Pada suatu pagi, ketika fajar tengah menyingsing dan dari sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju putih yang sedang berlatih silat. Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-Wan-Cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis.
Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah! Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah. Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tanggannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.
"Ah, engkau kurus benar," katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu.
"Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!" ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok. Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang.
Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang). Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi. Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari. Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian,
"Bagus!!" dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya!
"Lihat pedangku!" bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci). Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.
"Prak!" terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang. Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.
"Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!" Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!
Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera aa balas menyerang. Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya! Tak terasa ia berseru,
"Tahan!" Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik.
Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya. Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang. Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.
"Suhu (guru)!" teriaknya. Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya,
"Ha, ha, ha! Anak baik, muridku yang baik!" Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.
"Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku."
"Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!" jawab Han Liong.
"Aku hanya ingin tahu kemajuanmu." berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.
"He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!" tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah. Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang,
"Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!" Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata,
"Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!" Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri,
"Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah."
"Teecu tak berani melawan suhu."
"Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!" Kemudian secepat kilat ia menyerang. Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.
"Jangan terlalu seeji (segan-segan)!" tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku).
Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya. Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling. Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu! Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya,
"Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!" tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.
"Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh)." menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang. Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.
"Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong," kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan,
"Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu." Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua Sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh.