Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 23

NIC

Petani tua itu mempergunakan sehelai kain untuk mengusap keringat di muka, leher dan dadanya yang kurus dan telanjang, lalu menjawab. “Apakah nona tidak tahu? Di sana, di rumah Kiu Wan-gwe (Hartawan Kiu) sedang diadakan pesta pernikahan.”

“Paman maksudkah di rumah Kauw-jiu Pek-wan?”

Petani itu memandang ke kanan kiri, tampaknya takut-takut.

“Benar, nona. Akan tetapi beliau tidak suka dengan nama julukan itu dan kami semua penduduk pedusunan di sekitar Twi-bok-san menyebutnya Hartawan Kiu.”

“Hemm, siapakah yang merayakan pernikahan, paman?” tanya Bwee Hwa, mengira bahwa tentu yang menikah itu seorang murid ayahnya.

“Siapa lagi kalau bukan Hartawan Kiu sendiri yang menikah?” kata petani itu.

Bukan main kaget rasa hati Bwee Hwa mendengar ini. Ayahnya hendak merayakan pernikahan? Ia menjadi bingung.

“Akan tetapi, bukankah Kauw-jiu Pek-wan atau Hartawan Kiu itu telah mempunyai seorang isteri?” Petani itu kembali memandang ke kanan kiri, takut kalau ada yang mendengar percakapan itu. Kemudian dia mengamati wajah Bwee Hwa dengan tajam.

“Nona tentu seorang asing maka tidak mengetahui persoalan itu. Hartawan Kiu memang telah mempunyai seorang isteri yang baik hati dan sering menolong kami para petani yang miskin. Akan tetapi isterinya itu sudah tua dan sakit-sakitan. Dia merayakan pernikahannya dengan seorang gadis dan kabarnya dia hendak mengusir isterinya yang tua agar meninggalkan gedungnya.”

Rasanya seperti mau meledak rasa hati Bwee Hwa mendengar keterangan itu. Semenjak mendengar bahwa ayah kandungnya adalah seorang perampok, ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa kalau ia bertemu dengan ayahnya, ia akan menegur dan membujuk ayahnya agar menghentikan pekerjaan yang jahat itu. Akan tetapi, kini apa yang didengarnya dari petani itu sudah keterlaluan sekali.

Bagaimana mungkin ayahnya sampai tersesat sedemikian jauhnya? Bukan hanya menjadi penjahat besar, bahkan murid-muridnya disuruhnya menjadi maling mencarikan dana untuk pernikahannya dan dia begitu kejam untuk mengusir ibunya yang sakit-sakitan!

“Jahat dan gila……!” Bwee Hwa berseru dan iapun berkelebat, lari dengan cepat sekali mendaki bukit. Siong Li cepat mengejarnya.

“Hwa-moi, engkau bersabarlah!” kata pemuda itu. “Tak perlu berlari-lari seperti ini karena akan menarik perhatian para tamu yang mendaki ke bukit.”

Mendengar kata-kata Siong Li, Bwee Hwa menahan larinya dan ia menahan isak tangisnya.

“Adik Bwee Hwa, sebaiknya kita atur agar jangan sampai mengacaukan perayaan yang diadakan orang tuamu. Aku akan menggabungkan diri dengan para tamu, dan engkau dapat melakukan penyelidikan ke belakang, menjumpai ibumu yang sedang sakit. Bagaimana pendapatmu?”

Bwee Hwa hanya mengangguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya matanya memandang kepada Siong Li dengan sinar mata berterima kasih. Memang ucapan Siong Li itu benar. Pada saat itu terdapat banyak orang yang hendak mengunjungi pesta perayaan di atas sehingga kalau ia berlari-lari cepat, hal itu tentu menimbulkan kecurigaan dan kekacauan.

Karena sebagian besar para tamu terdiri dari orang-orang kang-ouw (sungai telaga, persilatan) maka dengan mudah Siong Li membaurkan diri di antara mereka dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bersama para tamu lainnya, Siong Li disambut sendiri oleh Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok. Siong Li memandang penuh perhatian.

Datuk penjahat yang kini menjadi hartawan itu bertubuh tinggi besar dan kokoh. Rambutnya telah memutih namun dia masih tampak gagah dengan matanya yang lebar itu bersorot tajam penuh wibawa. Begitu bertemu dengan datuk ini, Siong Li merasa heran karena tidak ada sedikitpun kemiripan antara wajah Bwee Hwa dan wajah orang tua ini.

Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Delapan) Kiu Ciang Hok menyambut Siong Li dengan sikap sederhana saja karena dia menganggap pemuda itu tentu dari golongan muda yang bertingkat rendah dan tidak perlu disambut dengan penuh penghormatan. Karena sikap inilah maka dia pernah mengenalnya dan tidak pula mengundangnya menghadiri pesta perayaan itu. Setelah dipersilakan duduk, Siong Li mengambil tempat duduk bersama para tamu lainnya, akan tetapi seluruh perhatiannya ditujukan ke dalam, membayangkan apa yang kini sedang dilakukan Bwee Hwa.

Dengan hati-hati dan cerdik, bersikap biasa saja, Bwee Hwa menyelinap ke da-lam kebun dan memasuki gedung dari pintu belakang. Untung baginya bahwa semua orang sibuk di depan sehingga bagian belakang rumah itu kosong dan sunyi. Dari bagian belakang itu ia mendengar suara para tamu di depan, suara berisik seperti pasar.

Tiba-tiba dari pintu samping keluar dua orang pelayan wanita membawa cawan-cawan kosong. Melihat Bwee Hwa, mereka menganggap bahwa gadis itu tentu seorang tamu, maka mereka lalu bertanya heran.

“Siocia (nona) hendak mencari siapakah?”

Bwee Hwa dengan sikap tenang menjawab. “Aku hendak menyampaikan sesuatu kepada Kiu-hujin (Nyonya Kiu). Di manakah kamarnya?”

Kedua orang pelayan itu saling pandang dan tersenyum mengejek, lalu bertanya, “Nona maksudkan lo- hujin (nyonya tua) yang`sedang sakit?”

Biarpun Bwee Hwa merasa panas hatinya melihat sikap kedua orang pelayan wanita itu jelas meremehkan ibunya, namun ia menahan diri dan mengangguk membenarkan. “Ya, di mana kamarnya?” ia bertanya lagi.

“Kamarnya di belakang sana, yang pintunya bercat hitam. Ada keperluan apakah nona mengunjunginya? Hati-hati, nona dapat ketularan penyakitnya……”

Bwee Hwa menahan kemarahannya dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menuju ke belakang. Benar saja, ia mendapatkan sebuah kamar yang daun pintunya hitam dan kotor. Agaknya tak pernah dibersihkan. Ia membuka daun pintu dan memasuki sebuah kamar yang tak terawat. Terdengar suara merintih lirih. Ia masuk dan memandang seorang yang rebah di atas sebuah dipan.

Wanita itu tampak kurus dan tua sekali. Rambutnya awut-awutan dan kusut. Mukanya yang kurus itu pucat seperti muka mayat. Tubuhnya rebah terlentang di atas pembaringan yang tak dapat dibilang bersih itu tertutup selimut sampai ke lehernya. Kedua matanya terbuka dan memandang sayu ke arah Bwee Hwa dan napasnya terengah-engah.

Bwee Hwa tertegun memandang wajah itu dan ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Wajah itu! Biarpun amat kurus dan pucat, namun masih tampak jelas bekas kecantikannya yang lembut. Wajah ibunya! Inilah wajah yang selama ini selalu terbayang dalam hatinya. Ibu kandungnya!

Pada saat itu, bagaikan tersentuh bisikan hatinya, wanita itu memandang dengan penuh perhatian kepadanya. Betapa kurusnya. Sepasang mata itu cekung sekali, membuat wajah itu seperti tengkorak. Ia mengeluh perlahan dan kedua tangannya tersembul keluar dari dalam selimut. Dua buah tangan yang kurus diangkat dan dikembangkan ke arah Bwee Hwa. Bibir itu gemetar dan berbisik lirih. “Bwee……”

“Ibu. !!” Bwee Hwa melompat ke depan dan merangkul wanita tua itu yang mendekap kepala Bwee

Hwa dengan kedua lengannya. Kedua lengan yang tadinya lemas tak bertenaga itu kini seolah mendapatkan tenaga baru, mendekap dengan erat seolah ia telah mendapatkan kembali mustikanya yang hilang dan tidak ingin kehilangan lagi.

Kedua orang ibu dan anak itu menangis sesenggukan. Bwee Hwa menangis terisak-isak sambil merangkul dan menciumi wajah ibunya yang sepucat mayat dan sekurus tengkorak. Kemudian wanita tua itu memegang kedua pipi Bwee Hwa dengan kedua tangannya, memandang muka anaknya lama sekali, seolah tidak percaya kepada apa yang dilihatnya dan air matanya menetes, bercampur dengan air mata puterinya.

“Bwee Hwa....... engkau.......? Ya Tuhan....... terima kasih, Tuhan......., sekarang aku puas aku

dapat....... mati dengan...... tenang ”

“Ibu. ! Jangan berkata begitu, ibu. Aku tahu, ayah terlalu sekali. Dia kejam, tidak berperikemanusiaan.

Membiarkan ibu sakit begini dan dia malah berpesta merayakan pernikahannya! Sungguh ayah telah tersesat, memalukan sekali!”

“....... Jangan.......! Jangan sebut dia....... ayah. Dia bukan ayahmu. ”

Bwee Hwa tersentak kaget. “Apa?!? Kauw-jiu Pek-wan, dia dia bukan ayahku?” Gadis itu terbelalak

dengan pucat.

“.......untung sekali....... dia bukan ayahmu....... Bwee Hwa ”

Bwee Hwa terlampau kaget dan terguncang hatinya sehingga ia tidak ingat betapa penyakit ibunya itu parah sekali dan sebetulnya wanita itu tidak boleh banyak bicara dan harus beristirahat dan berobat. Pada saat itu Bwee Hwa ter-lampau bingung sehingga ia ingin sekali segera mengetahui siapa sebenarnya Kauw-jiu Pek-wan dan siapa pula ayah kandungnya.

Dengan suara yang terputus-putus dan napas terengah-engah, terkadang berbisik lirih sehingga Bwee Hwa harus mendekatkan telinganya untuk menangkap kata-kata ibunya, wanita itu bercerita kepada anaknya.

Ia dan suaminya yang bernama Lim Sun, seorang pedagang, melakukan perjalanan bersama anak tunggal mereka, Bwee Hwa yang ketika itu masih kecil. Dalam perjalanan yang dikawal belasan orang piauw-su (pengawal barang) dan membawa barang dagangan itu, tiba-tiba muncul Kauw-jiu Pek-wan. Lim Sun dan para pengawal itu terbunuh semua oleh perampok tunggal itu dan ia bersama anaknya diculik.

Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok memaksanya menjadi isterinya dan Nyonya Lim ini terpaksa menurut karena kalau ia tidak mau, anaknya akan dibunuh penjahat itu. Ternyata Kauw-jiu Pek-wan memperlakukannya dengan baik, juga menganggap Bwee Hwa sebagai anaknya sendiri sehingga Bwee Hwa yang ketika ayahnya tewas itu baru berusia satu tahun, menganggap Kauw-jiu Pek-wan sebagai ayahnya sendiri. “.......begitulah, Bwee Hwa...... Kemudian....... ketika engkau berusia delapan tahun....... pada suatu hari…… engkau lenyap entah ke mana ” Nyonya itu menghentikan ceritanya dan napasnya terengah-

engah kelelahan karena banyak bicara.

“Jahanam.......! Jadi dia malah pembunuh ayah kandungku? Dan sekarang dia menyia-nyiakan ibu, membuat ibu sengsara? Akan kubunuh iblis itu!” Bwee Hwa memaki dan ia melompat sambil mencabut pedangnya lalu hendak lari keluar dari kamar.

Posting Komentar