“Kenapa tidak, Bibi Wang? Carikanlah saja, ah, betapa malang nasibku dalam kehidupan rumah tanggaku...” Shi Men menarik napas panjang dengan muka berduka.
“Wah, araknya habis sama sekali!” tiba-tiba Nenek itu berseru.
“Aih, selagi orang ingin sekali minum, arakmya habis. Maafkan saya. Bagaimana kalau saya membeli lagi seguci?” Shi Men cepat mengeluarkan uang dan menyerahkannya kepada Bibi Wang.
“Ambillah semua uang ini dan belikan arak secukupnya agar jangan sampai kehabisan lagi, Bibi Wang.” Nenek itu menerima uang dan mengucapkan terima kasih, kemudian pergi setelah lebih dulu melirik ke arah Kim Lian. Tiga cawan arak yang telah diminum Kim Lian nampaknya telah memperlihatkan pengaruhnya. Wajahnya kemerahan penuh gairah. Tentu saja semua percakapan tadi dimengertinya benar kemana arahnya dan selama itu ia tadi mendengarkan dengan diam, tanpa bergerak, dan dengan mata menatap ke lantai, akan tetapi jantungnya berdegup keras dan jalan darahnya berdesir cepat di seluruh tubuhnya. Sambil menyeringai, Nenek Wang menoleh kepada Kim Lian.
“Saya akan pergi ke Jalan Timur untuk membeli arak terbaik. Harap nona suka menemani Kongcu sampai saya kembali.”
“Demi aku, jangan pergi, Bibi,” Kim Lian memprotes, akan tetapi ia tidak bangkit dari tempat duduknya. Nenek Wang hanya tersenyum penuh arti, keluar dari kamar itu dan menutupkan pintu dari luar bahkan mengunci pintu. dari luar mengikatkan tali pada pegangan daun pintu Kemudian la duduk di luar dan mulai memintal benang. Kini Shi Men dan Kim Lian berada di dalam ruangan tertutup itu, berdua saja, Kim Lian mendorong kursinya mundur dari meja, menundukkan mukanya dan diam-diam melirik Shi Men berulang kali. Sebaliknya, Shi Men menatap kepadanya dengan mata kemerahan, mengandung penuh gairah nafsu. Akhirnya, dengan suara agak gemetar bersama dengan degup jantungnya yang mengencang, Shi Men bertanya.
“Siapakah nama suami nona seperti yang diceritakan Bibi Wang? Saya lupa...”
“Bu,” jawab Kim Lian singkat, karena hatinya tidak senang membicarakan suaminya. “Oya, she Bu,” Shi Men mengulang sambil lalu.
“Bukan nama keluarga yang biasa di daerah ini. She Bu. Apakah barangkali si penjaja makanan yang bernama Bu Toan, yang disebut Si Cebol itu, masih ada hubungan keluarga denganmu?” Wajah Kim Lian menjadi merah sekali karena malu.
“Dia suami saya,” katanya lirih sembil menundukkan mukanya. She Men nampak terbelalak dan tertegun, kemudian dia berteriak,
“Aih, sungguh penasaran!”
“Hemm, siapakah yang membuat Kongcu penasaran?” tanya Kim Lien, menahan senyum.
“Penasaran untukmu, bukan untuku!” Dengan suara yang diatur seindah mungkin, Shi Men lalu memuji- muji kecantikan Kim Lian, menyatakan betapa seorang wanita secantik Kim Lian cukup pantas untuk menjadi seorang puteri dan hidup di istana, betapa membuat hatinya penasaran melihat kenyataan betapa -wanita secantik itu menjadi isteri seorang laki laki yang demikian mengecewakan. Semua pujian itu membuat Kim Lian makin menunduk, dan hanya kadang-kadang saja ia mengerling dan tersenyum penuh simpul.
“Aih, hawanya terasa gerah setelah minum arak!” Tiba-tiba Shi Men berkata dan membuka jubahnya dari, sutera hijau dan melemparnya ke arah dipan tempat tidur janda Wang. Ketika dia melakukan ini, lengan bajunya seperti tak disengaja telah menggeser sebuah sumpit yang jatuh di atas meja dan, ah, betapa mujur dia karena sumpit itu jatuh menggelinding ke bawah kaki Kim Lian! Dan ketika Shi Men mengisi cawan Kim Lian lagi dan ingin menawarkan makanan, tentu saja dia kehilangan sumpitnya.
“Wah, ke mana hilangnya sumpitku yang sebuah?”, tanyanya, pura-pura mencari di antara mangkok- mangkok sayuran.
“Inikah barangkali sumpit itu?” Kim Lian berkata sambil tersenyum, menekan sumpit itu dengan kakinya yang kecil. Shi Men melihat ke bawah meja.
“Ah, itu dia!” Dan pura-pura terkejut, diapun membungkuk, akan tetapi bukan sumpit yang dipegangnya, melainkan kaki wanita itu, Kim Lian tak dapat menahan rasa kegelian dan tertawa.
“Ihhh! Apa yang kau lakukan ini? Aku akan menjerit!” Shi Men segera berlutut di depan Kim Lian tanpa melepaskan kedua tangannya, “Nona yang baik budi, kasihanilah aku, laki-laki yang malang ini.” Dan... kedua tangannya membelai- belai. Kim Lian bangkit berdiri, tubuhnya menggigil.
“Ah, engkau laki-laki kurang ajar. Kupukul engkau, lepaskan, aku” Akan tetapi Shi Men yang tahu bahwa semua itu hanya pura-pura belaka, segera bangkit, memondong tubuh wanita yang membuatnya tergila- gila itu dan membawanya ke atas dipan Bibi Wang. Kim Lian yang memang sudah terbakar oleh gairah nafsu birahi sejak tadi, tidak membuat ribut lagi. Nafsu membuat orang buta terhadap segala apa yang dilakukannya, tidak perduli lagi akan sebuah akibat,
Tidak ingat akan keadaan sekeliling yang terasa hanyalah hasrat yang bernyala, gairah yang mendorong pemuasan berahi. Tidaklah mengherankan kalau seorang wanita muda seperti Pang Kim Lian lupa akan segala. Ketika ia masih remaja puteri, orang pertama yang menggaulinya hanyalah seorang hartawan tua renta Thio. Hartawan ini sudah amat tua dan lemah, tidak aneh kalau pria ini jauh daripada memuaskan hati seorang remaja puteri berusia lima belas tahun seperti Kim Lian pada waktu itu. Kemudian ia diperisteri oleh Bu Toan, seorang yang cebol dan buruk, yang tentu saja juga tidak memuaskan hati Kim Lian yang memang memiliki gairah yang besar. Maka, setelah kini ia bertemu dengan Shi Men, menerima pencurahan kasih sayang dengan belaian jari-jari tangan yang penuh pengalaman,
Mempunyai seorang kekasih seperti Shi Men yang selain masih muda juga tampan dan kuat dan berpengalaman, tentu saja ia merasa takluk dan puas. Buah cinta curian memang selalu terasa lebih menggairahkan, manis dan nikmat. Segala sesuatu yang dilarang memilki daya tarik yang amat kuat, karena di dalam melakukan sesuatu yang di larang itu sendiri sudah terdapat suatu ketegangan yang menggairahkan. Bunga dikebun orang selalu nampak lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri. Mengapa kita selalu merasakan hal seperti itu? Rahasianya terletak kepada batin kita sendiri yang selalu menginginkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang tidak kita miliki, sesuatu yang baru dan yang berada diluar jangkauan tangan kita. Keinginan seperti inilah yang membuat segala sesuatu yang kita miliki menjadi hambar.
Mata kita selalu tertuju jauh ke depan,mencari dan mengejar yang berada didepan. Sehingga kita lupa bahwa segala keindahan sesungguhnya terletak pada saat ini. Dua orang pencari cinta itu, dua orang pelanggar susila dan penjina itu lupa diri, seperti mabuk tenggelam dalam lautan cinta yang sesungguhnya hanya gelimang nafsu berahi semata. Mereka mereguk anggur nafsu berahi sepuasnya dan setelah segala hasrat terlaksana, barulah mereka teringat akan ketidak wajaran itu. Keduanya membereskan pakaian dan Kim Lian sama sekali tidak tahu betapa semua perbuatannya itu sejak tadi diintai oleh Nenek Wang dari luar daun pintu! Baru saja ia duduk kembali di atas kursi, daun pintu terbuka dan masuklah janda Wang sambil berpura-pura terkejut dan berkata penuh perasaan sesal dan penasaran.
“Hayaaa. Apa saja yang kalian lakukan ini? Nona Kim Lian, aku minta engkau ke sini untuk menjahit, bukan, untuk berjina! Paling baik sekarang aku harus menemui suamimu dan menceritakan segala perbuatanmu ini kepadanya agar kelak aku tidak akan dia salahkan!” Janda Wang membalikkan tubuh hendak, pergi, seolah-olah hendak melaksanakan ancamannya dan Kim Lian yang menjadi merah sekali mukanya itu segera memegang ujung bajunya.
“Bibi Wang, kasihanilah aku,” katanya lirih, suaranya penuh permohonan. “Baik, akan tetapi dengan satu syarat bahwa mulai hari ini engkau harus mau menemui Shi-Kongcu setiap saat dia kehendaki. Kalau hal ini kau setujui, aku akan, diam saja. Kalau tidak, aku akan melaporkan kepada suamimu.” Kim Lian hanya menundukkan muka, tak mampu bicara saking malunya.
“Hayo, bagaimana?” Jawablah cepat Nenek itu mendesak.
“... aku berjanji.” kata Kim Lian, lirih sekali. Nenek Wang lalu berpaling kepada Shi Men.
“Nah, Kongcu yang baik, Kongcu telah memperoleh kepuasan dan terlaksanalah segala keinginan Kongcu, maka harap tidek melupakan semua janji kongcu, kalau tidak “ Nadanya mengancam.
“Jangan khawatir, Bibi, akan kupenuhi semua janjiku!” kata Shi Men. Mereka minum beberapa cawan arak lagi, kemudian Kim Lian terpaksa harus menyelinap kembali ke rumahnya melalui pintu belakang karena sudah tiba waktunya sang suami akan pulang dari pekerjaannya. Setelah wanita cantik itu pergi, janda Wang bertanya kepada Shi Men.
“Bagaimana, Kongcu? Apakah siasatku itu tidak hebat? “Bukan main! Aku berterima kasih sekali Bibi,”
“Dan bagaimana dengan nona itu? memuaskankah?”
“Hebat! la bagaikan setangkai bunga mawar hutan yang harum, bagaikan seekor kuda betina yang masih liar, senang sekali menundukannya.”
“Kalau begitu jangan lupakan janji hadiah itu.” “Akan kukirim setelah aku tiba di rumah.”
Pada keesokan harinya, baru saja Bu Toa berangkkat memikul dagangannya, Shi Men telah berada di rumah janda Wang mengantarkan hadiah dengan tambahan sepuluh tail perak kepada Nenek Itu. Dia datang mengantar sendiri hadiah itu karena semalam dia tidak tidur, wajah dan tubuh Kim Lian selalu terbayang di depan matanya. Begitu menerima hadiah ini Nenek Wang menjadi demikian gembiranya sehingga seketika itu juga ia menjemput Kim Lian untuk diajak menemui Shi Men. Shi Men menyambut kemunculan Kim Lian dengan wajah berseri. Tanpa malu-malu lagi dia menyambut dengan rangkulan mesra dan menarik tubuh yang molek itu ke atas pangkuannya, tanpa memperdulikan Nenek Wang yang tersenyum-senyum memperlihatkan, rongga mulut tanpa gigi.
“Apakah suamimu mengatakan sesuatu kemarin?” Janda Wang bertanya sambil lalu ketika ia menghidangkan air teh dan arak.
“Dia bertanya apakah aku sudah menyelesaikan pakaianmu. Aku mengatakan sudah, akan tetapi aku masih harus membuatkan sandal dan kaus kaki,” jawab Kim Lias malu-malu. Shi Men mengamati kekasih barunya itu dengan penuh perhatian dan gairah cinta berahi. Betapa cantiknya kekasihnya ini. Betapa kedua pipi yang halus itu menjadi kemerahan ketika ia minum arak dari cawan itu. Dan anak rambut yang melingkar-lingkar di pelipis dan dahi itu seperti lukisan seorang seniman yang amat pandai. Kekasihnya ini cantik jelita, begaikan seorang bidadari dari Buian! Dengan penuh gairah dan kemesraan, Shi Men mendekap kekasihnya dan mereka minum arak dari satu cawan. Ketika Shi Men mencium kekasihnya, janda Wang diam-diam meninggalkan mereka berdua saja dan menutupkan daun pintu.