Si Teratai Emas Chapter 25

NIC

“Koko, setidaknya katakanlah dulu apa kesalahanku. Lebih baik aku mati saja daripada mengalami penyiksaan setiap hari. Mengapa aku tak pernah dapat menyenangkan hatimu walaupun aku telah mencobanya dengan seribu cara? Engkau seperti hendak membunuhku dengan sebuah pisau tumpul, menyiksaku perlahan-lahan.”

“Buka pakaianmu!” Shi Men membentak lagi dan dia memanggil Cun Bwe sambil berteriak, “Ambilkan cambukku!” Akan tetapi Cun Bwe tidak mentaatinya. Ketika Shi Men mengulang perintahnya, Cun Bwe mendekati dengan tubuh gemetar ketika ia melihat majikannya berlutut di atas lantai.

“Cun Bwe, tolonglah aku. Dia ingin memukulku lagi!” Kim Lian mengeluh dengan suara memelas.

“Jangan layani ia, Cun Bwe. Ambil saja cambuk itu agar aku dapat menghajarnya!” Cun Bwe tak dapat lagi menahan perasaan marah dan penasarannya. Kongcu, apakah Kongcu tidak malu kepada diri sendiri.? Kesalahan apakah yang telah dilakukannya kepadamu? Tanpa alasan, hanya karena mendengarkan desas-desus, Kongcu hendak menghukumnya. Sungguh penasaran dan kejam sekali!” Berkata demikian, Cun Bwe lalu lari keluar dari kamar nyonyanya. Shi Men tertawa dan menoleh kepada Kim Lian. “Ke sinilah, aku tidak akan memukulmu. Aku hanya menginginkan segumpal rambutmu. Maukah engkau memberikan segumpal rambutmu kepadaku?”

“Koko, seluruh tubuhku adalah milikmu, apa saja yang kau kehendaki, ambillah. Aku tidak tahu apa yang kau inginkan.”

“Aku menginginkan segumpal rambutmu yang indah itu.” “Kenapa? Untuk apa?”

“Untuk kubuat rajut rambut.”

“Benarkah? Baik, engkau boleh mendapatkan segumpal. Akan tetapi berjanjilah bahwa engkau takkan menggunakannya untuk maksud buruk.”

“Aku berjanji.” Kim Lian melepaskan rambutnya dan Shi Men menggunting segumpal rambut yang subur indah. Dia membungkusnya dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku bajunya. Kim Lian menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

“Engkau tahu, Koko, aku siap melakukan apa saja yang kau minta,” katanya dengan kedua mata basah.

“Hanya satu hal kuminta kepadamu, janganlah kau menyiksaku. Aku tidak akan ribut kalau engkau bersikap manis kepada lain wanita, akan tetapi janganlah engkau bersikap kejam kepadaku, Koko.” Pada keesokan harinya, Shi Men mengunjungi Bi Hwa dan menyerahkan dengan bangga segumpal rambut kepala Kim Lian yang hitam, subur dan harum itu.

Pada jaman itu, di bawah pemerintahan dinasti Song-Tiauw, kehidupan para bangsawan dan hartawan memang bergelimang dengan kesenangan duniawi yang berlebihan. Para pejabat menggendutkan perut masing-masing dengan korupsi dan penyogokan, dari seratus orang pejabat belum tentu ada dua yang tidak Ikut melakukan korupsi dan makan suapan. Terutama sekali kesenangan mengumpulkan wanita cantik, dapat dikatakan merupakan hobby bagi para bangsawan dan hartawan seperti Shi Men.

Pada waktu itu, harga diri seorang wanita amat murahnya, wanita-wanlta dari dusun masih diperjual- belikan seperti barang dagangan. Yang kaya hidup berlebihan, yang miskin sampai menjual anak gadisnya. Shi Men, di samping perdagangannya yang sudah maju dan besar, yang diurus oleh kuasa- kuasanya, hanya menenggelamkan diri ke dalam pengejaran kesenangan, terutama sekali kesenangan mengejar wanita-wanita cantik. Baginya seperti tak pernah mengenal kepuasan. Pada suatu hari tetangga dan sahabat baik, juga saudara angkatnya dalam kelompok sembilan, mengundangnya. Ketika pada siang hari itu, Shi Men datang berkunjung ke rumah Hua Ce Shu, tetangganya itu, dia langsung memasuki serambi depan dan hampir saja dia bertubrukan dengan nyonya rumah, yaitu Nyonya Hua. Karena hawa di situ agak panas, Nyonya Hua mengenakan pakaian yang tipis.

Bajunya terbuka di bagian leher sehingga nampak bagian atas bukit payudaranya membusung. Di bawah gaunnya yang panjang nampak dua buah kaki kecil dalam sandal sutera merah yang disulam burung Hong. Rambutnya diikat dengan pita perak, dan kedua telinganya terhias anting-anting dengan batu permata indah. Tubuhnya yang padat itu tingginya sedang, dan wajahnya bulat seperti semangka, kulit mukanya putih kemerahan dan segar sehat, nampak cantik berseri, dengan sepasang mata yang demikian bening dan penuh daya tantang dan daya tarik, membuat jantung Shi Men berdebar kencang. Nyonya Hua membalas penghormatan Shi Men dengan senyum cerah, lalu mengundurkan diri. Seorang pelayan wanita mempersilakan Shi Men memasuki ruang tamu dan mempersilakannya duduk. Tak lama kemudian Nyonya Hua muncul dari balik pintu.

“Harap. tuan menanti sebentar,” ia berkata dengan suara merdu, “Suami saya sedang keluar untuk suatu urusan akan tetapi dia segera kembali.” Pelayan wanita datang menyuguhkan teh. Kemudian terdengar pula suara Nyonya Hua dari balik pintu.

“Bolehkah saya minta bantuanmu, Kongcu? Jika suami saya mengajakmu minum arak hari ini, maukah Kongcu mencegah dia tinggal di sana terlalu lama? Karena saat ini saya berada sendirian saja bersama dua orang pelayan, wanita saya.”

“Baiklah, So-so (Kakak ipar)” jawab Shi Men dan pada saat itu pelayan melaporkan pulangnya Hua Ce Shu. Nyonya, Hua cepat menghilang dari pintu. Ketika dua orang sahabat itu bertemu, ternyata Hua Ce Shu mengundang sahabatnya untuk diajak mengunjungi rumah pelesir Bibi Wu. Hari itu adalah hari ulang tahun Gin Nio, kekasih Hua Ce Shu yang tinggal di rumah pelesir itu, “tanggal dua puluh empat bulan enam.” Shi Men menemani sahabatnya dan mengingat akan pesan nyonya rumah yang cantik tadi, Shi Men membujuk sahabatnya yang sudah mabuk itu untuk pulang. Setelah Hua Ce Shu yang terhuyung-huyung itu disambut dan dituntun ke dalam kamarnya, dan Shi Men sudah siap hendak pulang, Nyonya Hua muncul di ruangan tamu untuk mengucapkan terima kasihnya kepada Shi Men. Nyonya yang cantik manis itu bersoja kepada tamunya yang tampan. itu, dan dengan suara merdu berkata,

“Aih, tentu suamiku yang gila itu telah mabuk lagi. Sungguh Kongcu telah berbuat baik sekali mengajak dia pulang sore-sore.” Shi Men menjura dengan hormat.

“Tak perlu berterima kasih, So-so. Setiap perintah yang keluar dari Bibirnya terukir di dalam tulang- tulangku, tentu akan kulaksanakan. Pula, kami memang bertetangga. Sungguh tidak mudah membujuknya pulang. Ketika kami lewat di rumah pelesir Bibi Cong, dia melihat Siang Bi yang cantik berdiri diambang pintu. Kalau saja aku membiarkan dia masuk, tentu semalam suntuk dia tidak akan pulang. Sungguh heran dan penasaran sekali. Bagaimana seorang suami dapat menyia-nyiakan seorang isteri yang demikian cantik jelita seperti anda! Sungguh dia bodoh dan tak dapat dimaafkan!”

“Anda benar, Kongcu, Sungguh aku sendiri merasa pusing melihat ulah suamiku yang suka meninggalkan rumah itu. Bolehkah aku mengharapkan bantuanmu agar mengamat-amatinya, Kongcu? Aku akan berterima kasih sekali dari lubuk hatiku atas budimu ini.” Shi Men tersenyum. Dia bukan seorang laki- laki yang hijau. Dia adalah laki-laki yang sudah banyak bergaul dengan wanita, sudah mengenal benar watak wanita. Berhadapan dengan nyonya muda ini, melihat pandang matanya, senyumnya, mendengar kata-kata dan melihat sikapnya, dia tahu bahwa si cantik itu telah membuka pintu yang cukup lebar untuknya. Dengan senyum penuh arti diapun menjura.

“Tenang tenanglah, So-so. Aku akan menjaga dan mengamatinya baik-baik.” Nyonya Hua mengucapkan terima kasih dan mengundurkan diri. Shi Men pulang dengan hati puas karena dia mendapatkan kemungkinan baru menikmati pengalaman baru yang indah, memasuki taman sorga yang pintunya sudah dibuka oleh Nyonya Hua tadi.

Percakapan antara Nyonya Hua dan Shi Men itu mendatangkan kesan mendalam, bukan hanya pada diri Shi Men, melainkan terutama sekali dalam hati Nyonya Hlua. la adalah seorang wanita yang memiliki darah panas, dan ia tidak merasa cukup memperoleh kepuasan dari suaminya.. Hanya karena ia seorang wanita yang kaya dan berkedudukan tinggi, tentu saja ia tidak memperoleh jalan untuk memuaskan hasratnya, khawatir kalau-kalau hal itu akan menjatuhkan martabatnya. Kini, bertemu dengan Shi Men, hatinya tergerak dan tertarik. Shi Men seorang pria yang menarik, tampan dan gagah, kaya raya dan berkedudukan karena terpandang. Maka, melihat cara Shi Men bicara dengannya, nyonya ini sudah tahu bahwa tetangga itu “ada hati” kepadanya. Pada suatu malam, Ciu Hwa, pelayan Nyonya Hua, datang menemui Shi Men. Melihat pelayan ini, Shi Men cepat menghampiri.

“Apakah ada sesuatu yang di kehendaki nyonya majikanmu dari aku?”

“Ya, nyonya ingin bicara dengan Kongcu. Tuan sedang tidak berada di rumah,” bisik pelayan wanita itu.

“Harap Kongcu menunggu di bawah tembok pemisah antara kebun kita malam ini.” Shi Men mengangguk dan dengan hati girang sekali, juga penuh ketegangan, dia menanti di dalam kegelapan malam di dekat tembok yang membatasi kebunnya dengan kebun keluarga Hua.

Tiba-tiba terdengar gonggongan anjing dari balik pagar tembok. Lalu suara seekor kucing di atas tembok. Dia memandang ke atas dan melihat Ciu Hwa, si pelayan itu, memberi isyarat kepadanya dari atas tembok. Cepat Shi Men menaruh sebuah bangku dekat tembok dan memanjat ke atas. Di balik sana telah dipasang sebuah tangga sehingga dengan mudah Shi Men lalu menuruni tangga itu memasuki kebun keluarga Hua. Segera dia mengikuti Ciu Hwa dan masuk ke dalam sebuah kamar yang diterangi cahaya lembut sebatang lilin. Dan di dalam kamar itu nyonya Hua menyambutnya, dengan pakaian tipis tembus pandang, rambut terurai, dengan sikap manis mempersilakan dia duduk dan menyuguhkan arak selamat datang.

“Akan tetapi bagaimana kalau saudara Hua tiba-tiba pulang?” tanya Shi Men dengan hati-hati.

“Ah, aku telah memberi dia ijin untuk pergi sampai pagi. Dan dua orang kacung kami ikut bersama dia. Aku sendirian bersama dua orang pelayanku, dan Nenek Bi, pengasuhku yang menjaga pintu dan ia amat boleh dipercaya.” Lenyaplah rasa khawatir dari hati Shi Men dan diapun menyambut uluran tangan nyonya rumah yang cantik manis itu dengan penuh kegembiraan. Mereka duduk berdempetan, minum dari satu cawan.

Posting Komentar