Si Teratai Emas Chapter 13

NIC

Bu Toa mengangguk, menggigit Bibir dan mengepal tinju, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia, lalu mencari, tempat persenbunyiannya agar tidak kelihatan orang, akan tetapi dari tempat persembunyiannya itu dia dapat melihat ke arah rumah Nenek Wang. Tak lama kemudian, dengan menggunakan mantelnya dan topi untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya dan mukanya Shi Men memasuki rumah Nenek Wang. Setelah membiarkan orang itu, masuk beberapa lamanya dan melihat Nenek Wang sudah duduk memintal benang, A Goan maklum bahwa waktunya telah tiba untuk bertindak. Dia lalu keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menuju ke depan rumah Nenek Wang sambil membawa keranjang buahnya. Setelah berhadapan dengan janda Wang, dia lalu berteriak memaki dengan sikap mengejek.

“Heh, babi tua, kenapa engkau berani memukuli aku kemarin?” Melihat pengganggunya berani datang lagi Nenek Wang yang galak itu segera memaki, “Monyet cilik, aku tidak ada urusan dengan kamu! Kenapa kau berani datang lagi? Minta dipukuli sampai mampus barangkali!” Dan Nenek itu sudah menyerang A Goan dengan pukulan dan cakarannya. A Goan melemparkan keranjang apelnya sehingga buah itu berhamburan di atas tanah, berseru,

“Kalau begitu, marilah!” dan diapun menangkap ikat pinggang Nenek itu, memukul perutnya dengan kepala dan serangan ini membuat Nenek Wang terhuyung ke belakang dan tentu saja akan roboh, kalau tidak tertahan oleh dinding rumahnya. la tak mampu melepaskan diri dari pegangan A Goan dan selagi mereka bersitegang, muncullah Bu Toa dari tempat persembunyiannya. Melihat si cebol ini, Nenek Wang terkejut bukan main dan berteriak,

“Bu Toa datang...!” Mendengar terlakan ini, dua orang yang sedang mengadakan pertemuan gelap di dalam rumah itu terkejut sekali dan cepat mereka membereskan diri. Terlambat bagi Kim Lian untuk melarikan diri, maka iapun cepat menahan daun pintu kamar itu dengan tubuhnya, sedangkan Shi Men yang juga kaget setengah mati, saking gugupnya telah merangkak ke bawah tempat tidur.

“Bagus, ya... Perbuatan busuk terjadi di sini” Bu Toa berteriak-teriak sambil berusaha untuk mendobrak pintu kamar yang dipertahankan oleh Kim Lian dari dalam. Melihat betapa kekasihnya bersembunyi di bawah tempat tidur, Kim Lian merasa mendongkol bukan main dan ia berkata kepada kekasihnya yang berada di kolong itu,

“Hemm, biasanya engkau mengagulkan kegagahanmu dan membual tentang kekuatan tanganmu. Akan tetapi kalau saatnya tiba, engkau menggigil ketakutan melihat seekor macan kertas.” mendengar ini, Shi men dapat menguasai dirinya dan merangkak keluar dari kolong membereskan pakaiannya,

“Ah, aku tadi gugup. Sekarang akan kuperlihatkan padamu!” Dia menghampiri daun pintu yang masih dipertahankan Kim Lian, lalu menarik daun pintu itu terbuka dengan tiba-tiba sedangkan Kim Lian lari ke arah pintu belakang.

“Pergilah kau” bentaknya kepada Bu Toa. Dengan marah sekali karena melibat bayangan isterinya lari ke belakang, Bu Toa hendak menerjang ke dalam, akan tetapi sebuah tendangan yang keras sekali menyambut perutnya, membuat Bu Toa terjengkang dan terbanting keras.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Shi Men untuk cepat melarikan diri melihat betapa urusan menjadi gawat dan gagal, A Goan juga melepaskan Nenek Wang dan melarikan diri pula karena merasa segan dan takut kepada Shi Men, para tetangga pura-pura tidak tahu dan tidak mau mencampuri urusan itu. Kini Nenek Wang menolong Bu Toa yang masih rebah diatas tanah. Melihat mulut Bu Toa mengeluarkan darah dan mukanya pucat sekali, Nenek itu cepat memanggil Kim Lian dan dengan susah payah, dua arang wanita ini lalu mengangkat Bu Toa masuk ke dalam rumah, naik loteng dan merebahkan tubuh kecil itu ke atas pembaringan di dalam kamarnya. Sejak saat itu, Bu Toa jatuh sakit. Dua orang pelanggar susila itu tidak menjadi jera. Bahkan pada keesokan harinya, Shi Men dan Kim Lian sudah mengadakan, pertemuan mereka lagi di rumah janda Wang.

Mereka meneruskan perjinaan dalam hubungan antara mereka yang mesra dan penuh nafsu berahi yang bergelimang, bahwa mereka menyatakan harapan agar Bu Toa mati saja karena perkelahian itu. Bu Toa rebah di atas pembaringannya, sakit berat dan sampai lima hari dia tidak mampu bangun dari pembaringannya. Tendangan yang dilakukan Shi Men itu kuat sekali dan membuat Bu Toa menderita luka dalam yang cukup parah. Yang membuat dia semakin menderita adalah karena Kim Lian tidak memperdulikan suaminya yang sedang menderita sakit itu, bahkan Kim Lian melarang Bu Ying untuk merawat Ayahnya. Anak itu disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, melebihi seorang pelayan, bahkan dilarang untuk memasuki kamar Ayahnya. Pada suatu hari Bu Toa memanggil Kim Lian untuk duduk di tepi pembaringannya dan diapun berkata,

“Aku tahu bahwa engkau melakukan penyelewengan. Baiklah, engkau bersenang-senanglah. Aku tidak mampu berbuat apa-apa dan pula, semua itu sama saja kalau aku sudah mati. Akan tetapi ingatlah engkau kepada adikku, Bu Siong! Engkau tahu orang macam apa dia. Cepat atau lambat dia akan kembali dan nah, sekarang pilihlah. Engkau rawatlah aku sampai aku sembuh dan aku tidak akan bicara kepada Bu Siong tentang segalanya. Akan tetapi kalau engkau tetap bersikap acuh dan kejam kepadaku, dia akan tahu segalanya!” Kim Lian tidak menjawab, dan cepat ia menghubungi janda Wang untuk minta nasihat. Kebetulan Shi Men berada di situ dan mendengar laporan Kim Lian, Shi Men merasa seolah-olah disiram air dingin.

“Terkutuk!” Dia berseru sambil memandang Kim Lian.

“Aku tak pernah memikirkan pembunuh harimau Gunung King Yang itu. Akan tetapi aku sudah berhubungan denganmu terlalu lama, aku telah jatuh cinta padamu dan tak mungkin aku melepaskanmu. Bibi Wang, apakah tidak ada jalan keluar? Tolonglah kami.”

“Hemm, lihatiah Kongcu kita ini.” Janda Wang mengejek.

“Seorang laki-laki harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya, tidak menggigil seperti ini. mendengar akan ancaman sebagai akibatnya. Saya, biarpun seorang Nenek tua saya tidak takut.”

“Baiklah, aku seorang penakut, Bibi Wang. Akan tetapi apakah Bibi mempunyai akal muslihat yang baik?”

“Saya mempunyai akal, akan tetapi tergantung dari ji-wi (anda berdua) apakah akan menjadi pasangan untuk selamanya ataukah hanya sementara saja.” Shi Men memeluk Kim Lian dan berkata,

“Aku cinta padanya, Bibi... Kami ingin menjadi pasangan selamanya.”

“Kalau begitu, dengarlah baik-baik. Saya yakin bahwa di dalam toko obat milikmu terdapat racun warangan, bukan? Nah, sekarang si cebol sedang sakit dan ini merupakan kesempatan yang baik sekali. Biarkan nona Kim Lian, mencampurkan sedikit racun warangan ke dalam obatnya dan memberinya minum. Kalau dia mati, maka ji-wi tidak perlu takut lagi terhadap adiknya itu. Bukankah ada istilah kuno yang mengatakan Pernikahan pertama untuk menyenangkan hati orang tua, pernikahan ke dua untuk menyenangkan diri sendiri?” Kalau nona Kim Lian sudah menjadi janda, tiada halangannya untuk menjadi milikmu selamanya.

“Ah, bagus sekali, Bibi Wang! Engkau memang seorang yang amat cerdik sekali. Kami tentu akan segera melakukan siasatmu itu!” Shi Men berseru dengan girang bukan main. Demikianlah, seperti telah mereka rencanakan. Shi Men menyerahkan sebungkus racun warangan kepada Kim Lian. Nafsu adalah keinginan untuk senang, dan kalau orang sudah dikuasai nafsu, ia mampu melakukan apa saja. Kalau ada penghalang kesenangan itu, maka ia akan menyingkirkan penghalang itu dengan cara apapun juga. Dari mana timbulnya nafsu berahi yang demikian menyala membakar badan dan batin Kim Lian? Seperti segala macam nafsu, berahi inipun dikobarkan oleh pikiran. Pikiran mengingat-ingat kesenangan yang pernah dinikmati atau didengar dari lain orang, dan timbullah keinginan untuk mengulang kesenangan itu seperti juga. rasa takut, duka, benci dan selanjutnya, semua lahir dari pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu dan yang akan datang, dihubungkan dengan si aku yang selalu mengejar kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Sambil membawa obat yang dicampur racun warangan, Kim Lian memasuki kamar suaminya sambil mengusapi air matanya. Bu Toa yang kini menjadi kurus kering itu memandang kepada isterinya yang kini duduk di tepi pembaringan sambil menangis. Dia merasa heran,

“Kenapa engkau menangis?” Pandang matanya sudah agak kabur sehingga dia tidak mampu lagi membedakan antara tangis duka ataukah tangis pura-pura.

“Dalam keadaan tidak sadar aku telah menyeleweng dan membiarkan diriku terbujuk si Shi Men itu. Aku merasa menyesal sekall. Siapa mengira bahwa si kejam Itu menendang perutmu? Aku telah mengusahakan obat untukmu, akan tetapi aku selalu meragu untuk memberikan kepadamu karena karena barangkali engkau tidak percaya lagi kepadaku dan tidak mau minum obat yang kucarikan Itu” Melihat isterinya menangis penuh penyesalan, Bu Toa merasa kasihan juga.

“Aku percaya kepadamu, isteriku. Semua pengalaman yang lalu ini akan kuhapus dari ingatanku asal engkau mau merawatku sampai sembuh. Berikan obat itu kepadaku.”

“Inilah obat itu, mari kubantu engkau meminumnya, suamiku.” Dengan lembut Kim Lian membantu Bu Toa bangkit duduk dan memberinya minum obat itu.

“Setelah minum engkau harus tidur dan berselimut agar berkeringat, dan mungkin besok engkau sudah akan sembuh kembali.”

“Aih, keras dan tidak enak rasanya!” kata Bu Toa. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur minum, dan Kim Lian mendorong dan menuangkan semua isi mangkok itu ke dalam mulutnya, terpaksa Bu Toa menelan semua obat itu dan Kim Lian lalu melompat mundur menjauhi pembaringannya. Begitu obat itu memasuki perut Bu Toa, laki-laki yang malang ini segera merasa nyeri yang luar biasa. Dia menggeliat- geliat memegangi perut dengan kedua tangannya.

“Aduh aduh Kim Lian, perutku terbakar rasanya!”

“Aduh, aku.. aku tidak tahan lagi” Melihat suaminya sekarat, Kim Lian yang ingin melihat agar suaminya itu cepat mati dan agar rencananya Itu tidak gagal, cepat menutup muka suaminya dengan selimut dan bantal.

“Aku tak dapat bernapas” Si cebol Bu Toa meronta-ronta dan terengah-engah.

“Biar engkau berkeringat,” kata Kim Lian menghibur. Kembali Bu Toa meronta sekuat tenaga dan Kim Lian merasa takut kalau-kalau usahanya akan gagal, maka iapun cepat naik ke atas pembaringan dan menduduki perut Bu Toa yang terlentang itu sambil menekan selimut dan bantal kuat-kuat di atas muka suaminya itu. Bu Toa meronta terus, makin lama makin lemah sampai akhirnya dia tidak mampu bergerak lagi. Setelah agak lama tidak terasa gerakan dari orang di bawah selimut, barulah Kim Lian mengangkat sedikit selimutnya untuk melihat wajah suaminya. Bu Toa sudah mati, menggigit Bibirnya sendiri sampai pecah-pecah dan dari tujuh lubang di tubuhnya keluarlah darah. Baru Kim Lian merasa ngeri dan ia meloncat dari atas pembaringan, dan memukuli dinding sebelah untuk memberi tanda kepada Nenek Wang. Tak lama kemudian muncullah Nenek itu.

“Sudah selesai?” tanya jands Wang. “Sudah...” Kim Lian terengah-engah.

Posting Komentar