“Laki-laki memang tidak setia, apakah Kongcu telah melupakan aku dan membiarkan aku tersiksa dan menderita dalam kerinduan selama berhari-hari. Sungguh engkau kejam sekali, Kongcu. Apakah barangkali engkau telah menemukan seorang kekasih baru?” Shi. Men merangkul dan menciumnya sambil tertawa.
“Ah, jangan menyangka yang bukan-bukan sayang. Aku sibuk oleh urusan dagang, akan tetapi hari ini aku meninggalkan pekerjaan untuk menyerahkan oleh-oleh kepadamu. Ini kubeli dari Pasar Kuil.”
Shi Men menggapai A Thai yang menunggu di luar membawa buntalan besar, Anak itu datang dan membuka buntalan. Ternyata Isinya gulungan kain sutera dan berbegai macam perhiasan yang serba indah dan mahal. Kim Lian menerima pemberian itu dengan girang sekall dan ia memanggil Bu Ying untuk melayani mereka. Bu Ying yang setiap hari dibentak dan dipukul itu telah menjadi seperti sebuah boneka hidup, tak berani berkutik di depan Kim Lian sehingga Kim Lian tidak merasa segan untuk mengadakan pertemuan mesra dengan Shi Men di depan hidung anak tirinya sendiri. Segera dua orang yang tak bermalu itu duduk mepet berendeng, makan dari satu mangkok dan minum dari satu cawan. Setelah merasa kenyang, Kim Lian bahkan berani mengajak Shi Men berkunjung ke rumahnya melalui pintu belakang, diikuti oleh Bu Ying yang melayani mereka. Sedangkan A Thai disuruh menanti di rumah Nenek Wang. Ketika memasuki kamar dan melihat ada yang-kim (siter) di tembok, Shi Men lalu minta kepada Kim Lian untuk memainkan sebuah lagu untuknya. Dengan lagak malu-malu kucing Kim Lian lalu memainkan siter sambil bernyanyi. Suara siter yang myaring mengiringi suara nyanyiannnya yang merdu, dan Kim Lian sudah menyanyikan sebuah lagu yang romantis tentang kegembiraan seorang wanita yang menjemput kedatangan kekasih yang sudah lama meninggalkannya. Bagaikan terpesona Shi Men melihat jari-jari tangn yang Putih mungil dan halus itu bermain-main dan menari-nari di atas senar-senar siter, dan melihat pula gerakan mulut kekasihnya, yang bernyanyi. Setelah lagu itu selesai dinyanyikan, Shi Men menjadi kagum sekali dan menghadiahkan sebuah cuman mesra pada mulut kekasihnya.
“Ah, kiranya engkau seorang seniwati yang hebat” serunya. “Sesungguhnyalah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang wanita sehebat engkau, di seluruh kota ini!”
“Aih, engkau merayu, Kalau saja selamanya hatimu akan tertuju kepadaku seperti pada saat ini, dan tidak akan melupakanku.”
“Tidak, tak mungkin aku melupakanmu, kekasihku yang tersayang” Tak lama kemudian merekapun menutupkan pintu kamar dan Bu Ying disuruh membersihkan meja dan mencuci mangkok piring. Shi Men yang sedang mabuk oleh kecantikan dan kepandaian Kim Lian, tanpa segan-segan lagi melepaskan sepatu sutera yang dipakai Kim Lian, menuangkan anggur di dalam sepatu itu dan meminumnya, Mereka berdua lalu bercumbu rayu menceburkan diri ke dalam gelombang-gelombang nafsu yang tak kunjung puas.
Mereka bermain cinta seperti dua ękor ikan dalam danau yang bening, seperti dua ekor burung Hong di angkasa. Keduanya merupakah ahli-ahli dalam permainan yang mengasyikkan itu dan baru setelah matahari tenggelam ke barat, mereka saling berpisah. Seperti biasa, Shi Men memberi hadiah sekedarnya kepada Nenek Wang yang selama itu duduk didapur bersama Bu Ying. Nafsu berahi bagaikan api yang membakar, makin diberi umpan semakin ganas tak mengenal padam, tak mengenal puas. Makin dituruti makin menjadi-jadi. Akan tetapi, yang demikian sama sekali bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya, melainkan nafsu berahi belaka. dan nafsu berahi, seperti semua nafsu lainnya, condong untuk memudar, menjadi bosan, bahkan mendatangkan segala macam konflik kalau dituruti dan dibiarkan mencengkeram diri.
Sebulan telah berlalu dan Kim Lian merasa kesepian karena selama itu tak pernah nampak bayangan Shi Men. la tidak tahu bahwa selama itu Shi Men telah asyik masyuk dengan wanita-wanita lain. Seorang, janda berusia tiga puluh tahun bernama Mong Yu Lok, yang jauh lebih berpengalaman dalam hal permainan cinta dibandingkan Kim Lian, telah diambil oleh Shi Men menjadi isteri ke tiga, menggantikan Co Tiu yang meninggal dunia. Selain ini, juga seorang pelacur wanita, gadis muda belia yang mulus bernama Sun Siu Oh, diangkatnya menjadi isteri ke empat setelah ternyata gadis pelayan Ini memiliki pula keistimewaan-keistimewaan yang menyenangkan hati Shi Men.
Tidaklah mengherankan kalau Kim Lian tidak kebagian karena selama sebulan Itu Shi Men asyik dengan dua orang kekasihnya yang baru telah ditariknya menjadi anggauta keluarga di dalam rumahnya. Di suatu pagi dalam permulaan musim panas, ketika udara sedang panas-panasnya, Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk mempersiapkan mandi air hangat. Kim Lian menanti sambil duduk di atas bangku, hanya mengenakan pakaian dalam yang serba ringkas dan tipis. Siapa tahu hari ini dia akan datang, pikirnya penuh harap dan penuh kerinduan. la setiap hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kunjungkan Shi Men, bahkan juga telah menyediakan masakan yang dimasak oleh kedua tangannya sendiri.
“Laki-laki tak mengenal budi!” berkali-kali ia bersungut-sungut, Karena tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Kim Lian melamun sampai ia merasa mengantuk, maka iapun melempar diri ke atas pembaringan dan jatuh pulas. Dua jam kemudian Kim Lian bangun dengan uring-uringan. Bu Ying datang memberitahukan kepada ibu tirinya yang sudah bangun bahwa air hangat untuk mandi telah dipersiapkan.
“Coba bawa ke sini bakso goreng yang kubikin tadi,” katanya. Kalau Shi Men tidak datang, lebih baik ia makan sendiri saja masakan daging yang enak itu. Bu Ying cepat mengambilkan masakan yang diminta ibu tirinya dan dengan jari tangannya yang kecil mungil Kim Lian menghitung kue daging yang bulat- bulat itu.
“Eh? Aku menggoreng tiga puluh biji, kenapa tinggal dua puluh sembilan? Mana yang sebiji lagi?” la membentak Bu Ying dengan alis berkerut. Kesepian dan kekecewaan karena Shi Men tak pernah muncul membuat gairahnya tak tersalurkan dan sebagai gantinya ia menjadi pemarah sekali.
“Saya tidak tahu, barangkali engkau salah hitung?”
“Tidak mungkin! Aku telah menghitungnya dua tiga kali. Bakso ini kubikin untuk tuan muda Shi Men, bagaimana engkau begini kurang ajar untuk berani mencurinya sebiji? Engkau budak hina tak mengenal budi, engkau tak mengenal kenyang. Awas, kuhajar kau!” Dengań kemarahan meluap Kim Lian membuka baju Bu Ying sehingga nampaklah punggung anak itu yang kurus. Kim Lian lalu melecuti punggung telanjang itu dengan cambuknya sampai tiga puluh kali, yang membuat anak itu meraung- raung dan menggeliat-geliat.
“Hayo mau mengaku atau tidak? Kalau tidak mengaku akan kupukul lagi sampai seratus kali!”
“Ya..., ya...” di antara lolong jeritnya kesakitan Bu Ying berteriak. “Hentikan cambukan itu... aku mengambil sebuah karena aku... lapar sekali.”
“Aku tahu engkau mencurinya dan engkau berani menuduh aku menghitung tidak. benar? Engkau pencuri hina-dina dan tak kenal budi! Pantas karena selama ayahmu yang tolol itu masih hidup engkau tídak dididik baik-baik. Sekarang dia sudah mampus dan engkau berani main-main di dalam rumahku? Huh, sepatutnya kucabik-cabik kau, maling tak tahu malu” Ia melecut sekali lagi keras-keras sehingga pipi Bu Ying, yang terkena lecutan menjadi bergurat merah, lalu melemparkan cambuknya dan memerintahkan Bu Ying untuk berdiri di dekatnya dan mengipasi tubuhnya yang terasa gerah setelah melakucan pencambukan itu. Setelah Bu Ying mengipasinya beberapa lamanya, Kim Lian yang masih belum reda marahnya itu berkata.
“Menghadap ke sini, aku ingin memberi pelajaran agar engkau tidak lupa lagi dan berani main-main di rumahku. Biarpun ketakutan, Bu Ying manghadapkan mukanya dan dengan kedua tangannya, Kim Lian mencakar kedua pipi Bu Ying dengan kukunya yang panjang meruncing sehingga kedua pipi itu bertambah guratan berdarah. Barulah Kim Lian merasa puas dan ia mengusir Bu Ying keluar dari dalam kamarnya. la lalu mandi berias maka, membereskan rambutnya dan mengambil tempat di tempatnya yang biasa, yaitu di bawah tenda di luar pintu rumahnya. Pada saat ia keluar, ia melihat si kacung A Thai menunggang seekor kuda membawa sebuah tas. “Heii, A Thai, mau ke mana engkau?” teriak Kim Lian. A Thai bukan seorang anak bodoh dan seringkali dia diajak majikannya berkunjung ke rumah ini dan sudah sering pula telapak tangannya menerima pemberian hadiah-hadiah kecil dari Kim Lian, maka diapun segera turun dari atas kudanya menghampiri wanita itu sampai ke depan pintu.
“Saya diutus pergi ke rumah Komandan Militer untuk menghaturkan beberapa hadiah.”
“Eh, A Thai, apa saja yang dikerjakan majikanmu. di rumahnya?” Kim Lian mengajak anak itu masuk ke dalam rumahnya.
“Mengapa dia menghilang dan aku tak pernah melihat bayangannya? Apakah dia telah mendapatkan seorang kekasih baru?”
“Saya kira tidak. Pekerjaan yang repot membuat dia belum sempat datang mengunjungimu.”
“Ah, pekerjaan! Bukankah alasan untuk menelantarkan aku selama satu bulan penuh, tanpa kabar sedikitpun? Pekerjaan apa sih?” Pemuda remaja itu menyeringai.
“Katakan, pekerjaan macam apa?”
“Yah, pekerjaan macam-macam. Kuberi tahu engkau juga tidak akan mengerti” A Thai menjawab dengan lagak menjual mahal.
“Ih, anak bengal! Aku akan membencimu sampai aku mati kalau engkau tidak mau mengatakan sebenarnya!”
“Baiklah, baiklah, enci yang baik. Akan tetapi, berjanjilah agar engkau tidak akan memberitahukan majikanku.”
“Aku berjanji.”
“Nah, majikanku, baru saja mengawini nyonya Mong Yu Lok...” Anak itu lalu menceritakan tentang peristiwa itu, betapa majikannya tergila-gila kepada Mong Yu Lok, bahkan mengambilnya sebagai isteri ke tiga pengganti isteri ke tiga yang meninggal. Mendengar penuturan itu, Kim Lian tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai di kedua pipinya.
“Sudahlah, jangan menangis,” anak, itu mencoba menghiburnya. “Hari ulang tahun majikanku akan tiba tak lama lagi dan dia pasti akan datang ke sini. Sebaiknya kau tulis beberapa baris kata-kata, dan aku akan mengantarkan suratmu itu kepadanya.”
“Ah, itu baik sekali! Aku akan menghadiahkan sepasang sepatu baru dan indah untukmu, yang dibuat oleh kedua tanganku sendiri. Dan aku mengharapkan kedatangannya pada hari kelahirannya. Akan tetapi awaslah engkau, anak bengal, jika dia tidak datang!” Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk menghidangkan teh dan kue kering. Kemudian ia sendiri pergi ke kamarnya untuk menuliskan sepucuk surat dengan kertas berkembang dan sebentar saja ia telah membuat serangkaian sajak yang diberi judul : “Pesan Sang Bunga” Pesan dari setangkai kembang kepada dia sang kumbang lupakah sudah anda
akan pertemuan pertama ketika anda dengan dalih cinta
menghisap manisnya madu bunga?
kenapa membiarkan kembang menanti rindu akan datangnya sang kumbang