu dikrumuni hawa-amarah meluap-luap, dan gerakan kakinya ayal akan tetapi mantap, menunjuki lweekang yang telah mencapai puncak kesempurnaan. Melihat demikian, tak berani ia untuk permainkan pula orang tua itu.
Atas serangan hebat itu, pemuda ini berkelit sambil mendak kate. Dua kali ia bebaskan diri secara demikian ketika serangan lain menyusul dengan tangan yang sebelahnya. Ia pun secara diam-diam sudah lantas gulung tangan bajunya. Selanjutnya ia melayani dengan Hok-hou- ciang, ilmu pukulan "Menakluki harimau".
Setelah penyerangannya yang pertama dan kedua itu, serangan-serangan Un Beng Gie tak lagi sesebat sebagai semula, akan tetapi setiap pukulannya hebat, berat, saban- saban ada angin yang mengikutinya atau mendahului.
Sin Cie terperanjat apabila satu kali ia tampak tegas telapakan tangannya. Tangan itu bersinarkan cahaya merah bagaikan darah.
"Ha, kiranya dia ahli tangan jahat!..." katanya dalam hati. Itulah "Cu-see-ciang" (tangan Cu-see) atau "Ang-see chiu" (tangan Pasir Merah). Ia ingat keterangan gurunya perihal liehaynya ilmu pukulan itu, yang tak boleh mengenai sasaran atau orang akan bercelaka. Karena ini, lantas ia ubah sikapnya. Ia berkelahi dengan kedua tangannya digeraki pergi dan pulang dengan pesat sekali, dengan tak ada putusnya, untuk cegah desakan berulang- ulang lawannya.
Selagi pertempuran berjalan sangat seru, mendadak Un Beng Gie rasai sakit pada lengan kanannya, tidak tempo lagi ia mencelat jauh, akan pisahkan diri, setelah mana, ia lihat bagian tangannya yang sakit itu. Lengan itu merah dan bengkak! Ia mengerti bahwa ia telah kena dibentur, tapi ia pun segera mengerti, orang telah berlaku baik kepadanya, kalau tidak, tangan itu bisa bercelaka. Walaupun begini, ia mendongkol, cuma sekarang tak lagi ia hendak lanjuti pertempuran itu.
Selagi pertempuran tertunda itu, Un Beng San, Sam- yaya, maju hampirkan anak muda kita.
"Wan Lian-hia," katanya dengan tenang, "begini muda usia kaum bugeemu liehay sekali. Marilah, lohu ingin sekali belajar kenal dengan menggunai alat-senjata!"
Lekas-lekas Sin Cie berikan jawabannya.
"Tak berani aku yang muda datang kesini dengan membekal senjata," ia menampik.
Sam-yaya itu tertawa besar.
"Kau kenal baik adat istiadat," katanya. "Tentang kau bisalah dibilang, karena bugee liehay, nyalimu jadi besar. Tidak apa. Mari kita pergi ke lian-bu-thia!"
Lain-bu-thia itu adalah thia atau ruangan untuk belajar silat.
Sembari mengundang, Un Beng San loncat turun kebawah genteng. Tindakan ini diturut oleh semua rombongannya.
Sin Cie loncat turun , ia ikut masuk kedalam rumah. Selagi mereka itu berjalan, Un Ceng dekati si anak muda,
akan kisiki dia : "Didalam tongkat ada senjata rahasianya!"
Bercekat hatinya Sin Cie.
Tidak lama sampailah mereka di lian-bu-thia. Sin Cie tampak tiga thia yang besar ditengah-tengah mana ada satu pekarangan yang lebar. Kesitu pun lantas berkumpul lain- lain anggauta dari keluarga Un yang besar itu, karena keluarga ini punyakan anggota-anggota, lelaki dan perempuan, yang semua gemar ilmu silat. Semua mereka hendak nonton pertandingan. Malah diantara mereka kedapatan bocah-bocah umur tujuh atau delapan tahun.