Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, merupakan sebuah pedang pusaka yang ampuh sekali. Sebetulnya baru beberapa bulan yang lalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengan kakek dan nenek itu ketika mereka semua menghadiri pernikahan Pendekar Suling Naga, yang bernama Sim Houw, dengan Can Bi Lan, gadis yang pernah mendapat bimbingan ilmu silat dalam waktu singkat dari kakek dan nenek ini sehingga dapat dibilang gadis itu murid mereka. Pernikahan itu diadakan di rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri dari Istana Gurun Pasir ini. Akan tetapi karena pertemuan itu terjadi dalam sebuah pesta di mana hadir banyak tamu, mereka merasa kurang leluasa bercakap-cakap. Siapa kira, tahu-tahu kini hwesio tua itu muncul di istana mereka, tentu saja kakek dan nenek itu menjadi gembira bukan main.
"Tek Hoat, sungguh aku girang bukan main bahwa engkau sudi datang berkunjung kepada kami. Pertemuan dalam usia yang amat tua ini sungguh mendatangkan kenangan ketika masih muda, dan menggembirakan sekali. Terimakasih, Tek Hoat.
"Nenek itu memang selalu menyebut saudara tirinya dengan nama kecilnya saja, tidak peduli bahwa kini saudara tirinya itu telah menjadi seorang hwesio tua, seorang pendeta! Tiong Khi Hwesio tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakap denganmu membuat orang sama sekali lupa bahwa dia telah menjadi tua bangka, Wan Ceng. Sikap dan kata-katamu seolah-olah tak pernah berubah, aku melihatmu seperti melihat engkau ketika masih gadis, ha-ha-ha!"
Kao Kok Cu, juga ikut tersenyum kemudian dia yang biasa bersikap serius, berkata dengan halus namun meyakinkan,
"Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggalkan dunia ini. Akan tetapi, pernahkah kita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa saja yang pernah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa panjang ini?"
Ucapan ini membuat Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio termenung sampai beberapa lamanya. Mereka terbenam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Tiong Khi Hwesio berkata.
"Omitohud Kao-taihap, ucapanmu itu menggugah semua kenangan lama dan pinceng melihat betapa selama hidup pinceng itu, jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya dan jauh lebih banyak buruknya daripada baiknya perbuatan pinceng. Perbuatan buruk itu pinceng lakukan karena dorongan nafsu, sedangkan perbuatan baikpun menyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Omitohud, kalau dikaji benar, tidak ada baiknya perbuatan pinceng"
"Aih, jangan kau berkata demikian, Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, engkau berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kalau tidak demikian, mana mungkin enci Syanti Dewi sampai tergila-gila dan jatuh cinta kepadamu? Engkau terlalu merendahkan diri sendiri,"
Kata Wan Ceng.
"Banyak sudah kegagahan kau lakukan karena memang watakmu yang gagah perkasa, seperti seorang pendekar sejati, tanpa pamrih."
"Tapi....tapi....kalau pinceng ingat sekarang, semua perbuatan itu pinceng lakukan demi cinta pinceng kepada mendiang isteriku, Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Syanti Dewi, tidak ada cintaku terhadapnya ....ah, tidak tahulah aku, apa yang akan terjadi dengan diriku...."
Tiong Khi Hwesio nampak termangu. Kao Kok Cu menarik napas panjang.
"Memang demikianlah keadaannya. Kita tidak pernah bebas. Perbuatan kita tidak pernah bebas dari pada pamrih. Karena ikatan-ikatan maka kita selalu berbuat dengan pamrih di belakang perbuatan itu, membuat semua perbuatan kita palsu adanya. Betapapun baiknya suatu perbuatan itu menyembunyikan pamrih, maka perbuatan itu adalah suatu kejahatan pula, karena perbuatan itu hanya menjadi semacam cara untuk mendapatkan hasil yang kita kehendaki."
Tiong Khi Hwesio juga menarik napas panjang.
"Omitohud, bijaksana sekali ucapanmu itu, Kok-taihiap. Akan tetapi, bagaimana mungkin perbuatan kita tidak menyembunyikan pamrih?"
"Bukankah pamrih itu muncul dari ikatan kepada sesuatu? Ikatan inilah yang menjadi pamrih dalam perbuatan kita. Karena itu, satu-satunya kebenaran adalah kebebasan! Sebelum bebas dari semua ikatan, tak mungkin perbuatan kita benar, dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kita harus berani bebas, harus berani sendirian, karena bersendirian ini merupakan kenyataan hidup. Masing-masing dari kita membawa kehidupan sendiri-sendiri dan akan mengakhiri kehidupan ini sendiri-sendiri pula. Kita takut bersendirian, melihat kenyataan betapa kita ini masing-masing kosong, lemah tak berarti,maka timbullah rasa takut dan kita lalu mencari pegangan, mencari ikatan sebanyaknya agar si aku tidak kehilangan pijakan. Kita memperbanyak ikatan yang kita anggap mendatangkan kekuatan dan mendatangkan hiburan, seperti orang takut terhadap setan lalu mencari banyak teman. Padahal, ikatan-ikatan inilah pangkal semua kesengsaraan."
Wan Ceng yang sejak tadi mendengarkan, mengerutkan alisnya. Sudah sering ia bercakap-cakap dengan suaminya tentang hal ini, dan masih juga merasa sukar untuk dapat menangkap maknanya yang tepat. Kini ada Tiong Khi Hwesio di situ, maka ia mengajukan bantahannya lagi agar dapat lebih mudah menyelidiki dan mengerti.
"Akan tetapi, kalau kita membiarkan diri bebas dari ikatan, lalu mana ada cinta? Apakah kita harus bersikap tidak peduli, apakah kita harus meniadakan kewajiban-kewajiban dan hidup dengan sikap acuh dan masa bodoh?"
Suaminya tersenyum, senyum penuh kasih yang selalu ditujukan kepada isterinya. Sudah sering isterinya membantah seperti ini, dan dia tahu bahwa isterinya masih belum mengerti benar dan kini minta dukungan Tiong Khi Hwesio terhadap sanggahan atau bantahannya itu.
"Benar sekali, Kao-taihiap, seperti apa yang dikemukakan isterimu. Agaknya, kebebasan seperti ini, seperti yang kau katakan tadi berlawanan dengan tugas-tugas dalam kehidupan ini, seperti kewajiban terhadap keluarga, terhadap masyarakat, pemerintah dan sebagainya. Bukankah kalau sudah bebas dari segalanya seperti itu, kita lalu menjadi acuh dan hidup seperti boneka saja?"
Kao Kok Cu tersenyum dengan penuh kesabaran. Dia tahu betapa sukarnya mempelajari hidup, betapa sukarnya membuka mata melihat kenyataan hidup seperti apa adanya. Dia sendiri pun baru-baru saja, dalam usia tua renta, dapat melihat kenyataan ini dengan waspada.
"Marilah kita selidiki bersama. Semua perbuatan kita merupakan pencerminan dari keadaan batin, bukan? Kalau batin tidak bebas, perbuatan pun tidak akan bebas dari pamrih. Oleh karena itu, dimaksudkan dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan lahiriah. Lahiriah, kita tidak mungkin bebas. Kita adalah bagian dari masyarakat, bagian dari bangsa dan negara dengan segala macam adat istiadat dan hukumnya. Kita secara lahiriah tidak mungkin bebas dari semua itu, dari kewajiban terhadap keluarga, terhadap pemerintah, terhadap pekerjaan, terhadap teman, masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, haruskah batin juga terikat? Tak dapatkah secara lahiriah kita mempunyai, akan tetapi batin tidak ikut memiliki? Hanya batin yang bebas saja yang akan dapat mengenal cinta kasih, bukan cinta nafsu yang mengikat."
Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng mendengarkan, terdiam dan seperti terpesona karena merekapun dapat melihat kenyataan melalui petunjuk ini.
"Sekarang aku mulai dapat melihat,"
Kata Wan Ceng mengangguk-angguk.
"Bebas bukan berarti bebas semau gua, karena semau gua merupakan tindakan lahiriah, tindakan badan penuh nafsu, tindakan pikiran yang selalu ingin enak sendiri. Bebas batin mendatangkan cinta kasih, dan perbuatan yang didasari cinta kasih tentu tidak akan menyeleweng daripada kebenaran."
"Omitohud....!"
Tiong Khi Hwesio memuji sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Betapa bahagianya hati pinceng, betapa beruntungnya pinceng dan puji syukur kepadaTuhan Yang Maha Pengasih yang telah menuntun pinceng untuk datang berkunjung sehingga sempat berbincang-bincang dengan kalian berdua. Pinceng sudah mengalami sendiri akan buruknya ikatan. Pinceng terikat lahir batin dengan Syanti Dewi sehingga ketika isteriku itu meninggal dunia, pinceng seperti orang gila karena kehilangan!"
"Ikatan selalu mendatangkan duka dan kehilangan. Yang dapat kehilangan hanya mereka yang memiliki. Kalau batin tidak memiliki apa-apa, bagaimana bisa kehilangan? Itulah namanya bebas batiniah, walaupun lahiriah terikat kaki tangan dan lehernya oleh segala macam kewajiban hidup."
"Wah-wah, terimakasih!"
Tiong Khi Hwesio bangkit dengan wajah cerah dan gembira sekali.
"Akan tetapi, mengapa kita tenggelam ke dalam hal-hal yang begini serius? Pinceng ingin sekali melihat-lihat lautan pasir yang maha luas ini. Kabarnya di padang pasir sering terjadi keanehan-keanehan, nampak kekuasaan alam yang maha hebat. Maukah kalian mengantar pinceng melihat-lihat dan menunjukkan segala kehebatan itu kepada pinceng?"
Kao Kok Cu dan Wan Ceng juga bangkit sambil tertawa dan mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu, menuju ke selatan karena istana itu menghadap ke timur, ke arah Mongol dari mana Kaisar Jenghis Khan berasal. Tiong Khi Hwesio kagum bukan main ketika suami isteri itu membawanya kebagian-bagian yang luar biasa dari padang pasir itu.
Ada bagian di mana pasirnya besar-besar dan agak hitam, ada pula bagian dimana pasirnya lembut sekali dengan warna putih berkilauan seperti bubuk perak. Ada yang permukaannya demikian halus seperti sutera, ada pula yang membentuk keriput-keriput seperti alun samudera. Juga terdapat bagian di mana terdapat batu-batu besar berbentuk aneh-aneh karena permainan angin dan terpukul pasir-pasir yang diterbangkan angin. Luar biasa sekali melihat betapa ada permukaan pasir yang tidak pernah diam, seperti air di lautan, selalu berubah bentuknya karena pasir-pasir halus di permukaan itu terbawa angin membentuk garis-garis yang selalu berubah. Seolah-olah ada kehidupan yang tidak nampak di tempat yang teramat sunyi itu. Berkali-kali Tiong Khi Hwesio mengeluarkan suara pujian dengan penuh kagum dan heran. Melihat kegembiraan saudara tirinya, Wan Ceng menjadi ikut gembira dan bangga.
"Engkau belum melihat yang paling hebat, Tek Hoat,"
Katanya bangga.
"Wah? Masih ada yang lebih hebat dari ini? Bawa pinceng ke sana, pinceng ingin melihat yang paling hebat!"
"Bagian itu jauh di selatan, makan waktu perjalanan hampir satu hari, disebut sebagai Lautan Maut. Di sana engkau akan melihat badai lautan pasir, melihat pasir bagaikan air laut menderu-deru, dengan ombak yang setinggi rumah."
"Wah, hebat! Hayo kita ke sana!"
Ajak Tiong Khi Hwesio, tertarik sekali. Sebagai seorang bekas pendekar, tentu sajak keadaan bahaya merupakan tantangan yang menggairahkan hatinya.