Dendam Si Anak Haram Chapter 05

NIC

“Kwee sute (adik seperguruan Kwee), perlu apa bicara dengan dia? Dia seorang pelayan, kalau kita layani dia akan menjadi besar kepala akhirnya berani menyamakan diri dengan kita. Kita akan menjadi rendah!” Namun Kwan Bu cepat menghapus sakit hati karena ucapan ini dari lubuk hatinya. Ia seorang pelayan. memang mengapa? Dia harus tahu diri. Liu Kong adalah keponakan majikannya. dan iapun menyebut Liu Kongcu (tuan muda Liu), adapun Kwee Cin adalah murid majikannya, putera seorang kaya lagi. Tentu berbeda dengan dia. Akan tetapi yang kadang-kadang terasa perih di dalam hati adalah sikap Bu Siang Hwi. Sebelum Liu Kong dan Kwee Cin menjadi murid Bu Taihiap, gadis cilik itu lebih ramah kepadanya.

Karena di rumah itu tadinya tidak ada anak-anak lain, maka Siang Hwi kadang-kadang mengajaknya bermain-main biarpun hanya untuk melayani segala kebutuhannya, misalkan menangkapkan kupu- kupu, mencarikan bunga-bunga, atau memanjat pohon mengambil sarang burung. Bahkan kalau sedang gembira, Siang Hwi suka bersilat memperlihatkan kepadanya, diam-diam Kwan Bu mencatat semua gerakan-gerakan itu untuk kemudian ditiru pada waktu malam dalam kamar ibunya. Akan tetapi setelah datang dua orang muda itu, Siang Hwi secara mendadak berubah sikapnya terhadapnya. Tak pernah lagi mengajak bicara apalagi bermain-main, dan kalau toh bicara sepatah dua patah, kata itu hanya menyuruh dia untuk membersihkan atau mengembalikan sesuatu.

“Kwan Bu, sapu pekarangan belakang yang bersih untuk latihan!” atau “Kwan Bu sirami tanaman yang di utara!” kadang-kadang ia disuruh mengambilkan minum atau keperluan-keperluan kecil lainnya. Sudah berulang kali Ciok Kim menghadap majikannya untuk mengajukan permohonan agar anaknya mulai dididik ilmu silat. akan tetapi harapannya lenyap bahkan ia terkejut sekali ketika ke dua majikannya itu memanggilnya ke dalam kamar dan Bu Taihiap berkata dengan suara yang tegas.

“Bhe Ciok Kim, kami tidak bisa mengajar silat anakmu!” Baru mendengar namanya disebut oleh majikannya itu saja, Ciok Kim sudah kaget setengah mati. Ia memandang dengan mata terbelalak, kemudian serasa mimpi ketika majikannya itu melanjutkan, suaranya halus mengandung iba.

“Aku telah pergi menyelidiki asal usulmu, Ciok Kim. Dan tahu bahwa engkau adalah puteri kepala kampung Bhe Ti Kun di dusun Kwi-cun. Penduduk dusun mengatakan bahwa puteri kepala kampung yang masih hidup bernama Bhe Ciok Kim telah lenyap pada malam penyerbuan para perampok, maka aku dapat mengerti bagaimana nasibmu selanjutnya.” Pendekar itu menghela napas panjang dan Ciok Kim yang diingatkan akan semua ini terisak-isak.

“Engkau ingin agar puteramu menjadi seorang ahli silat agar bisa membalas dendam kepada kepala perampok itu, bukan?” Ciok Kim mengangguk.

“Hanya itulah cita-cita hidup hamba ”

“Hemm, kau hendak menyuruh anak itu membunuh ayahnya sendiri?” Ciok Kim tidak menjawab dan seperti dalam mimpi ia mendengar suara majikannya,

“Kami tidak mau mempunyai seorang murid yang kelak menjadi seorang durhaka, membunuh ayahnya sendiri. Karena itu, kami tidak akan mengajari ilmu silat kepada anakmu, sungguhpun kami tidak merasa keberatan kalau engkau dan anakmu bekerja di sini. Lebih baik hapuskan dendam itu dari dalam hatimu. Percayalah, orang yang jahat tentu akan menerima hukumannya dan kepala rampok itu tidak terkecuali. Kami sendiri adalah Orang-orang yang suka membasmi penjahat- penjahat dan pada suatu saat orang yang berbuat keji terhadap keluarga-mu itu pasti akan menerima hukuman.” Semenjak itu Ciok Kim lebih pendiam lagi. Namun tidak sedikitpun ia pernah melepaskan cita-citanya. Di waktu malam, ia membujuk Kwan Bu. untuk memperhatikan jika tuan- tuan muda dan nona belajar ilmu silat.

“Kau harus jadi orang pandai, anakku. Kalau tidak siapa yang kelak akan membalaskan ibumu. Kau rajinlah berlatih, meniru mereka, bahkan kalau perlu... boleh kau mencuri belajar saat majikan memberi petunjuk kepada mereka.”

Demikianlah, pada pagi hari itu. Kwan Bu yang sedang menyapu pekarangan, diam-diam memasang mata dan telinganya untuk mendengarkan dan melihat majikannya mengajarkan teori-teori ilmu silat. Setelah mendengarkan sebentar, mengertilah ia bahwa majikannya sedang mengajarkan ilmu Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah! ia sudah mencuri dengar dan melihat tentang cara melatih jari, bahkan dia sendiri melatihnya di dalam kamar sampai berbuIan-bulan tanpa kenal lelah sehingga ujung jari tangannya menjadi keras dan kuat. akan tetapi baru kali ini ia mendengar tentang teori ilmu menotok yang amat membingungkan. Biasanya, otaknya amat cerdik, ingatannya amat kuat sehingga apa yang didengarnya satu kali, tidak akan terlupa lagi. Akan tetapi kali ini majikannya berbicara tentang bagian-bagian jalan darah yang amat banyak. Hal ini masih mudah ia ikuti, yang sukar ialah ketika gurunya memberi petunjuk tentang tempat- tempat jalan darah itu di tubuh. Tanpa melihat dari dekat mana ia mampu meniru? Ia meragu, menyesal sekali dan melanjutkan pekerjaanya ketika mendapat kenyataan betapa majikannya kini mulai memandang kearahnya. Bu Taihiap maklum bahwa anak itu amat ingin belajar dan tadi sudah mencuri dengar, akan tetapi, apakah artinya mengerti tentang jalan darah kalau tidak melatih jari dan tidak tahu di mana tempat harus di totok? Ia tidak mimpi bahwa anak pelayan itu setiap malam telah melatih diri dengan pasir panas untuk memperkuat jari-jari tangannya yang dapat ia sediakan atas bantuan ibunya, juga tidak menyangka bahwa Kwan Bu tidak hanya melatih jari, bahkan melatih beberapa macam ilmu pukulan yang ia dapatkan dari mencuri pandang!

“Di seluruh tubuh mengalir darah dengan jalan-jalan tertentu dan ilmu menotok harus tepat pada jalan-jalan darah tertentu pada saat yang tepat pula. Kalau sudah dilatih secara sempurna, setiap kali menotok akan mengenal jalan darah yang tepat. Lihat ini letaknya Ha-yang-hiat-to, di belakang leher ini Tong-cu-hiat-to dan ini adalah Kian-keng-hiat-to di pundak kanan, dan disambung dengan Hog- hu-hiat-to di belakang pundak.” Bu Keng Liong rnenerangakan satu-satu dengan jelas tanpa mengurangi kekerasan suaranya karena pendekar ini tidak khawatir akan Kwan Bu. Andaikata anak itu mendengar juga, apa gunanya? Tanpa melihat titik-titik yang ia tunjukan tanpa mempunyai jari terlatih dan tanpa mengetahui cara dan kedudukan jari tangan di waktu menotok, pengertian itu tidak akan ada gunanya. Ia merasa kasihan kepada anak ini yang mempunyai ibu bernasib malang, akan tetapi ia tidak mau mengajar Kwan Bu demi kebaikan anak itu sendiri agar tidak menjadi hamba nafsu dendam.

Namun ia tidak tega untuk memperihatkan ketidak sukanya mengajar dan secara terang-terangan melarang anak itu mendengarkan. Biarpun tangannya bergerak menyapu, namun telinga Kwan Bu benar saja mendengarkan itu semua. ingatannya yang tajam luar biasa mencatat semua yang di dengarnya sehingga setelah majikannya selesai mengajar ilmu menotok, ia sudah hafal semua akan nama-nama jalan darah dan tempat-tempatnya, sungguhpun ia tidak tahu persis di mana titik tempatnya. Ia tahu bahwa totokan pada Thian-hu-hiat membikin lawan menjadi lumpuh, totokan pada Tai-twi-hiat dan Teng-sin-hiat membuat lawan menjadi kaku, dan lain-lain. Juga mencatat untuk membikin sadar lawan kembali harus menotok pada ln-tai-hiat yang letaknya di dekat punggung!

Hatinya girang sekali, akan tetapi ia juga bingung. Ia tidak tahu betul di mana tempat-tempatnya yang tepat, dan tidak tahu pula bagaimana cara menotok dengan jari. Sering kali ia mendengar tiga orang anak yang menjadi murid majikannya itu bercakap-cakap menyombongkan ilmu silat guru mereka, menyebut-nyebut pula bahwa ilmu menotok guru mereka yang disebut Siang-ei-tiam-heat (Ilmu Menotok Sepasang Jari) dari Bu Taihiap adalah ilmu menotok keturunan keluarga Bu yang amat lihai dan terkenal di seluruh dunia kang-Ouw! Setelah majikannya selesai mengajar dan meninggalkan pekarangan di belakang rumah itu yang dipergunakan sebagai tempat latihan silat pula. Kwan Bu juga selesai menyapu pekarangan dan hendak meninggalkan tempat itu untuk bersendirian agar ia mengingat-ingat lagi semua pelajaran sukar yang baru saja didengarnya.

“Kwan Bu” Suara panggilan Bu Siang Hwi menahan gerakan kakinya. Entah mengapa. Setiap kali nama itu memanggil namanya, hatinya berdebar girang, hal yang sama sekali tidak ia ketahui mengapa. Ia membalikkan tubuh, menyeret gagang sapunya dan menghampiri mereka bertiga yang memandang kepadanya. aneh baginya, kali ini dua orang pemuda cilik itu memandangnya dengan mata ramah. sehingga hatinya menjadi semakin senang! Ia tersenyum lebar dan dengan wajah berseri ia berkata sambil menjura kepada Siang Hwi.

“Nona memanggil saya?” Siang Hwi yang baru berusia sepuluh tahun itu sudah Nampak cantik sekali. Pakaiannya adalah pakaian berlatih silat berwarna merah muda dan ringkas, sepasang pipinya merah sehat dan matanya jernih bersinar-sinar. Siang Hwi menganngguk kemudian berkata suaranya ketus memerintah.

“Buka bajumu!” Kwan Bu mengelak kaget, memandang nona itu dengan mata terbelalak, bibirnya bergerak dan berkata perlahan,

“Bu... buka... baju...?”

“Nona majikanmu memberikan perintah, engkau malah banyak cakap? Hayo buka bajumu, basah telek!” Bentak Liu kong marah.

“Apakah kau minta digaplok dulu?” Hati Kwan Bu mendongkol. Engkau bukan majikanku, pikirnya, kalau tidak mengingat kalau engkau keponakan majikan, mana sudi aku bicara denganmu, akan tetapi ia menekan kemendongkolan hatinya dan berkata halus.

“Saya tidak membantah, Liu kongcu hanya saya masih banyak pekerjaan, tidak berani bermain- main.”

“Tolol kau! Siapa bermain-main? Hayo buka bajumu cepat!” Liu kong mengamangkan tinju di depan hidung Kwan Bu. Di dalam hatinya, Kwan Bu sama sekali tidak merasa takut akan ancaman tinju itu, dan juga ia tidak sudi melakukan perintah Liu kong, akan tetapi karena tadi Siang Hwi sudah menyuruhnya, kini ia memutar tubuh menghadapi nona cilik itu sambil memandang. Siang Hwi mengangguk, tidak menghendaki Liu kong memukul Kwan Bu dan berkata,

“Betul, bukalah bajumu Kwan Bu. Kami hendak meminjam tubuhmu untuk memperdalam pelajaran yang baru kami terima dari ayah.” Lenyaplah perasaan terhina di hati Kwan Bu, terganti rasa girang.

Posting Komentar