Si Teratai Emas Chapter 22

NIC

Mulai hari itu, Cun Bwe naik pangkat. Memang ia masih menjadi pelayan Kim Lian, namun ia tidak lagi melakukan pekerjaan berat. Pekerjaannya hanya membersihkan tempat tidur dan kamar, dan menghidangkan teh. Juga ia diberi pakaian dan perhiasan oleh Kim Lian, bahkan mengajarkannya untuk mengikat kedua kakinya agar kecil. Cun Bwe memiliki wajah manis dan cerah, suka bergembira, berbeda dari Siauw Giok yang canggung. Dengan masuknya Cun Bwe menjadi selir Shi Men, maka kini telah ada lima orang wanita cantik di dalam rumahnya, yang setiap saat Siap untuk melayani kehendak dan nafsunya. Namun, sudah puaskah hati Shi Men? Nafsu berahi, seperti nafsu lain, takkan pernah merasa puas. Makin dituruti, semakin loba dan tamaklah dia seperti akan dapat kita lihat dalam perjalanan hidup Shi Men.

Beberapa hari kemudian, tibalah giliran Hua Ce Shu untuk mengundang kawan-kawannya berpesta ria. Setelah tiba saatnya, berkumpullah sembilan orang itu dengan lengkap di rumah Hua Ce Shu. Mereka berpesta pora, digembirakan oleh dua orang gadis penyanyi yang selain memiliki kecantikan yang mempesonakan, juga mereka masih muda dengan tubuh yang menggiurkan. Suara mereka merdu, jari- jari tangan mereka yang mungil pandai memainkan siter dan ketika mereka bergiliran menari, tubuh mereka demikian lemas dan lembut bagaikan batang pohon yang-liu tertiup angin, begitu lemah gemulai dan penuh daya rangsang. Pemegang siter besar adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang sudah masak.

Sedangkan kawannya yang memegang siter kecil, adalah gadis remaja berusia lima belas tahun yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar, Kepada gadis remaja Inilah Shi Men mencurahkan perhatiannya dengan hati amat tertarik, bagaikan seekor srigala kelaparan melihat seekor domba muda yang berdaging empuk dan segar. Setelah memperlihatkan keahliannya bermain siter, bernyanyi dan menari, dua orang gadis penyanyi itu lalu melepaskan siter mereka, bangkit berdiri dan dengan langkah- langkah gontai mereka menghampiri meja di mana sembilan orang itu duduk makan minum, dan menjura dengan hormat. Shi Men demikian terpesona sehingga dalam kegembiraannya dia memerintahkan kacungnya, A Thai yang selalu mengawalnya, untuk memberi hadiah tiga ringgit perak kepada masing-masing gadis itu.

“Siapakah dua orang gadis ini sesungguhnya?” tanyanya kepada tuan rumah. “Mereka itu pandai sekali.” Sebelum Hua sempat menjawab, Ying-Tai (Pengemis Ying) mendahului.

“Aih, apakah engkau demikian pelupa, Shi-Toako? Pemegang siter besar itu bemama Gin Nio, kekasih saudara Hua yang berada di rumah pelesir ,sedangkan pemegang siter kecil ini bukan lain adalah Bi Hwa yang sering kuceritakan kepadamu. Ia adalah keponakan dari isterimu ke dua, masa engkau tidak mengenalnya? “Ah, jadi inikah keponakan itu? Sudah tiga tahun tidak melihatnya, kiranya sekarang telah menjadi seorang remaja yang jelita dan pandai. Bi Hwa, bagaimana keadaan encimu (kakakmu) dan Ibumu?” Bi Hwa menjura dan dengan suara merdu menghaturkan terima kasih. Ketika Bi Hwa dengan sikap malu- malu dan jinak-jinak merpati, mendekat untuk mengisi lagi cawan arak Shi Men, dia berbisik,

“Bi Hwa bagaimaha kalau nanti aku, bersama, dua orang kawan, mengantarmu pulang?”

“Aih, Kongcu, harap jangan bergurau. Mana mungkin kakimu yang terhormat itu mau menginjak ambang pintu rumahku yarg hina!”

“Aku tidak bergurau.” Dan Shi Men mengeluarkan sehelai saputangan sutera yang indah dan sebungkus manisan, di berikan kepada Bi Hwa. Gadis remaja ini merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih lagi dan berbisik.

“Kapan kita akan pergi? Lebih baik saya suruh teman saya pulang lebih dulu untuk memberitahukan agar Ibuku dapat membuat persiapan untuk menyambutmu.”

“Kita pergi setelah pesta ini bubar.” Setelah pesta bubar, Shi Men ditemani oleh Ying Po Kui dan Cia Ta, menunggang kuda mereka mengantar Bi Hwa yang duduk di dalam jolinya menuju ke perkampungan rumah-rumah pelesir di pinggir kota.

Jebakan dan perangkap yang mengerikan di dalam guha-guha yang mempesonakan menanti mangsa untuk diterkam! Seperti timbunan daging di rumah jagal di sini daging manusia diperjual-belikan martabat wanita diinjak-injak kehormatan dihargai seperti barang dagangan! Di dalam kamarnya sang mucikari tersenyum menghitung pemasukan uangnya hasil perasan darah dan peluh bunga-bunga yang menjelang layu. Rombongan itu tiba di rumah mucikari yang bernama Bibi Li. Joli yang dinaiki Bi Hwa menyambut kunjungan, tiga orang tamu terhormat itu dan mempersilakan mereka memasuki ruang tamu. Bibi Li segera keluar dan dengan susah payah berusaha menekuk punggungnya yang kaku karena encok sebagai penghormatan,

“Ya Tuhan! Angin baik apakah yang meniup datang suami yang terhormat dari saudaraku?”

“Jangan marah Kepadaku, bibi Li, akan tetapi kesibukan pekerjaan membuat aku tidak sempat berkunjung ke sini,” kata Shi Men. Tak lama kemudian tiga orang tamu itu minum arak dilayani oleh Bi Hwa yang sudah berganti pakaian lebih indah, Bersama encinya yang juga menjadi seorang gadis penghibur, di tempat itu. Mereka berdua melayani tamu-tamu itu minum sambil memainkan musik, Shi Men yang sudah bernafsu sekali, terhadap Bi Hwa berkata,

“Kaml ingin sekali mendengar nyanyian merdu dari Bi Hwa. sukalah untuk menyanyikan sebuah lagu merdu untuk kami. Bibi Li dan dua orang gadis itu tentu saja maklum bahwa sesungguhnya Shi Men telah timbul berahinya terhadap Bi Hwa, dan mereka itu tanpa berunding telah sepakat bahwa untuk menyerahkan seorang perawan semanis Bi Hwa tidak seharusnya dijual murah. maka enci Bi Hwa berkata, “Adik saya ini telah terdidik dengan hati hati sekali, seorang gadis yang merupakan simpanan dan sopan tentu tidak sembarangan saja bernyanyi untuk setiap orang.” Tentu saja Shi Men Mengerti Dia lalu mengeluarkan lima ons Perak, meletakannya diatas meja. “Sedikit perak ini untuk membeli bedak, kelak aku akan membeli pakaian sutra yang disulam benang emas untuknya.” Bi Hwa bangkit dan menerima hadiah itu dengan ucapan terima kasih, dia lalu menyerahkan perak itu kepada bibi Li untuk disimpan. Kemudian, dengan gerak dan gaya memikat, memegangi pinggiran sehelai saputangan sutera merah, iapun bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Bi Hwa hafal akan banyak lagu daerah, dan untuk Shi Men, ia menyanyikan sebuah lagu tentang seorang gadis yang merindukan kehadiran seorang pahlawan yang selalu di impikannya. Shi Men menjadi semakih tergila-gila dan segera dia mengutus A Thai untuk membeli pakaian-pakaian Indah dan barang- barang hadiah lain untuk Bi Hwa.

Juga memberi uang kepada bibi Li untuk membuat pesta untuk merayakan penyerahan diri Bi Hwa, kepadanya! Banyak uang dihamburkan untuk keperluan ini dan Shi Men mengeluarkan uang seperti orang membuang pasir saja. Apapun akan dia lakukan untuk mencapai keinginannya yaitu memiliki tubuh perawan Bi Hwa yang membuatnya begitu tergila-gila. Sampai dua minggu lamanya Shi Men tidak pernah meninggalkan rumah pelesir itu, memuaskan dirinya bersama Bi Hwa yang menjadi kekasih barunya. Berulang kali Goat Toanio mengirim utusan untuk memanggilnya pulang, namun Bi Hwa, dibantu bibi Li, berhasil menahannya, bahkan bibi Li tidak ragu-ragu untuk menyembunyikan pakaian Shi Men agar orang itu tidak dapat pulang. tentu saja semua isteri yang berada di rumah menjadi gelisah, juga merasa penasaran dan malu. Terutama sekali Kim Lian.

la adalah seorang wanita yang masih muda dan berdarah panas. Ditinggal pria yang dicintainya, yang dibutuhkannya selama belasan hari, hampir ia tidak tahan lagi. Bukan hanya marah dan gelisah, akan tetapi juga tersiksa sekali oleh rindu, haus akan belaian dan kasih sayang. Hampir setiap malam ia keluar ke taman dan termenung sambil berjalan-jalan, membayangkan saat-saat bahagia penuh romantika bersama Shi Men. Karena hari ulang tahun Shi Men sudah dekat, Goat Toanio mengutus A Thai untuk minta kepada Shi Men agar mau pulang dulu. Kesempatan ini di pergunakan oleh Kim Lian untuk mengirim sebuah pesan tertulis kepada Shi Men dan memesan kepada A Thai agar menyerahkan kain sutera berisi tulisannya itu kepada Shi Men sendiri. Shi Men sedang minum arak ditemani oleh beberapa orang kawannya sambil memangku Bi Hwa ketika A Thai muncul.

“Mau apa kau datang ke sini? Apakah terjadi sesuatu di rumah?” tanya Shi Men kepada kacungnya itu.

“Tidak ada sesuatu, hanya saya diutus oleh Toanio untuk melihat keadaan Kongcu dan minta agar Kongcu suka pulang dulu sebentar. Dan saya membawa surat dari Nyonya ke lima untuk Kongcu !”

Akan tetapi ketika A Thai mengeluarkan kain sutera tertulis itu, Bi Hwa sendiri merampasnya. la membuka gulungan sutera dan membaca dengan nyaring,

“Siang dan malam kuselalu ingat kepadamu kekasih

betapa kejam hatimu membiarkan aku rindu merana

aku hampir mati karena duka di atas bantal dingin bulanpun merasa kasihan menjenguk ke dalam jendela

betapa keras hatimu melebihi baja

Posting Komentar