Si Teratai Emas Chapter 33

NIC

“Tabib Kiang, apakah engkau lupa kepadaku, orang yang telah meminjamkan uang tiga puluh ons perak itu? Dengan bunganya, sekarang hutangmu menjadi empat puluh delapan ons, dan aku akan kembali datang untuk minta kembali uangku,” kata Si Ular Rumput. sepasang mata Tabib itu terbelalak, ia mengamati orang itu dengan alis berkerut.

“Siapakah engkau? Aku tak pernah mengenalmu, bagaimana engkau berani menyatakan bahwa aku berhutang kepadamu?”

“Janga pura-pura tidak kenal. Aku adalah Lu Hua, kau ingat? Hayo kembalikan uangku yang kau pinjam” Hati Tabib Kiang memang sedang dongkol dan marah karena sikap isterinya. Kini ada orang mengatakan bahwa dia punyai hutang dan harus membayar, tentu saja dia menjadi semakin marah.

“ Sudahlah, bayar saja, kawan, Engkau kan sekarang sudah kaya” kata Si Tikus Jalanan menyeringai.

“Apa? Aku tidak sudi bayar! Kalian adalah bangsat-bengsat yang hendak memeras orang” bentaknya marah. Si Ular Rumput melangkah maju dan memukul muka Tabib itu sampai hidungnya mengucurkan darah. Si Tikus menarik laci almari yang penuh obat dan melemparkan laci berikut guci-guci dan botol- botol obat sehingga berserakan ke atas jalan.

“Akan kutuntut kalian, jahanam-jahanam!” Tabib Kiang berteriak marah. Sebuah pukulan kembali mengenai mukanya.

“Ha-ha ha, sepagi ini engkau sudah mabuk” Si Tikus Jalanan mengejek.

Tabib Kiang berteriak-teriak dan datanglah petugas keamanan yang sedang melakukan perondaan. Mereka bertiga dibawa ke pos keamanan. Sementara itu, Nyoya Hua yang melihat semua peristiwa itu, diam-diam merasa puas bahwa Suami yang tidak disukainya itu dipukuli orang. la lalu memerintahkan Nenek Bi untuk menutup toko, membuang papan nama. Sedangkan guci-guci dan botol-botol obat yang berserakan di jalanan telah habis dipunguti orang lewat. Segera setelah dia mendengar peristiwa itu, Shi Men mengirim utusan yang membawa surat dan bingkisan kepada Hakim Sieh, sahabat baiknya yang menangani perkara itu. Dan pada keesokan harinya, ketika pengadilan dibuka dan tiga orang yang berkelahi itu dihadapkan hakim, terjadilah peradilan yang membuat Tabib Kiang merasa terkejut, heran dan juga tak berdaya.

“Hemm, jadi kamu yang bernama Tabib Kiang Kenapa kamu tidak mau membayar hutangmu, padahal kamu mempunyai uang untuk membayarnya? Perbuatan itu sungguh tidak patut,” kata Hakim Sieh.

“Sungguh hamba tidak mengerti,” Tabib Kiang membantah. “Hamba sama sekali tidak berhutang apapun juga kepada orang itu. Ketika hamba membantah, dia dan temannya memukuli hamba dan merusak toko hamba.” Akan tetapi jawaban ini mengakibatkan si Tabib yang malang dipukul tiga puluh kali di punggungnya dengan pecut bambu oleh para algojo pengadilan. Kemudian Tabib Kiang diharuskan membayar kembali tiga puluh ons perak, kalau tidak, maka dia akan dijatuhi hukuman berat dalam penjara. Sambil meringis dan menangis, dikawal oleh dua orang petugas pengadilan, Tabib Kiang mengunjungi isterinya dan merengek minta agar uang itu dibayarkan. Nyonya Hua meludahinya.

“Tidak satu Senpun engkau membawa uang ketika engkau pindah ke sini, dan sekarang engkau malah minta aku membayar hutangmu” wanita itu memaki.

“Kalau saja aku tahu manusia macam apa adanya engkau dulu aku tidak sudi menikah denganmu, kura- kura menjemukan.” Tanpa malu-malu lagi Tabib Kiang menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nyonya Hua agar suka menolongnya. Wanita itu dengan ketus mengatakan bahwa ia akan menolongnya untuk yang terakhir kali dan sejak saat itu tidak sudi lagi melihat mukanya, dan tidak ada hubungan apapun antara mereka lagi. Si Ular Rumput dan Si Tikus Jalanan pergi dengan senyum puas sambil membawa tiga puluh ons perak, sedangkan Tabib Kiang hanya dapat menangis ketika ia harus meninggalkan rumah wanita yang pernah menjadi isterinya,

Tanpa satu sen pun dalam sakunya, hanya buntalan pakaiannya seperti ketika dia pertama kali masuki rumah itu, penuh rasa pensaran di dalam hatinya. Ribuan orang seperti Tabib Kiang boleh menangis sampai mati penasaran, namun siapa dapat menolongnya? Siapa mampu merubah jalannya persidangan di pengadilan yang sudah dicengkeram oleh kekuasaan uang suapan yang amat besar? Peristiwa seperti itu terjadi terus, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, bahkan abad demi abad! Setelah mengusir suaminya dan menutup toko obat, Nyonya Hua mengutus Nenek Bi, mengadakan kontak dengan Shi Men dan akhirnya Shi Men mengirim pesan agar semua harta benda milik janda itu dipindahkan ke rumahnya, dan dia menentukan hari baik untuk menerima janda itu sebagai isterirya yang ke enam!

Dengan jantung berdebar karena merasa tegang dan bahagia, pada hari yang ditentukan pagi-pagi sekali Nyonya Hua sudah naik joli dipikul menuju ke rumah keluarga Shi Men. Ia tidak tahu bahwa saat ini Shi Men menanti dengan hati dendam. dan dia sudah mengambil keputusan untuk menghajar istri barunya yang telah berani mendahuluinya dan memilih pria lain seperti Tabib Kiang menjadi suaminya. Ketika joli itu tiba di pintu gerbang dan diturunkan, tidak ada seorangpun yang melakukan penyambutan! Sesuai dengan peraturan adat yang berlaku, seorang pengantin wanita tidak akan keluar dari joli sebelum pihak keluarga pengantin pria datang menyambut. Karena itu, Nyonya Hua menanti di dalam jolinya berjam- jam lamanya. Akhirnya, Mong Yu Lok, isteri Shi Men yang ke tiga, merasa kasihan dan iapun pergi menemui Goat Toanio. “Toa-Ci adalah nyonya rumah, sudah menjadi kewajlbanmu untuk melakukan penyambutan. Suami kita akan marah kalau engkau tidak melakukannya, Toa-Ci” Goat Toanio mengerutkan alisnya. Ia merasa tidak senang suaminya mengambil seorang isteri baru pula dan suaminya tidak memesan apa-apa kepadanya untuk melakukan penyambutan. Namun, wataknya memang pemurah memaksa ia untuk keluar menyambut. Barulah Nyonya Hua terlepas dari siksaan ketika akhirnya tirai jolinya disingkap dan ia dipersilakan turun, lalu digandeng oleh Goat Toanio memasuki pondok yang telah disediakan untuknya di dalam perumahan besar itu.

Akar tetapi, malam itu Shi Men tak pernah muncul dan Nyonya Hua menanti dengan hati gelisah semalam suntuk. Shi Men sengaja membiarkan saja dan malam itu dia tidur di pondok Kim Lian. Baru pada keesokan harinya Shi Men memanggilnya dan secara resmi memperkenalkan Nyonya Hua sebagai isteri ke enam kepada isteri-isteri yang lain. Namun malamnya, Shi Men juga tidak datang berkunjung dan melewatkan malam itu di dalam kamar Yu Lok, isterinya yang ke tiga. Pada malam ke tiga, ketika Shi Men belum juga datang mengunjunginya, Nyonya Hua merasa demikian malu dan berduka sehingga ia menjadi mata gelap dan melakukan perbuat nekat. Ciu. Hwa, pelayannya, menjerit ketika memasuki kamar, melihat majikannya itu dalam pakaian pengantin, menggantung diri di tiang pembaringan menggunakan sabuk suteranya.

Ciu Hwa berlari ke pondok Kim Lian yang tak jauh dari situ. Kim Lian dan pelayannya, Cun Bwe, berlari- lari ke kamar Nyonya Hua. Dengan tenang Kim Lian menggunakan gunting dan memotong tali sutra yang menggantung leher wanita itu. Bersama-sama mereka menurunkan tubuh nyonya Hua dan dan merebahkannya ke atas pembaringan. Untung belum terlambat, karena wanita yang malang itu masih bernapas walaupun dalam keadaan tak sadar diri. Pada waktu itu, Shi Men sedang minum-minum ditemani isterinya yang ke tiga. Yu Lok sudah menegurnya tentang sikapnya terhadap isteri ke enam, membiarkan isteri baru itu sampai tiga malam. la akan merasa tersinggung sekali, demikian Yu Lok memperingatkan suaminya.

“Ah, Jangan ikut-ikut, biarkan aku mengendalikannya, Biar ia tahu rasa! Tanpa memberi kabar, ia telah berani menerima Tabib Kiang sebagai suaminya. la harus tau bahwa aku tak boleh disamakan dengan laki-laki macam itu, dan aku tidak perlu berlari-lari mengejarnya!” Pada saat itu, terdengar suara ribut- ribut di luar kamar dan seorang pelayan wanita melapor dengan muka pucat.

“Nyoya ke enam menggantung diri, Nyonya ke lima minta aggar Kongcu suka datang kesana sekarang juga!”

“Nah, apa kubilang Yu Lok mencela suaminya. Engkau tidak mendengarkan kata-kataku dan sekarang malapetaka datang menimpa.” lapun lari keluar kamar untuk memberi tahu kepada Goat-Toanio dan para madu yang lain. Shi Men enak enak saja melanjutkan minumnya, tanpa bangkit dari tempat duduknya. Goat Tonio dan para madunya berlarian menuju ke pondok baru dan mereka mendapatkan madu baru itu berbaring dengan muka pucat dan kelelahan, namun sudah tertolong nyawanya. Pada keesokan harinya, Shi Men berkata kepada isteri-isterinya yang lain.

“Jangan kalian tertipu olehnya. la sudah. merencanakan semua itu, hanya untuk mencari perhatian. Aku tidak percaya ia akan membunuh diri dengan sungguh-Sunngguh. Dan aku akan menghajarnya malam ini, biar kulihat ia menggantung diri di depan mataku!” Benar saja malam itu Shi Men memasuki kamar Nyonya Hua dengan sebatang cambuk disembunyikan di dalam lengan bajunya. Kim Lian dan Yu Lok diam-diam mengintai dari luar pintu kamar dan mendengarkan dengan jantung berdebar tegang. Ketika memasuki kamar, Shi Men mendapatkan Nyonya Hua menangis dan menyembunyikan mukanya ke dalam bantal.

“Kalau engkau benar-benar ingin menggantung diri, kenapa engkau memilih rumahku untuk melakukannya?” Shi Men berteriak marah.

“Engkau seharusnya melakukannya di dalam rumah suamimu yang terakhir ini, Si kura-kura gila itu! Aku ingin melihat engkau gantung diri!” Dia melempar tali yang sudah dibawanya ke tubuh Nyonya Hua. Wanita itu terkejut menjerit dan ketakutan.

“Turun dari pembaringan itu, dan tanggalkan pakaianmu! berlututlah!” Dia menbentak dengan suara penuh ancaman. Melihat wanita itu tidak segera mentaati perintahnya, Shi Men menangkap lengannya, menyeretnya turun dari pembaringan dan memukulnya tiga kali dengan cambuknya. Nyonya Hua menjerit kesakitan dan ketakutan, lalu menanggalkan pakaiannya dengan jari-jari tangan gemetar, kemudian ia berlutut di depan kaki Shi Men. Dalam keadaan telanjang bulat dan berlutut ini, Shi Men menumpahkan semua kemarahan dan sakit hatinya,mengapa wanita itu tidak sabar menantinya, bahkan menikah dengan seorang laki-laki tak berharga seperti Tabib Kiang, dan lebih lagi, membiayai orang itu untuk membuka sebuah toko untuk menjadi saingannya! Setelah habis kata-kata Shi Men dan orang ini berhenti untuk mengambi napas, Nyonya Hua berkata lirih dan halus,

“Maafkan aku, aku merasa menyesal sekali Akan tetapi, harap ingatlah betapa engkau tidak pernah memperlihatkan diri atau memberi kabar kepadaku. Siang malam aku merindukanmu, menanti dengan sia-sia, sampai aku jatuh sakit dan muncullah orang itu, sebagai Tabib untuk mengobatiku. Dia mempergunakan kesempatan melihat keadaanku yang buruk untuk, membujukku. ah, betapa menyesal aku, betapa pahit aku harus mengalami akibat dari semua itu. Maukah engkau mengerti dan mengampuniku?”

“Aku mendengar bahwa engkau membujuk Tabib gendeng itu untuk menuntut aku mengenai barang- barang yang, kau titipkan kepadaku. Benarkah?”

Posting Komentar