Walet Besi Chapter 50

NIC

Sepertinya dia sudah pernah mendengar suara ini sebelumnya.

Kalau ada kesempatan bertemu dengannya lagi, dan berbicara, dia pasti akan mengenali suaranya.

Sekali lagi pendirian Wie Kie-hong menjadi goyah.

Sebenarnya apakah dia harus pergi ke gang San-poa menemui nona Thiat-yan" Dia membuat keputusan.

Dia tidak memiliki alasan apapun untuk mempercayai seseorang yang tidak dikenalnya.

Lagipula ayahnya menginginkan payung ini.

bagaimanapun dia harus mengantarnya pada nona Thiat-yan Thiat-yan sedang menunggunya.

Setelah melihatnya dia membawa kotak kertas berisi payung, dia langsung menyambutnya dengan girang.

"Kau sudah menemukannya" Wie Kie-hong menyerahkan kotak payung ini pada Thiatyan.

Thiat-yan menerima kotak kertas ini, dan mengeluarkan payung dari dalamnya.

Setelah itu dia membuka payung, lalu dia meneliti pegangan payung dengan seksama.

Seolah-olah pada gagang payung itu sudah terukir lukisan cantik Terakhir dia mulai mempreteli pegangan payung.

Sebentar saja pegangan payung sudah terbelah menjadi dua bagian.

Pegangan payung terbuat dari bambu.

Didalam pegangan itu kosong.

Thiat-yan menggunakan kelingkingnya mengorek ngorek kedalam lubang.

Ternyata dia berhasil mengeluarkan sebuah gulungan kertas.

Dia berteriak kegirangan seperti orang gila.

Dia segera membuka gulungan kertas.

Setelah itu dia segera menggulungnya kembali, seolah-olah dia takut Wie Kie-hong melihat rahasia yang tertulis didalamnya.

Wie Kie-hong terus memperhatikan gerak gerik nya.

Dia ingin tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi, tapi dia tidak mampu melihat rahasia apa yang tertulis didalam gulungan kertas yang sudah dibaca Thiat-yan.

"tidak salah...

memang payung yang ini....

memang payung yang ini...." "Nona Tiat! bagaimana kau bisa tahu kalau payung ini adalah payung yang diinginkan oleh ayahku?" "Paman Wie sudah memberitahuku rahasia payung ini" "Tapi kau tidak memberitahuku" Dari mata Thiat-yan yang terbelalak besar, perlahan-lahan tatapan matanya berubah menjadi lembut.

Kata-katanya pun berubah menjadi lembut.

"Wie Kie-hong, kau adalah seorang pemuda yang sangat menjunjung harga diri, karena itu aku tidak menceritakan semua yang sudah diberitahukan oleh paman Wie padaku.

Dia tidak berani memastikan bahwa kau akan bisa memutuskan hubunganmu dengan Tu Liong.

Karena itu untuk sementara waktu banyak hal yang tidak bisa diceritakan padamu." "Aku akan bertanya sekali lagi padamu.

Apakah semua ini memang dikatakan oleh ayahku padamu?" "Tidak salah.

Aku tidak mungkin membo-hongimu" "Baiklah.

Asal semua itu memang sungguh dikatakan oleh ayahku, aku pasti akan menghormatinya.

Sekarang aku berusaha menghindari Tu Liong, hanya saja ada satu hal yang ingin kujelaskan.

Kalati suatu saat nanti aku menemukan bahwa kau sedang menggunakan nama ayahku untuk memper-alatku, aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah.

"Kie-hong, aku tidak menyalahkanmu mengata kan hal ini.

kalau keadaannya dibalik aku yang mengalaminya, aku juga pasti akan merasa hal yang sama dengan dirimu.

Baiklah.

Sekarang pulanglah dan kerjakan hal yang seharusnya kau kerjakan" "Mengerjakan apa?" "Mengabarkan berita duka" "Mengabarkan berita duka?" "Betul" "Apakah ini juga perintah ayahku?" "Betul" Wie Kie-hong mendengarkan semua kata kata ini dan melakukannya sesuai petunjuk.

Dia segera pulang ke kediaman Leng Taiya, dan segera menyuruh orang mempersiapkan upacara duka cita.

0-0-0

Menurut cerita yang beredar, setelah Tu Liong meninggalkan Wie Kie-hong, dia merasa kehilangan pegangan.

Dia tidak tahu harus berbuat apa.

karena itu dia pergi ke daerah Tian Jiao dan menginap di sebuah losmen kecil.

Dia hanya sempat beristirahat sebentar.

Tidak lama sudah tiba jam makan malam.

Dia lalu membeli makanan yang dijumpainya untuk mengganjal perutnya.

Setelah itu dia segera pergi kembali ke sepuluh gang kecil empat komplek rumah mewah tempat kediaman Leng Taiya.

Dia selalu mengkhawatirkan keadaan Wie Kie-hong.

Dia selalu memikirkan bagaimana hasil Wie Kie-hong menemui Thiat-yan untuk berbincang bincang.

Dari kejauhan dia melihat sebuah spanduk besar bertuliskan "turut berduka cita" Tu Liong langsung merasa kaget.

Hal ini diluar dugaannya.

Wie Kie-hong memutuskan sementara waktu tidak akan mengabarkan kematian Leng Souw-hiang pada khalayak umum, mengapa sekarang tiba-tiba dia berubah pikiran" Dia harus segera bertanya padanya.

Tu Liong mempercepat langkahnya.

Orang-orang yang menyambut tamu didepan pintu langsung mengenalinya.

Segera ada orang yang menyambutnya.

"Tu Siauya" "Apakah Wie Siauya ada dirumah?" "Ada" Tu Liong adalah tamu yang sudah sering datang berkunjung, otomatis dia segera berjalan masuk kedalam.

Namun ternyata para pelayan menghalangi jalannya.

"Harap Tu Siauya berhenti" "Ada apa?" "Leng Taiya sudah meninggal.

Wie Siauya merasa sangat bersedih.

Dia sudah memberi perintah pada kami kalau sementara waktu ini dia tidak menerima tamu" "Oh..." Apakah aku bisa dikecualikan?" "Wie Siauya sudah berpesan dia tidak ingin bertemu siapa pun" "Begini saja.

Kau pergi kedalam beritahukan kedatanganku padanya.

Nanti kita lihat apa yang akan dikatakan oleh Wie Siauya padamu" Orang yang menunggu didepan pintu tampak menimbangnimbang.

Pada akhirnya dia mengutus seseorang untuk memberitahukan kedatangan Tu Liong.

Orang itu segera pergi, namun sebentar saja dia sudah kembali lagi.

dia berkata dengan sopan "Mohon maaf Tu Siauya, Wie Siauya sudah tidur, aku tidak berani membangunkannya" "Kalau begitu biarkan dia tidur, besok pagi aku akan kembali menemuinya" Tu Liong segera membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari gang.

Kepalanya mulai berputar, pastilah ada alasan yang membuat Wie Kie-hong tidak mau menemuinya.

Setelah berpikir lama, Tu Liong menemukan bahwa masalah semakin lama semakin tajam, keadaan semakin lama semakin rumit.

Langit sudah semakin gelap.

Di mulut gang samar-samar terlihat dua tiga orang yang sedang berdiri santai.

Tu Liong tidak terlalu memperhatikan mereka.

Tapi ketika Tu Liong melewati mereka, mendadak ketiga orang ini menghalangi jalan Tu Liong.

Wajah mereka hanya terlihat samar samar.

Tu Liong tidak hanya tidak merasa was was, malah sebaliknya dia merasa senang.

Dia sudah menyimpan kekesalan didalam hatinya sangat lama.

Ini adalah kesempatan untuk melampiaskannya.

Tangan-nya segera menggengam erat menjadi kepalan.

Dia menunggu seseorang menyerangnya.

"Apakah tuan orang she Tu yang selalu berada disamping Cu Taiya?" Salah seorang diantara mereka menyapanya.

"Tidak salah" "Ada seseorang yang ingin menjumpai tuan.

Sudilah sekarang tuan pergi bersama kami menemui-nya" kata kata orang itu terdengar sopan.

Tu Liong sudah bersiap siap menghadapi pertempuran, malah dia mengharapkan terjadinya perkelahian.

Dia tidak menyangka ternyata akhirnya seperti ini.

dia terpaksa mengendurkan genggaman tangannya, dengan malas dia bertanya, "Siapa dia?" "Tuan Wie" "Tuan Wie yang mana?" genggaman tangan Tu Liong kembali mengeras.

"Tuan Wie yang bernama Wie Ceng, ayah sahabat baik Tu Siauya" "Dimana dia?" "Silahkan anda ikut dengan kami dan anda akan segera mengetahuinya" Mengutus empat orang yang berperawakan tinggi besar mencari dirinya.

Sepertinya ini bukan sebuah gelagat yang bagus.

Tu Liong tidak bertanya lebih jauh.

Dia juga tidak ingin berpikir banyak.

Wie Ceng akan menampakkan diri.

ini adalah sebuah kabar yang sangat baik yang membuatnya senang.

Tidak jauh didepan gang, sebuah kereta kuda sudah menunggunya.

Mereka berlima masuk kedalam kereta.

Ketika menaiki kereta kuda, Tu Liong menjadi waswas.

Dari posisi semua orang, dia jelas melihat kalau keempat orang didepannya sudah bermaksud untuk mencegahnya melarikan diri.

Walaupun Tu Liong sudah merasa seperti ini, dia tidak mengatakan apa yang dipikirkannya.

Kereta kuda mulai berangkat menuju kota di sebelah barat.

Tidak lama kereta ini berhenti didepan sebuah gang.

Setelah turun dari kereta, keempat orang yang besar-besar ini berbaris, dua orang didepan, dua orang dibelakangnya.

Dia terus digiring memasuki sebuah rumah yang terdiri dari empat gedung.

Dua orang pengawal yang ada di belakang tidak ikut masuk kedalam rumah.

Mereka menunggu di depan pintu masuk.

Dua orang yang di depan mempersilahkannya masuk kedalam.

Semuanya dilaku kan dengan sangat sopan.

Tu Liong duduk bersila didepan sebuah meja rendah.

Kedua pengawal berbadan besar menunggu diluar pintu.

Saat ini seorang pria yang sudah tua berumur sekitar lima puluh tahun membawakan secangkir teh panas.

Setelah menuangkan teh dengan baik, dia kembali pergi keluar.

Dia tidak berkata apa-apa.

dia juga tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

Tu Liong menunggu dengan sangat sabar, kedua orang pengawal pun menemaninya dengan sabar.

Waktu merangkak sangat perlahan.

Tu Liong sudah beberapa kali berganti posisi duduk karena kesemutan.

Dia terus menunggu sampai teh panas yang dituangkan sudah cukup dingin untuk diminum.

Pada akhirnya kesabarannya sudah habis, dia segera berdiri dan berjalan keluar untuk bertanya "Tolong tanya, dimana tuan Wie?" "Segera datang" Pengawal yang berdiri diluar menjawab sangat singkat.

Tu Liong merasa sedikit dongkol.

"Segera datang" Apa artinya itu" apakah dia tidak tinggal disini?" "Tuan Wie tidak memiliki rumah di kota Pakhia.

Posting Komentar