“Berapakah sesungguhnya usiamu?” Kim Lian bertanya. “Tiga puluh lima tahun.”
“Berapa orang isterimu?”
“Di samping isteri pertama, aku mempunyai empat orang selir. Akan tetapi tak seorangpun dari mereka menyenangkan hatiku.”
“Berapa orang anakmu?”
“Hanya seorang anak perempuan yang tak lama lagi akan menikah?” Percakapan mereka itu tak lama kemudian dilanjutkan dengan bisik-bisik di atas dipan.
Mulai saat Kim Lian menyerahkan tubuhnya kepada Shi Men kemarin, setiap hari Kim Lian mengadakan pertemuan rahasia dengan Shi Men di dalam rumah janda Wang. Mereka itu seperti arak dan cawan, seperti ikan dan air, tak terpisahkan lagi, berenang di dalam lautan asmara curian di dalam kamar yang bergelimang dengan nafsu berahi itu. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa perbuatan baik jarang diketahui orang lain dan agaknya tidak melangkah ambang pintu rumah, akan tetapi perbuatan yang buruk tersiar luas sampai ribuan mil jauhnya. Tak mungkin menutupi asap, tak mungkin menyimpan bangkai berbau busuk. Baru setengah bulan saja hubungan gelap antara Kim Lian dan Shi Men yang terjadi setiap hari di dalam rumah janda Wang, telah menjadi kabar hangat yang didesas-desuskan oleh para tetangga di tepi-tepi jalan.
Agaknya satu-satunya orang, yang masih belum mengetahuinya hanyalah Bu Toa sendiri. Pada suatu siang, seorang pemuda berusia lima belas tahun yang membawa sebuah keranjang berisi buah apel yang segar berdiri di depan rumah Bibi Wang. Anak muda ini adalah A Goan, seorang pedagang buah yang mempunyai banyak langganan. Seorang di antara para langganannya yang baik adalah Shi Men, dan kadang-kadang hartawan ini memberi hadiah uang kecil kepadanya kalau membeli buah. Sudah beberapa hari lamanya dia tidak bisa menjumpai Shi Men untuk menawarkan buah-buah segar dan seorang memberi tahu kepadanya bahwa kalau dia hendak mencari Shi Men agar suka datang saja ke kedai teh Nenek Wang, itulah sebabnya maka pada siang hari itu dia berdiri di depan rumah Nenek Wang. Dia melihat Nenek Wang duduk sendirian di depan pintu, memintal benang.
“Selamat siang, Bibi Wang” katanya dengan wajah berseri.
“Aku datang mencari seorang Kongcu untuk menawarkan buah agar memperoleh sedikit uang untuk Ayahku yang tua.
“Kongcu manakah yang kau maksudkan?” janda Wang bertanya sambil mengerutkan alisnya.
“Aih, Bibi Wang, jangan bergurau. Tentu saja yang kumaksudkan adalah Shi Men Kongcu.” Dan A Goan sudah menghampiri pintu dengan maksud untuk memasuki kedai itu dan menemui orang yang dicarinya. Akan tetapi Nenek Wang menangkap lengannya dan mencengkeram. “Berhenti, kau setan cilik! Di sini tidak ada orang yang kau cari”
“Bibi Wang, jangan begitu murka, akupun membutuhkan sedikit penghasilan. Apa salahku? Lepaskan aku” Bibi Wang yang merasa khawatir kalau-kalau rahasia yang sedang terjadi didalam rumahnya itu diketahui orang, menjadi marah dan menggunakan tangannya memukuli A Goan.
“Hei, Nenek tua bangka yang jahat. Apa salahku maka engkau memukuli aku?” Anak itu berteriak-teriak. Akan tetapi Nenek Wang menjadi semakin marah dan memukul, menjambak dan mencakar sehingga akhirnya A Goan terpaksa melarikan diri, memunguti buah apel yang berserakan sambil menangis dan memaki-maki, mengancam bahwa dia akan membalas dendam. Dengan hati yang masih panas dan penuh dengan dendam terhadap Nenek Wang, pemuda remaja A Goan membawa keranjang buahnya pergi mencari si cebol Bu Toa. Akhirnya dia melihat Bu Toa memikul keranjang kuenya di sebuah jalan dan cepat A Goan menghampiri Bu Toa.
“Paman Bu Toa, aku membutuhkan sedikit makanan ternak dan orang bilang bahwa aku dapat membelinya darimu.” Bu Toa menghentikan langkahnya, menurunkan pikulannya dan menyeka keringat dari muka dan lehernya, sambil memandang dengan heran kepada anak pedagang buah itu.
“Ah, mana mungkin? Aku tidak memelihara ternak. Aku tidak memiliki ayam atau bebek.” “Begitukah?” A Goan memicingkan mata dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Barangkali engkau sendiri seekor bebek jantan yang gemuk dan malas, yang membiarkan dirinya siap untuk disembelih dan dimasukkan ke dalam panci masak tanpa meronta sedikitpun!” Bu Toa mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah. Istilah menjadi bebek jantan yang gemuk dan malas, ini merupakan kata-kata sindiran terhadap seorang suami yang tidak tahu atau membiarkan isterinya menyeleweng dengan laki-laki lain.
“Penjahat cilik, apakah engkau hanya menggodaku? Isteriku tidak mempunyai hubungan dengan laki-laki lain, maka kenapa engkau menamakan aku bebek jantan kekenyangan?”
“Paman Bu, terus terang saja kukatakan bahwa isterimu memang mempunyai hubungan gelap dengan seorang laki-laki lain!” Bu Toa menangkap lengan anak remaja itu,
“Katakan siapa namanya!”
“Ha-ha, Paman Bu, sungguh menggelikan sikapmu ini! Engkau menekan aku, padahal seharusnya engkau memukuli Nenek tua di sebelah rumahmu yang menjual air teh!”
“Benarkah ini?” Bu Toa berseru. Tentu saja benar! Mereka berdua menanti sampai engkau pergi meninggalkan rumah memikul daganganmu, dan mereka mengadakan pertemuan rahasia di rumah Nenek Wang! Aku tidak membohongimu, Paman.” Bu Toa merasa terpukul sekali.
“Aihh, sahabat kecilku A Goan, keteranganmu ini mengingatkan aku akan keadaan isteriku. Akhir-akhir ini memang ia setiap hari pergi mengunjungi Nenek Wang, akan tetapi katanya untuk menjahitkan pakaian kematian Nenek itu. Ada satu hal lagi. Akhir-akhir ini sikapnya terhadap Bu Ying anakku amatlah kejam. la suka memukulinya, memaki-makinya tanpa henti, bahkan kadang-kadang tidak memberinya makan. Ah, bagaimanakah pendapatmu sekarang? Apakah aku harus segera pulang dan datang langsung ke rumah Nenek itu dan menangkap basah dua orang jahanam tak bermalu itu?”
“Hemm, biarpun sudah tua, Paman masih bodoh. Apakah kau pikir Nenek tua bangka itu akan membiarkan engkau menangkap basah mereka? la tentu akan segera memberi isyarat begitu melihatmu, dan isterimu tentu akan menyelinap pulang melalui pintu belakang. Dan engkau akan berhadapan dengan hartawan Shi Men sendiri yang tentu akan memutar balik kenyataan dan engkau akan dihajarnya. Selain itu dia, amat kaya dan dengan mudah akan menyogok para jaksa untuk mengadukan engkau dan akhirnya engkau yang akan masuk penjara.”
“Ah, engkau benar sekali lalu bagaimana aku dapat membalas dendam atas, penghinaan ini?” Satu- satunya jalan hanya menangkap basah selagi kedua orang pejina itu masih berada bersama di dalam kamar Nenek gila itu! Besok, setelah keluar membawa pikulan keranjang, harap kau suka menyelinap dan bersembunyi tak jauh dari rumah Nenek Wang. Aku juga bersembunyi dan begitu melihat tuan Shi Men memasuki rumahnya, aku akan memberi isyarat kepadamu, Kemudian aku akan muncul untuk mengoda Nenek Wang. Ia tentu akan memukuli aku lagi, dan pada saat ia memukulku, aku akan memegang erat-erat pakaiannya dan engkau boleh cepat lari mendobrak dan membuka pintu, dan menangkap basah isterimu dan tuan Shi Men.
“Baik sekali! Ah, aku berhutang budi padamu, adik A Goan yang baik, Nah, terimalah sedikit uang kecil ini. Jadi, besok pagi kita bertemu di sudut jalan Batu Ungu.”
A Gon menerima hadiah itu dengan girang dan mengangguk-angguk. Dan merekapun berpisah. Bu Toa pada sore hari itu pulang. Betapapun panas rasa hatinya dia diam saja dan hanya menekan perasaan kemarahannya Itu. Kini dia melihat jelas perubahan yang besar, terjadi pada diri isterinya. Pakaiannya semakin rapi, dan sepasang matanya memancarkan cahaya yang lain dari biasanya, sepasang pipinya kemerahan, tampak demikian cantik bagaikan setangkai, bunga yang menerima banyak siraman air hujan setelah menderita di musim kering. Pada keesokan harinya, setelah keluar dari rumahnya memikul keranjang dagangannya, Bu Toa menyelinap dan melalui jalan memutar, kembali ke jalan di depan rumahnya. sambil bersembunyi. Di sudut jalan, dia bertemu dengan A Goan yang sudah menanti di situ.
“Nah, sekarang perhatikan, Paman. Kalau nanti keranjang buahku ini kujatuhkan dan buah-buah itu berhamburan di depan rumah Nenek Wang, berarti sudah tiba saatmya, bagimu untuk menyerbu ke pintu rumah Nenek itu Mengerti?”