"Terlalu banyak hal-hal yang membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu."
"Huh! Begitu? Coba katakan, apa hal-hal itu?"
"Pertama, tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat mencinta puterinya. Ke dua, aku telah diangkat menjadi panglima dan tenagaku dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa harus kulakukan. Ke tiga tidak mungkin aku memusuhi keluaraga Pulau Es.
"Ehhhhh? Kau.... kau takut?"
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Biarpun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya segan, karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budiman, dan aku.... aku bahkan bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku."
"Cih! Pengecut!"
"Ibu....!"
"Engkau anakku, engkau harus menurut kepada Ibumu!"
"Maaf, Ibu. Akan tetapi tidak mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu jangan...."
"Cukup!"
Ang Siok Bi bangkit berdiri. Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang sehingga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhambu-ran, si pelayan menjerit dan lari masuk.
"Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana daripada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!"
Ang Siok Bi marah sekali dan dia lari keluar.
"Ibu....!"
Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini menjatuhkan diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang! senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apalagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya.
Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk "menjatuhkan"
Saingannya yang dia tahu amat sakti itu. Dan pada hari itu, tibalah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Ketika mata-matanya memberi tahu tentang munculnya seorang wanita kasar yang mengaku "ibu"
Dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah. Ang Siok Bi masih marah-marah ketika dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya, kemudian panglima muda itu berkata,
"Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya."
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!"
Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.
"Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio"
Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu,
"Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apalagi engkau yang hanya sahabatnya."
"Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apabila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain karena adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apabila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat, yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatal-kan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja."
"Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?"
Ang Siok Bi bertanya marah.
"Sri Baginda hanya memandang kepada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan."
Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata,
"Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!"
Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi dia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi.
Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es! Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biarpun cantik dan gagah, namun kasar dan tidak hormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya! Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata,
"Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?"
"Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,"
Jawab Ang Siok Bi.
"Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?"
Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras,
"Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempu-nyai ayah!"
Raja makin terkejut dan makin tidak senang. Apa maksud Nyonya?"
"Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggauta luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu telah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempu-nyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!"
"Cukup....! Pengawal, suruh dia pergi....!"
Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.
Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur. Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.
"Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat persiapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!"
Tek Hoat berkata, akan tetapi hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.
"Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapat keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,"
Sri Baginda berkata.
"Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?"
"Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,"
Jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.
"Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?"
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab,
"Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba."
"Siapakah nama Ayah kandungmu?"
Tek Hoat terkejut. Tak disangkanya akan ditanya sampai begini melit tentang keluarganya.