Si Teratai Emas Chapter 14

NIC

“Mari kubantu.” Dengan air panas dan kain Nenek Wang lalu membersihkan semua darah yang keluar dari lubang-lubang di tubuh Bu Toa, kemudian dibantu oleh Kim Lian Nenek itu mengganti pakaian yang baik pada tubuh mayat, memakaikan sepatu, topi, menyisir rambutnya,

Kemudian mereka mengangkutnya turun, merebahkannya di bangku dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan kain bersih. Setelah itu mereka berdua membersihkan kamar, melenyapkan segala yang dapat menimbulkan kecurigaan. Setelah itu, Nenek Wang pulang dan Kim Lian lalu berlutut didekat mayat suaminya dan menangis melolong-lolong seperti lajimnya orang yang kematian keluarganya. Pada jaman itu ada tiga macam cara bagi seorang yang ditinggal mati suaminya untuk meratapi si mati, yaitu petmrtama adalah meratap tangis dengan suara keras dan meratap-ratap mengeluarkan kalimat-kalimat yang memilukan, kedua adalah menangis dengan air mata bercucuran tanpa mengeluarkan ratapan dan ke tiga berkabung dengan muka penuh duka tanpa tangis maupun ratap, seolah-olah yang berkabung sudah kehabisan air mata. Dan agaknya Kim Lian memilih cara terakhir ini.

Palsu! Palsu! Palsu! Kepalsuan melanda dunla ini! Munafik! Muhafik! Munafik!

Lain di kata, lain di perbuatan! Lain dihati!

Tentu saja Shi Men girang bukan main melihat, betapa siasat itu berhasil baik. Cepat dia mengeluarkan uang, melalui Nenek Wang dia menyuruh beli peti mati dan segala keperluan pemakaman. Tentu saja dalam, kesempatan ini, sedikitnya biaya itu menjadi dua kali lipat besarnya, dan yang setengahnya lebih dari uang pemberian Shi Men masuk ke dalam kocek uang Nenek Wang.

“Ada lagi suatu kesulitan, Shi-Kongcu,” kata Nenek Wang yang banyak akal itu.

“Besok, kalau mayat hendak dikubur, kita harus berhadapan dengan petugas pemerintah yang memeriksa kematian. Tuan Hu Kiu itu pintar sekali, harap Kongcu suka mengusahakan agar dia tidak menaruh curiga dan mengadakan pemeriksaan. Saya tidak berdaya menghadapinya.”

“Haha jangan khawatir, akan kubereskan Hu Kiu itu.” kata Shi Men. Setelah mayat Bu Toa dimasukkan peti mati dan di depannya dipasangi meja sembahyang, para tetangga mulai berdatangan dan bertanya penyakit apa yang menyebabkan kematian Bu Toa si cebol itu.

“Dia mempunyai penyakit perut yang sudah, lama. Akhir-akhir ini kumat dan payah. Biarpun sudah kuusahakan pengobatannya, percuma saja.” Dan janda Kim Lian menangis terisak-isak di depan para tetangga. Para tetangga menghiburnya dengan kata-kata yang sudah kuno itu, yaitu,

“Yang sudah mati tak dapat hidup kembali. Semua orang hidup akhirnya mesti mati. Jangan bersedih terlalu mendalam karena hal itu akan mengganggu kesehatanmu sendiri.” Kim Lian lalu menghaturkan terima kasih dengan sikap seperti orang yang merasa amat terharu, Kepalsuan-kepalsuan seperti ini agaknya takkan lenyap selama manusia masih memiliki kebudayaan berpalsu-palsu macam sekarang ini. Sementara itu, Nenek Wang mengatur segala-galanya dengan uang pemberian Shi Men. Dialah yang membeli peti, membeli dupa, membeli kain dan segala macam keperluan penguburan, menguruskan tempat kuburan, laporan kepada penguasa dan sebagainya lagi. Pagi itu, pembesar Hu Kiu berjalan seenaknya untuk mengunjungi rumah kematian dan tiba-tiba dia berjumpa dengan Shi Men yang tentu saja memang sudah sengaja menghadangnya.

“Selamat pagi, hendak ke manakah, sobat baik?” tanya Shi Men yang sudah mengenal baik pejabat itu.

“Ah, saya hendak pergi mengunjungi rumah Bu Toa yang meninggal dan akan dikubur hari ini juga, sore nanti,” jawab Hu Kiu.

“Tunggu sebentar, kawan ada sesuatu yang penting yang perlu kuberitahukan kepadamu. Marilah kita singgah sebentar di kedai arak itu” Tanpa banyak cakap lagi Shi Men menggandeng tangannya dan mengajaknya ke loteng kedai arak yang sunyi, karena sepagi itu belum ada tamu yang datang berkunjung. Shi Men memesan anggur hangat dan beberapa makanan ringan. Diam-diam Hu Kiu merasa heran apa yang menyebabkan hartawan ini demikian baik hati kepadanya pagi hari ini. Setelah mereka minum-minum, Shi Men mengeluarkan sekantung uang perak dan berkatalah dia dengan suara yang lembut.

“Sahabatku Hu, harap jangan menolak, terimalah pemberianku ini sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Saya akan berterima kasih sekali kepada anda.” Hu Kiu berpura-pura menolak dengan gerakan tangannya dan hatinya terguncang ketika dia melihat mengkilapnya perak.

“Aih, Kongcu, alasan apakah yang menyebabkan Kongcu demikian baik hati kepada saya? Saya tidak pernah membantu Kongcu dalam urusan apapun juga. Bagaimana saya dapat menerima hadiah tanpa melakukan sesuatu? Barangkali saja, kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan?”

“Tidak mengapalah, sahabat Hu. Simpan saja perak ini.” Seperti bermain sulap saja, kantung itu telah menghilang ke dalam saku jubahnya yang lebar dan dalam.

“Sekarang katakanlah, Kongcu. Apa yang dapat saya łakukan untukmu?”

“Ah, urusan kecil, sobat baik. Sudah sepatutnya kalau anda menerima sedikit uang lelah untuk tugasmu di rumah keluarga Bu Toa. Oya, maukah anda menolong saya agar mayat Bu Toa tidak diganggu dengan segala pemeriksaan dan dibiarkan saja tertutup?”

“Aha, hanya itu sajakah permintaan Kongcu? Saya kira urusan yang besar. Untuk hal yang sekecil itu kenapa memberi hadiah begini besarnya?”

“Jika anda tidak menerima penghormatan saya ini, berarti anda menolak permintaan tolong dariku.” Tentu saja Hu Kiu mengenal siapa adanya Shi Men yang bersahabat baik dengan para pejabat tinggi. Dia mengerti bahwa tentu ada sesuatu di balik permintaan Shi Men itu, akan tetapi itu bukanlah urusannya, Rejeki yang datang tak boleh ditolak, pikirnya. Setelah tiba di rumah kematian Hu Kiu disambut oleh Nenek Wang dan dia bertanya,

“Karena penyakit apakah dia mati?” “Menurut isterinya, karena penyakit perut,” jawab Nenek Wang. Hu kiu mendekati peti mayat. Para Pendeta sedang bersembahyang di sekitar meja dan peti mati. Hu Kiu lalu menyingkap kain putih yang menutupi muka mayat. Dia melihat betapa kuku-kuku tangan mayat itu membengkak dan berwarna hijau kebiruan, Bibirnya menghitam, mukanya kuning seperti malam dengan mata melotot. Jelaslah baginya bahwa ini bukan kematian karena penyakit, melainkan karena kejahatan. Juga dua orang pembantunya yang datang terlebih dahulu merasakan suatu keanehan

“Warna mukanya itu mencurigakan,” kata mereka kepada Hu Kiu yahg menjadi atasan mereka, “Bibir itu berbekas gigitan gigi, dan ada darah di dalam mulutnya...”

“Omong kosong!” Hu Kiu membentak mereka.

“Itu adalah akibat hawa yang panas. Tutuplah petinya!” Nenek Wang menjadi girang sekali, maklum bahwa pengaruh Shi Men terasa di situ dan setelah peti ditutup Ia menyerahkan seuntai uang tembaga kepada pejabat itu. Hu Kiu lalu meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Setelah jenazah Bu Toa dikubur, Kim Lian sama sekali tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang janda yang berkabung. la mendorong meja abu suaminya ke sudut ruangan menutupinya dengan kertas putih.

la tidak membuat masakan untuk meja sembahyang seperti yang selayaknya dilakukan bagi meja sembahyang orang yang baru meninggal, melainkan masak untuk dimakan sendiri. Bahkan Bu Ying yang kehilangan ayahnya itu tidak diperbolehkannya untuk berkabung, apalagi menangis. Anak itu oleh Kim Lian disuruh bersembunyi saja di bagian belakang rumah membenamkan diri di dalam kamarnya yang kecil. Kesibukan satu-satunya bagi Kim Lian hanyalah berias muka. Dan selagi perkabungan masih berlangsung, baru beberapa hari saja setelah kematian Bu Toa, pada suatu pagi Kim Lian sudah mengadakan pertemuan rahasia dengan Shi Men, tentu saja seperti biasa di dalam rumah janda Wang. Karena tidak bertemu dengan Shi Men untuk beberapa hari lamanya, begitu bertemu Kim Lian bersungut-sungut dan berkata manja,

Posting Komentar