Pedang Pusaka Naga Putih Chapter 18

NIC

"Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang." Timbul kegembirari hati Hong Ing.

"Pantaskah aku menjadi laki-laki?" wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

"Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali," katanya.

"Lebih cakap dari kau berpakaian wanita."

"Tentu saja. Lihat saja nanti." Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka. Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas.

Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi. Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno. Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi. Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri! Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah. Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu.

Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka. Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa! Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Btju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita. Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban. Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu. Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia.

Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas. Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

"Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu," kata Hong Ing sambil mendongak ke atas,

"Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!"

"Adik Ing," jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau "siauwte" artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria,

"Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai..." di sini Han Liong menghela napas.

"Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?" tanya Hong Ing.

"Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini."

"Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?" Han Liong memaksa tersenyum.

"Ah, tidak apa-apa, adik Ing." Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata,

"Ayoh jalankan kudamu." Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

"Eh, eh. Ada apa, adik Ing?"

"Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi," kata Hong Ing dengan manja. Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri.

"Jangan marah, adikku yang manis!" Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya.

"Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!" Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

"Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah."

"Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini." Hong Ing mengancam. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

"Minggir! Minggir!!" Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti! Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

"Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?" Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

"Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa," kata yang seorang lagi.

"Hm, ini baru kata-kata sopan," jawab Hong Ing.

"Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?" ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu.

"Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?"

"Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!" Gadis muda itu berkata pula dengan marah.

Posting Komentar