Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 37

NIC

Orang kosen macam begini kalau tidak memukul orang masih mendingan, sekali memukul orang.

maka pasti jatuh korban nyawa.

Dengan sendirinya si jongos hotel menjadi waswas, karena takutnya sehingga pertanyaan Peng-say tadi tidak terdengar olehnya.

Peng-say malah menyangka jongos itu tidak mau memberi keterangan, ia tahu orang begini perlu disogok.

cepat ia mengeluarkan sepotong perak satu tahil dan dijejalkan ke tangan si jongos.

Dengan gugup jongos itu berkata: "Ah, mana hamba berani menerima uang tuan besar, ada urusan apa silakan anda tanya saja." "Tidak apa2.

terimalah," bujuk Peng-say dengan tertawa.

Melihat Peng-say bersikap ramah dan tertawa, jongos itu menjadi berani, uang perak itu disimpannya, lalu berkata dengan munduk2: "Silahkan Toaya duduk di dalam!" "Tidak.

aku cuma ingin tanya nona tadi " "O, nona yang tadi itu, beliau.

she Soat, sungguh baik hati dia, sudah lebih sebulan dia tinggal di hotel kami, uang tip yang dikeluarkannya setiap kali selalu satu tahil penuh, sebaik hati anda sekarang ini," demikian jongos itu bertutur dengan cengar-cengir.

Peng-say salah dengar, dia rada kecewa dan menegas: "O, nona itu she Soat?" "Soat, bukan Sat, Soat dari salju," cepat si jongos menjelaskan.

"Ehm, kiranya sama leluhur denganku," Peng-say manggut2.

"Apakah dia tinggal bersama seorang lelaki muda?" Si jongos tidak lantas menjawab, tapi lebih dulu menjilat pantat.

katanya: "Ah, kiranya anda juga she Soat" Sungguh she yang bagus.

uang perak sama putih, salju juga putih, putih lambangnya suci.

kelak anda pasti akan bertambah kaya raya lantaran she Soat." Setelah mengusap ilernya yang berhamburan, jongos itu menyambung lagi: "Nona itu masih perawan, manabisa tinggal bersama lelaki muda" Selain dilayani seorang kusir, beliau tinggal sendirian di hotel kami, biasanya jarang keluar, hanya kalau malam tiba dia suka pesiar sekeliling, lalu pulang kehotel." Soat Peng-say tambah kecewa, ia menduga nona Soat pasti bukan Cin Yak-leng, dengan kesal ia kembali ke pondoknya.

Ia merasa bajunya sudah terlalu kumal dan juga bernoda darah, terpaksa membeli baju baru.

Tapi dia tetap tidak suka cuci muka dan bersisir rambut, sampai luka lecet keserempet kereta itupun tidak dihiraukannya, lalu rebah dan tidur.

Besoknya ia keluar dengan baju baru, keadaannya sekarang tidak lagi mirip pengemis cuma kudanya masih tetap kurus, ia menuju keluar kota melanjutkan perjalanan ke arah timur.

Orang di tengah jalan sama menyangka dia bandit, maklum, bajunya baru, tapi rambutnya semrawut dan bercambang tak teratur.

Umumnya kaum bandit memang tidak suka berdandan.

Baiknya dia tidak membawa senjata, kudanya juga kurus, kalau tidak, mungkin orang akan ketakutan dan tidak berani mendekatinya.

Lambat sekali Peng-say menjalankan kudanya, tidak banyak lebih cepat dari pada orang berjalan kaki.

Karena semalam terlalu banyak memikiri Cin Yak-leng, tidurnya tidak nyenyak, diatas kudanya sekarang ia menjadi mengantuk.

Selagi dia ter-angguk2 di atas kudanya.

mendadak ia jatuh terjungkal ke bawah, dengan gelagapan ia berbangkit dan memandang kesana.

kiranya dia disenggol lagi oleh kereta berwarna emas kemarin.

Keruan ia sangat gusar, pikirnya: "Kurang ajar! Lecet kemarin belum lagi sembuh, sekarang kau seruduk lagi diriku hingga terjungkal.

Dasar kusir brengsek, kalau tidak diajar adat, tentu banyak korban lagi yang akan terjadi." Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan mengejar ke depan.

Tapi kudanya itu dalam keadaan kelaparan dan tidak kuat lari, betapapun dia menghalaunya tetap tidak mampu menyusul kereta tadi, malahan jarak kedua pihak semakin jauh, sampai akhirnya bayangan kereta saja tidak kelihatan lagi.

Karena bertekad akan memberi hajaran kepada kusir kereta, Peng-say tidak berhenti mengejar, diam2 iapun mendongko! kepada kudanya yang sialan itu, kalau menyusul kereta saja tidak dapat, apa gunanya kuda ini" Karena gemasnya, ia tidak peduli kuda itu tahan atau tidak, sekuatnya ia menghalau agar lebih kencang.

Thian memang tidak mengecewakan orang yang berusaha dengan susah payah.

Akhirnya ia dapat susul kereta itu, dari kejauhan dilihatnya kereta itu berhenti di tepi jalan, ia kuatir kereta itu berangkat lagi dan mungkin akan sukar disusul pula, segera ia percepat lari kudanya.

Tak tahunya kudanya sudah kehabisan tenaga, beberapa tombak sebelum sampai di tempat tujuan, kuda itu keserimpet dan jatuh terjungkal dengan mulut membuih.

Cepat Peng say melejit bangun tapi mendadak dilihatnya gelagat tidak baik, segera ia berlagak sempoyongan dan jatuh terduduk.

lalu merangkak bangun dengan meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan.

Dilihatnya kereta berwarna emas itu dikelilingi belasan orang, satu diantaranya yang bertubuh tegap dan beralis tebal lantas mendekati Peng-say dan berkata: "Orang lalu jangan ikut campur, lekas jalan!" "Ya, ya!" cepat Peng-say menjawab.

Ia pura2 masih kesakitan karena jatuhnya tadi, jalannya dibikin terincang-incuk dan sangat lambat.

Waktu lewat di samping kereta, sekilas lirik dilihatnya si kusir kereta terpanah mati di tempat duduknya.

tapi tiada terdengar sesuatu di dalam kabin kereta.

Yang mengelilingi kereta itu terdiri macam2 jenis orang, ada Hwesio, ada Tosu, ada tua ada muda, semuanya tampak tangkas dan kuat.

jelas jago silat yang lihay.cuma tidak diketahui dari golongan mana.

Terdengar seorang tua bermuka putih lagi berkata: "Budak she Soat, tidak perlu kau berlagak mampus, lekas keluar, sudah cukup banyak perkaramu," Lalu seorang Hwesio gemuk menyambung dengan bergelak tertawa: "Budak busuk, selama sebulan ngendon di Pakkhia, tidak sedikit kan hasilmu?" Seorang Tosu tua dan kurus menukas: "Asalkan semua barangnya kau serahkan, tentu kami takkan menjebloskan kau ke dalam penjara dan mamberi jalan hidup bagimu." Meski ketiga orang itu sudah bicara sekian banyak, tapi di dalam kereta tetap tiada reaksi apapun se-akan2 tiada penumpangnya.

Peng-say berdiri dikejauhan, dilihatnya kabin kereta itu tertutup oleh tirai yang indah, maka tidak jelas apakah di dalam kereta ada orang atau tidak.

Dari ucapan ketiga orang tadi, jelas nona she Soat itu adalah pencuri ulung yang telah banyak melakukan kejahatan di Pakkhia.

tapi perbuatannya diketahui orang2 ini, maka mereka mencegatnya di sini untuk membagi rejeki.

Di antara belasan orang itu, kecuali ketiga orang yang bicara tadi, rata2 berumur 30-an, bahkan ada beberapa orang di antaranya cuma berusia 18-19 tahunan, mereka terdiri dari empat lelaki kekar, tiga Hwesio dan lima Tosu.

Melihat orang2 itu berani mencegat kereta berwarna emas itu di tengan jalan raya, Peng-say menyangka mereka adalah jago pengawal keluarga yang kehilangan, mungkin jeri kepada kelihayan maling perempuan itu, maka mereka tidak berani menangkapnya, cukup asalkan barang curiannya diminta kembali.

Tapi sampai sekian lama tetap tiada reaksi apapun di dalam kereta.

Si kakek bermuka putih menjadi tidak sabar, bentaknya: "Budak busuk, kau dengar tidak perkataan kami"!" Ucapannya ini tetap seperti batu tenggelam kelaut, sedikitpun tiada jawaban.

Dengan murka si kakek berteriak: "Lepaskan panah!" Serentak keempat lelaki tegap mementang busur dan melepaskan panah, hanya sekejap saja kabin kereta itu telah penuh tertancap anak panah sehingga mirip landak raksasa.

Anehnya, di dalam kereta tetap tiada sesuatu reaksi apa2.

Selesai memanah, salah seorang lelaki itu berkata: "Lotoa, mungkin di dalam kereta tiada penumpangnya." Si kakek muka putih tidak berani memeriksa sendiri, tapi ia memberi perintah: "Coba kalian ber-empat memeriksanya." Selagi keempat orang itu hendak mendekati kereta, mendadak si Tosu buru2 membentak: "Nanti dulu!" "Eng-lo (kakek Eng), maasa engkau kira budak itu masih sembunyi di dalam keretanya?" tanya si kakek muka putih.

"Pagi tadi muridku menyaksikan dengan mata kepala sendiri budak itu naik ke dalam kereta, kuyakin pasti tidak salah." jawab si Tosu kurus.

"Anak panah yang dilepaskan keempat Long bersaudara belum sampai menembus kereta ini, maka tiada salahnya jika kita bertindak lebih hati2." Si Hwesio gemuk menyelutuk dengan tertawa: "Memang tidak salah pertimbangan Eng-lo ini, Selama sebulan budak itu telah merajalela di seluruh kota Pakkhia dan tidak pernah gagal, suatu tanda dia memang pintar dan cerdik, maka kita barus menghadapinva dengan hati2, jangan sampai kita terjungkal di sini." "Bagaimana jika menurut kau, Hou-ya?" tanya si kakek.

Hwesio gemuk ter-bahak2.

katanya: "Kukira karena kita sama2 kawan satu garis, meski dia belum bergabung dengan kita.

mengingat jerih payahnya selama sebulan, cukup asalkan dia membagi separo saja bagi kita." "Nah, budak liar, Hwesio, Tosu dan Preman kami hanya minta separo bagian saja, kau setuju tidak?" bentak si Tosu kurus.

Baru sekarang Soat Peng-say tahu duduknya perkara, kiranya orang2 ini juga bandit, mereka sengaja menghadang di tengah jalan dengan cara bandit makan garong, Ia masih ingat cerita Tio Tay-peng bahwa di kalangan hitam terdapat tiga orang bandit yang biasa berdandan sebagai Hwesio, Tosu dan orang preman.

Karena ilmu silat mereka tidak terhitung kelas satu, maka cerita itu tidak terlalu menarik baginya.

Posting Komentar