yang pandai merayu
tenggelam dalam air mata dan duka membiarkannya layu merana?
Tulisannya halus dan indah. Surat itu dilipatnya hati-hati, dimasukkan sampul dan diberinya kepada A Thai untuk disampaikan kepada Shi Men. Dan keesokan harinya, sehari suntuk Kim Lian duduk menunggu jawaban suratnya. Namun tidak ada berita secuilpun, seolah-olah ia telah melemparkan sebuah batu ke dalam lautan yang tanpa dasar. Pada malam hari ulang tahun Shi Men, dengan hilang sabar Kim Lian mengutus Bu Ying untuk mengundang janda Wang. Setelah Nenek itu datang, Kim Lian menyuguhi makanan dan minuman, kemudian menghadiahkan hiasan rambut terbuat dari perak dan emas, yang diambilnya dari rambutnya sendiri dan menyerahkannya kepada Nenek Wang. la tahu benar bahwa Nenek ini tak mungkin dapat diharapkan bantuan tanpa adanya imbalan.
“Bibi Wang, tolonglah aku dan, bawalah Kongcu Shi Men ke sini.” Kim Lian memohon.
“Saya kira hari ini dia tidak mungkin datang, karena dia tentu berpesta pora di rumahnya sendiri dengan keluarganya. Akan tetapi besok pagi-pagi saya akan pergi ke sana.” Setelah kenyang makan dan mukanya menjadi kemerahan karena banyak minum arak Nenek itu pulang, dan malam itu Kim Lian tidak dapat tidur. Ia gelisah di atas pembaringannya yang lunak, di antara bantal dan selimut yang disulam melukiskan sepasang bebek yang tengah berkasih-kasihan.
la rebah dengan gelisah, penuh kerinduan. Cinta asmara selalu mendatangkan kebalikan-kebalikan. Mendatangkan kepuasan akan tetapi juga kekecewaan, kesenangan dan kesusahan, suka dan duka, cinta dan benci. Kalau sedang mendatangkan kepuasan, tidak ada apapun di dunia ini yang melebihi puas dan nikmatnya, sebaliknya kalau mendatangkan kekecewaan, dunia dan kehidupannya seolah-olah kiamat! Kalau sedang mendatangkan suka, membuat orang bernyanyi, menciptakan lagu-lagu terindah, namun kalau sedang mendatangkan duka, banyak sudah orang membunuh diri karena kegagalan cinta! Kim Lian merasa nelangsa sekali. Entah berapa puluh atau ratus kali la menarik napas panjang, mengeluh dan mengusap matanya yang menjadi basah.
Rambutnya menjadi kusut, pakaiannya lusuh, matanya sayu, wajahnya layu dan erangan lirih keluar dari dada melalui kerongkongan seperti orang merintih-rintih. Pada keesokan harinya, ketika ia terbangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak, yang pertama kali dilakukan oleh Kim Lian adalah mengutus Bu Ying keluar untuk menyelidiki apakah benar-benar Nenek Wang pergi memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah Shi Men. Dan Bu Ying kembali dengan keterangan yang melegakan sedikit hati Kim Lian bahwa Nenek itu memang pagi-pagi sekali telah berangkat pergi meninggalkan rumahnya. Memang janda Wang pergi berkunjung ke rumah Shi Men. Ketika melihat seorang pegawai Shi Men yang bernama Hok, la cepat menghampirinya dan bertanya apakah majikan orang itu berada di rumah. “Ah, seharusnya engkau datang lebih pagi, Bibi Wang,” kata Hok kepadanya. Dia berada di rumah kemarin, dan banyak tamu berdatangan merayakan hari ulang tahunnya. Semalam dia pergi bersama- sama teman-temannya untuk pelesir dan belam pulang. Dia tentu berada di suatu rumah pelesir, kalau Bibi Wang ingin bertemu, harus mencarinya sendiri.” Bibl Wang segera pergi menuju ke kompleks rumah-rumah pelesir, tak jauh dari benteng. Dan benar saja, ia melihat Shi Men menunggang kuda, diikuti oleh beberapa orang pelayan laki-laki. Wajahnya memperlihatkan kelelahan karena terlalu banyak pelesir dan mabuk-mabuk semalam, sepasang matanya masih kemerahan.
“Hayaaa, Kongcu yang baik, seyogianya Kongcu tidak minum arak terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan Kongcu!” teriak Nenek Wang sambil menghentikan kuda tunggangan Shi Men.
“Ah, kiranya engkau, Bibi Wang.” Shi Men berkata menyeringai.
“Karena adik Kim Lian tentu mengutusmu keluar mencari aku, ya? Ha-ha-ha” Sambil berbisik Bibi Wang mengatakan betapa Kim Lian merindukannya setengah mati.
“Baiklah, aku sudah tahu. A Thai sudah memberitahu. Aku tahu ia marah kepadaku, dan memang aku sengaja membuatnya setengah mati kerinduan sehingga sikapnya “akan semakin mesra”, ha-ha... Sekarangpun aku akan mengunjunginya.” Sambil bercakap-cakap, Shi Men dan Nenek Wang melanjutkan perjalanan menuju Jalan Batu Ungu. Setelah dekat tempat tujuan, Nenek Wang mendahului Shi Men dan bergegas memasuki rumah Kim Lian.
“Selamat, selamat, nona Kim Lian dan engkau harus berterima kasih kepadaku. Belum juga satu jam dan saya berhasil membawa dia kepadamu” Kim Lian menjadi demikian terkejut dan girang dan Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat Shi Men memasuki rumahnya, masih dalam keadaan setengah mabuk, dan mengebut-ngebutkan kipasnya.
“Suatu kehormatan yang luar biasa!” Kim Lian menyambutnya dengan bersungut-sungut.
“Kukira engkau audah lupa sama sekall kapada hambamu yang malang Ini, Kongcu, karena sekian lamanya aku tidak pernah melihat bayanganmu. Akan tetapi tentu saja, kalau melekat kepada Isteri baru seperti sepasang sumpit mana ada waktu tersisa untuk hambamu yang malang Ini?”
“Ahh... kuharap engkau tidak mendengarkan celoteh orang pengangguran.”
“Isteri baru? Huh..! Aku harus membuat banyak persiapan untuk pernikahan puteriku, karena itulah maka sekian lamanya aku tidak sempat datang.”
“Jangan Kongcu mengira aku bodoh dan dapat membohongiku.” Kim Lian berkata sambil mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam melengkung.
“Bersumpahlah bahwa Kongcu benar-benar setia kepadaku dan tidak jatuh cinta kepada seorang isteri baru”
“Aku bersumpah, dan jika aku berbohong, biarlah aku dihinggapi penyakit borok sebesar piring, diserang penyakit kuning selama lima tahun, dan biarlah pinggulku digigit kutu busuk sebesar caping!” “Hemm, engkau perayu dan pembohong. Di manakah bros yang kuberikan kepadamu?” tanya Kim Lian yang tidak melihat hiasan bros yang setelah ia berikan kepada kekasihnya ini biasanya dipakai oleh Shi Men.
“Ah, baru-baru ini aku kehilangan bros Itu. Ketika aku mabuk dan terjatuh dari kudaku. Topiku menggelinding ke lumpur, kuncirku terlepas dan tentu bros itu telah terlempar dan hilang.” Kim Lian menggerakkan jari tangannya di depan mukanya,
“Engkau tidak bisa membohongi seorang anak kecilpun dengan alasan itu” Sampai di sini Nenek Wang cepat maju melerai.
“Nona, cukuplah teguran-teguran Itu. Apakah engkau tidak melihat betapa Kongcu Shi Men menderita dan nampaknya tidak sehat? Seyogianya engkau menghiburnya, bukan mencacinya.” Shi Men menarik napas panjang.
“Apakah engkau juga Ingin menekan aku, adik Kim Lian yang manis?” Bu Ying muncul membawa mangkok-mangkok teh. Atas perintah Kim Lian, anak Itu memberi hormat kepada Shi Men dan Nenek Wang merasa bahwa waktunya tiba baginya untuk mengundurkan diri. Sebelum pergi, ia masih berseru.
“Masa perasaan rindu harus dipuaskan dengar saling tegur dan percekcokan?” Bu Ying mengatur meja dan Kim Lian lalu mengeluarkan hadiah-hadiah ulang tahun yang sudah dipersiapkannya untuk kekasihnya dan menaruh hadiah-hadiah itu di atas meja di depan Shi Men. Sepasang sandal sutera hitam, sepasang kantung harum untuk dipakai dengan tali, pelindung lutut sepasang terbuat dari sutera merah dengan pinus, bambu, dan daun acanthus, tiga obat pelindung dingin di musim salju, baju dalam yang hijau dari sutera halus sekali, ikat pinggang, tusuk rambut dengan hiasan ukiran bunga. Melihat hadiah-hadiah ini, Shi Men merasa terharu sekali. Dia mendekap kekasihnya dan menghadiahkan sebuah ciuman yang lama dan mesra. Sehari semalam Shi Men berada di rumah Kim Lian dan kedua orang ini dengan bebas menumpahkan seluruh kerinduan mereka dan berpesta pora dalam nafsu berahi mereka.
Susah dan senang merupakan dua saudera kembar yang tak terpisahkan, Kalau kita bersenang di waktu pagi, jangan heran kalau bertemu dengan susah di sore harinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum dua orang yang berkasih-kasihan itu bangun dari tidur, seorang penunggang kuda berhenti di depan rumah mendiang Bu Toa. Ternyata orang itu adalah utusan dari komandan Bu Siong. Kiranya Bu Siong telah selesai melaksanakan tugasnya, menyerahkan barang-barang berharga yang merupakan penyuapan yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Komandan Istana yang bernama Cu. Setelah menyampaikan barang sumbangan yang berharga itu, Bu Siong menuju pulang dengan membawa surat penerimaan, dan balasan dari pembesar istana itu. Musim panas telah lewat dan musim gugur sudah menjelang tiba ketika dia melakukan perjalanan pulang ke kota Ceng-Ho-Sian.