“Sayang bahwa saya tidak dapat berbuat seperti yang selayaknya. Saya harus merawat seorang Ayah yang sudah tua, maka saya tidak mungkin dapat menjadi saksi kalau anda menuntut ke pengadilan.”
“Adik yang baik, marilah ikut dengan aku.” Bu Siong mengajaknya masuk ke dalam sebuah restoran dan memesan makanan yang cukup. Setelah mengajak anak itu makan-makan, Bu Siong lalu berkata dengan suara ramah.
“Ternyata engkau yang masih amat muda ini berbakti kepada orang tua. Itu baik sekali, A Goan. Aku hanya dapat membantu sedikit, inilah...” Dia mengeluarkan lima tail perak kepada anak itu. “Ini sedikit bantuan untuk Ayahmu yang tersayang. Kalau urusan ini sudah selesai aku akan memberimu sepuluh tail lagi agar engkau memperoleh modal untuk berdagang kecil-kecilan. Sekarang ceritakan,! Apakah Kakakku pernah berkelahi dengan orang lain? Siapakah orangnya yang mungkin menghendaki kematiannya? Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah? Nah, ceritakan dan jangan sembunyikan dariku!” A Goan menyimpan pemberian itu.
“Ayah dapat hidup selama lima bulan dengan uang ini, maka biarlah saya siap untuk menjadi saksi.” Kemudian A Goan menceritakan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi di rumah Nenek Wang, menceritakan perkelahiannya dengan Nenek Wang, dan betapa Bu Toa yang hendak menangkap basah isterinya dan Shi Men yang melakukan pertemuan gelap di dalam rumah Nenek Wang, telah menerima tendangan yang keras pada perutnya oleh Shi Men, dan betapa beberapa hari kemudian Bu Toa meninggal dunia secara tiba-tiba.
“Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah?” tanya Bu Siong walaupun dia sudah dapat menduga siapa laki-laki itu.
“Siapa lagi kalau bukan tuan muda Shi Men!”
“Hemm, si jahanam keparat! Sudah kuduga. Begini, adik A Goan. Besok pagi sekali engkau harus sudah siap di kantor pengadilan. Aku membutuhkan engkau sebagai saksi. Sekarang, di manakah tinggalnya si Hu Kiu pemeriksa mayat itu?”
“Engkau terlambat, Ciangkun. Tiga hari yang lalu, ketika mendengar bahwa engkau akan tiba, dia pergi, tak seorang pun tahu ke mana.” Mereka berpisah dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Siong menyuruh seorang ahli tulis untuk membuatkan sebuah surat pengaduan resmi. Dengan surat ini di tangan, Bu Siong pergi ke kantor pengadilan di mana A Goan telah menantinya. Bu Siong memasuki ruang pengadilan dan dia berlutut di ruangan itu sambil berseru dengan suara nyaring,
“Penasaran...!” Muncullah Jaksa yang segera minta dia menyerahkan surat pengaduannya, Bu Siong menyerahkan surat pengaduan dan dengan lantang dia menuduh Hu Kiu yang melarikan diri itu sebagai pejabat pemeriksa mayat telah menerima sogokan dan menyembunyikan fakta tentang rahasia kematiah Bu Toa.
Diapun menuduh Nenek Wang yang merencanakan pembunuhan terhadap Bu Toa dan akhirnya dia menuduh Shi Men yang melakukan perjinaan terhadap isteri Bu Toa, kemudian juga ikut membunuh Bu Toa dengan menendang perutnya. Untuk semua tuduhan itu, dia membawa saksi, yaitu A Goan yang menyaksikan semua yang dituduhkannya itu, Jaksa menjadi bingung dan khawatir karena dia dan bawahannya mempunyai hubungan yang amat akrab dengan Shi Men, jaksa dan para pembantunya lalu mengundurkan diri ke dalam kamar mereka untuk mengadakan perundingan. Semua orang yang bekerja di kantor pengadilan itu telah banyak menerima “budi” dari Shi Men, maka mereka semua sepakat untuk mencegah agar Shi Men tidak dituntut. Dengan keputusan ini, jaksa keluar menemui Bu Siong.
“Bu Siong, sebagai seorang Kapten Keamanan yang diangkat, engkau seharusnya lebih mengerti tentang peraturan. Tidak boleh menuduh perjinaan apabila seorang di antara suami-isteri itu telah tiada. Juga tidak boleh menuduh pembunuhan tanpa adanya pemeriksaan yang resmi atas tubuh korban. Pengaduanmu semata-mata berdasarkan kesaksian orang muda ini, dan hal ini belumlah cukup Kalau aku membuka persidangan pengadilan dan menuntut seperti pengaduanmu itu, aku akan disangka berat sebelah dan tidak bertanggung jawab. Engkau agak tergesa-gesa dalam pengaduanmu, Bu Siong. Pertimbangkanlah lagi pengaduanmu itu baik-baik.”
Tentu saja Bu Siong merasa tidak puas dengan jawaban ini. Dia menuntut agar Shi Men, Kim Lian dan Nenek Wang segera ditangkap dan dihadapkan pengadilan. Jika tuduhannya kemudian, terbukti palsu, dia bersedia untuk menerima hukuman sebagaimana mestinya.
“Ah, hal ini tidak mungkin dapat kami putuskan begitu saja,” jaksa menjawab untuk mengelak. “Harus kami rundingkan dulu masak-masak sebelum melakukan penangkapan tanpa bukti. Kami akan mempertimbangkan hal itu. Sementara ini, berdirilah dan urusan disudahi sampai di sini saja.”
Dengan hati penuh rasa penasaran Bu Siong kembali ke markasnya sambil mengajak A Goan. Dia tidak ingin kehilangan saksi utamanya ini, maka sebaiknya kalau selalu bersamanya. Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Shi Men ketika dia mendengar akan usaha Bu Siong menyelidiki kematian Kakaknya dan mengadukan dia ke pengadilan. Dia tahu bahwa dia harus segera bertindak secepatnya. Segera dikeluarkan sejumlah besar uang dari gudang uangnya dan pada malam itu juga dia telah berhasil membeli seluruh petugas di kejaksaan dan pengadilan, dari pemimpinnya sampai pegawai terendah! Pada keesokan harinya, Bu Siong merasa terkejut karena dia dipanggil ke kantor pengadilan dan menerima kembali surat pengaduannya. Pejabat itu dengan halus bahkan memberi nasihat,
“Sebaiknya anda jangan terlalu percaya kepada desas-desus tanpa bukti. Sungguh tidak bijaksana untuk membuat seorang seperti Shi Men menjadi musuh. Anda sama sekali tidak boleh tergesa-gesa dan sembrono. Tanpa bukti yang nyata, hanya dengan kekuatan saksi seorang yang belum dewasa, sungguh kami tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak berani melakukan penangkapan. Kalau pengaduan itu ternyata palsu, bukan hanya anda yang bertanggung jawab. Tuan, muda Shi Men dapat pula mengadukan kami ke Kotaraja dan kami semua akan celaka!” Dengan alis berkerut Bu Siong berkata,
“Kalau begltu, menurut pendapat paduka, penasaran yang diderita oleh mendiang Kakak saya tidak boleh dituntut? Saya tanggung bahwa pengaduan saya tidak palsu” Karena merasa tidak ada gunanya membujuk pejabat yang agaknya sudah dipengaruhi Shi Men, Bu Siong mengambil surat pengaduannya dan meninggalkan kantor pengadilan, juga dia menyuruh pulang A Goan yang tidak diperlukan lagi. Rasa penasaran membuat mukanya yang gagah menjadi kemerahan dan tentu saja dia sama sekali tidak akan mundur selangkahpun. Sambil mengepal tinju dan mengatupkan gigi dia berkata kepada diri sendiri,
“Pelacur busuk itu! Aku akan menjadi manusia macam apa kalau harus menelan semua penghinaan ini?” Dengan langkah lebar Bu Siong menuju ke toko obat milik Shi Men. Dia memasuki toko itu dan menghampiri Hok, pemimpin toko dan berkata dengan suara lantang. “Apakah majikanmu berada di sini?” Sambil menahan rasa takut, Hok menjawab.
“Tidak ada di sini. Ada keperluan apakah, Ciangkun?” Bu Siong menangkap leher baju Hok, mencengkeramnya dan menarik tubuh laki-laki itu mendekat, lalu berkata dengan suara mengandung nada ancaman,
“Apa engkau ingin mampus?” Dengan tubuh gemetar dan muka pucat Hok menjawab.
“Ciangkun ampunkan saya... kenapa Ciangkun marah-marah kepada saya? Kesalahan apakah yang telah saya lakukan terhadap Ciangkun?”
“Jawab dengan benar kalau engkau sayang nyawamu. Di mana adanya si anjing Shi Men? Dan sejak kapan dia memboyong bekas Kakak iparku ke rumahnya? Jawab atau...”
“Ciangkun, ampunkan saya dan jangan pukul saya. Saya hanyalah seorang pegawai Kongcu Shi Men yang tidak tahu apa-apa. Saya hanya mengurus toko, bagaimana saya bisa tahu tentang urusan rumah tangganya? Yang saya ketahui hanya bahwa dia baru saja pergi untuk minum arak bersama teman- temannya di kedai arak besar di Jalan Singa. Hanya itulah yang saya ketahui dan saya tidak membohongimu.” Bu Siong melepaskan cengkeramannya. Ketika Hok masih berdiri di situ, terlalu takut untuk menggerakkan kaki selangkah, Bu Siong telah pergi dengan langkah lebar menuju ke Jalan Singa.
Pada saat itu, Shi Men sedang duduk minum arak bersama Li, sekretaris dari kantor distrik kota. Li ini terkenal sebagai orang yang suka menghubungkan mereka yang membutuhkan bantuan dengan para pejabat, juga menjadi perantara dalam hal sogok menyogok sehingga orang-orang memberi julukan Calo Li kepadanya. Ketika jaksa mengembalikan dan menolak surat pengaduan Bu Siong maka Li yang cepat mengabarkan kepada Shi Men. Saking girang mendengar berita ini, Shi Men memberi hadiah lima tail perak kepada Li dan mengundangnya untuk minum-minum bersama. selagi mereka bersenang-senang minuh arak. kebetulan Shi Men menjenguk jendela dan dia melihat Bu Siong yang berlari-lari memasuki Jalan Singa dan telah tiba di atas jembetan.
Melihat pendekar ini, Shi Men menjadi ketakutan setengah mati dan diapun cepat lari bersembunyi di bagian belakang loteng itu. Calo Li tidak melarikan diri, tidak sempat lagi dan pula, dia tidak merasa takut. Dia tidak mempunyai urusan dengan Bu Siong, kesapa mesti lari, pikirnya dan dia melanjutkan minum arak seenaknya. Bu Siong berlari naik ke loteng dan dia melihat seorang laki-laki duduk minum arak ditemani dua orang gadis penyanyl. Tidak nampak Shi Men di situ. Bu Siong mengenal si Calo Li, maka diapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak perlu diragukan lagi, orang inl datang membawa kabar kepada Shi Men bahwa pengaduannya ditolak. Bukan main marahnya. Dia menghampiri Li dan membentak,