Si Teratai Emas Chapter 09

NIC

“Masih ada sepersepuluh bagian lagi yang harus dimenangkan, dan berhasil tidaknya bagian terakhir ini, tergantung dari kemampuan Kongcu sendiri. Setelah pergi, Kongcu harus menghujaninya dengan pujian dan kata-kata yang muluk-muluk dan manis, dan jangan takut mempergunakan belaian. Carilah akal. Misalnya, jatuhkan sumpit Kongcu dari meja tanpa disengaja nampaknya, dan ketika mencari sumpit belailah kakinya. Jika ia marah-marah dan memaki-maki, saya akan masuk dan membantu Kongcu agar tidak mendapatkan malu. Tentu saja kalau hal itu terjadi, berarti gagallah semua rencana kita. Maka, Kongcu harus pandai membawa diri.”

“Aku pasti berhasil!” Shi Men mengepal tinju, merasa yakin akan kepandaiannya merayu wanita. “Kalau sudah berhasil, apakah Kongcu akan ingat kepada saya?”

“Tentu saja! Engkau telah merencanakan dengan bagus sekali, Bibi Wang, dan kalau sudah berhasil, aku akan memberi hadiah yang cukup banyak. Akan tetapi, kapankah rencana ini akan dilaksanakan?”

“Sekarang juga, Kongcu. Si kerdil sedang pergi berjualan, saya akan menemui nona Kim Lian untuk membicarakan urusan memilih hari baik untuk menjahitkan. Kongcu cepatlah kirim semua keperluan itu sekarang juga, dan hasilnya akan dapat saya beritahukan Kongcu malam ini.”

“Bagus, akan segera kukirimkan kain sutera itu.” Shi Men lalu cepat meninggalkan kedai Bibi Wang untuk melaksanakan rencana itu. Setelah membeli semua keperluan yang dipesan Bibi Wang, dia lalu mengutus Siauw Thai, pelayannya, untuk mengirimkannya kepada Bibi Wang. Janda Wang mengunjungi Kim Lian melalui pintu belakang. Kim Lian menyambutnya dengan ramah karena sudah biasa janda tua ini menemaninya bercakap-cakap dan Nenek ini biasanya membawa kabar-kabar yang menegangkan dan menggembirakan untuk didengar.

“Aih, sudah lama nona tidak pernah mengunjungi tempatku yang buruk,” kata janda Wang. la memang biasa menyebut “nona” kepada Kim Lian, seolah-olah menganggap Kim Lian masih seorang gadis saja, dan agaknya sebutan ini malah menyenangkan hati Kim Lian karena seperti membuat ia lupa bahwa ia telah menjadi isteri seorang laki-laki seperti Bu Toa.

“Akhir-akhir ini aku malas untuk meninggalkan rumah, Bibi Wang.”

“Apakah nona mempunyai penanggalan di dalam rumah? Saya ingin memilih tanggal dan hari baik untuk pergi ke tukang jahit.”

“Bibi hendak menjahitkan apakah?”

“Aih, Nenek tua ini bernasib buruk, makin lama makin tua dan harus memikirkan kematianku, sedangkan puteraku tidak berada di rumah.” “Di manakah anakmu itu, Bibi Wang?”

“Dia pergi mengikuti seorang pedagang keliling pergi ke daerah-daerah asing. Dia tidak pernah menyurat dan setiap hari aku menjadi semakin gelisah memikirkannya.”

“Berapakah usianya, Bibi?” “Tujuh belas tahun.”

“Kenapa tidak dicarikan isteri saja? Dengan demikian akan ada seseorang yang membantumu dengan pekerjaan rumah.”

“Betul juga. Akan tetapi tanpa ada yang membantu rumah, aku tidak sempat pergi mencari seorang calon mantu. Akan tetapi kalau dia pulang, aku akan bicara tentang hal ini dengannya. Akhir-akhir ini aku menderita sesak napas dan batuk-batuk. Seluruh tubuhku sakit-sakit. Aku harus memikirkan pakaian kematianku. Kebetulan sekali seorang hartawan yang baik hati, yang sering kali menolongku karena aku suka bekerja sebagai perawat orang sakit di rumahnya, atau mencarikan pelayan atau selir untuknya, hartawan yang dermawan ini telah menghadiahkan sutera-sutera yang cukup bagus untuk menjadi bahan pakaian kematianku. Bahan-bahan itu telah kusimpan lebih dari setahun di dalam almariku. Akan tetapi belum juga kubuatkan pakaian, sekarang, melihat keadaan kesehatanku, aku tidak boleh menundanya. Akan tetapi, tukang jahit langgananku itu menolak, mengatakan, dia memiliki pekerjaan bertumpuk dan tidak sempat mengerjakan pakaianku. Aih, agaknya si tua bangka ini masih harus bersusah payah sendiri, dan mataku sudah kurang awas untuk memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Ahhh nasibku yang buruk.” Kim Lian tersenyum.

“Bibi yang baik, kalau saja engkau tidak, kecewa melihat hasil pekerjaanku, aku suka sekali membantumu. Aku akan menjahitkan pakaianmu dalam beberapa hari ini.”

“Aih, kalau saja nona sudi! Dengan mengenakan pakaian kematian hasil jahitanmu, wah, aku akan dapat mati dengan mata tertutup. Aku sudah mendengar akan kepandaianmu menjahit, nona Kim Lian.”

“Jangan terlalu memuji, Bibi, Aku suka membantu, karena akupun tidak memiliki pekerjaan yang merepotkan, Nah, bawalah penanggalan ini dan pilih hari mujur untuk memulai jahitan itu.”

“Akan tetapi, nona yang baik, perlukah aku pergi mencari seseorang untuk membacakan penanggalan dan memilihkan hari baik, kalau nona sendiri adalah seorang yang terpelajar dan pandai membaca dan memilih hari baik untukku?”

“Aku sudah lama lupa akan semua yang kuketahui, Bibi.”

“Aihh, alasan saja, siapa mau percaya? Tolonglah, pilihkan hari baik untukku,” Nenek itu menggembalikan penanggalan kepada Kim Lian. Kim Lian tidak berpura-pura lagi dan membaca.

“Esok hari dan lusa merupakan hari gelap. Akan tetapi keesokan harinya lagi adalah hari yang mujur.” Janda Wang dengan tak sabar mengambil penanggalah itu dan memasangnya lagi di atas dinding. “Kenapa susah-susah amat memilih hari baik untuk itu? Kenyataan bahwa nona mau membantuku menjahit sudah merupakan suatu kemujuran besar bagiku.”

“Kalau Bibi berpendapat begitu, sebetulnya kalau menjahit pakaian kematian, hari yang gelap malah lebih tepat,” kata Kim Lian.

“Asal saja nona membantuku, hari apapun, jadilah, baik atau buruk. Kalau begitu, apakah besok pagi aku boleh mengharapkan kunjungan nona ke gubukku?”

“Aih, kenapa? Tidakkah lebih baik kalau Bibi yang datang ke sini?”

“Aku akan senang sekali melihat nona menjahit di sini, akan tetapi aku tidak mungkin dapat meninggalkan rumah karena tidak ada siapa-siapa lagi di rumah. Aku sungguh mengharapkan nona akan sudi datang ke rumahku saja untuk mengerjakan jahitan itu.” la membujuk.

“Benar juga. Baiklah, Bibi Wang. Besok sehabis makan pagi, aku akan datang ke rumahmu.” Bukan main girangnya hati janda Wang ketika ia berpamit dan meninggalkan rumah Kim Lian sambil membungkuk- bungkuk menghaturkan terima kasih. Awal rencananya berhasil dengan baik sekali dan malam itu juga ia mengirim berita kepada Shi Men bahwa rencananya berhasil dan pada hari ke tiga, pria itu diharapkan datang berkunjung seperti yang telah direncanakan.

Kim Lian memenuhi janjinya kepada Bibi Wang. Pada, keesokan harinya setelah suaminya berangkat berjualan, ia mengunjungi rumah janda Wang melalui pintu belakang. Nenek itu menyambutnya dengan semangkuk air teh yang kental dan panas. Kim Lian lalu mulai bekerja, mengukur dan memotong kain sutera itu dengan hati-hati, menggunakan jari-jari tangannya yang lentik dan kecil mungil. Bibi Wang mengamati pekerjaannya dan memujinya tiada hentinya. Kim Lian bekerja dengan tekun dan hati-hati, tidak tergesa-gesa karena ia hendak membuat pakaian kematian itu serapi mungkin. Pada siang harinya, janda Wang mengajak Kim Lian makan siang, dan wanita muda yang cantik itu bekerja sampai hari menjadi sore. Ketika ia kembali ke rumah, kebetulan Bu Toa juga baru tiba. Dia melihat isterinya baru masuk rumah dan segera bertanya.

“Dari mana saja engkau?”

“Dari rumah Bibi Wang. la minta tolong kepadaku untuk menjahitkan pakaian kematiannya dan ia mengajakku makan siang di rumahnya.”

“Eh, sebaiknya engkau tidak makan siang di sana. Kita selalu menerima kebaikan darinya. Makanan itu memang tidak ada artinya akan tetapi lebih baik kau pulang makan di rumah sehingga tidak mendatangkan beban baginya. Kalau sudah begitu, sebaiknya kalau engkau pergi lagi besok kepadanya, engkau membawa sedikit uang dan memberikan kepadanya agar perhitungan menjadi lunas. Tetangga lebih penting daripada keluarga yang jauh. Kita harus menjaga agar jangan menyusahkan tetangga. Kalau ia menolak pemberianmu, lebih baik engkau melakukan penjahitan itu di rumah saja.” Kim Lian mendengarkan tanpa membantah. Pada keesokan harinya, ketika ia bekerja menjahit di rumah janda Wang dan menjelang siang, ia mengeluarkan tiga ratus uang tembaga dan menyerahkannya kepada janda Wang.

“Inilah, Bibi Wang, untuk beli makanan dan minuman.” “Heii, apa artinya ini?” Janda Wang berseru heran. “Aku minta bantuanmu, dan engkau malah memberi uang kepada ku untuk makanan. Apakah barangkali makanan yang kuhidangkan tidak mencocoki seleramu, nona?”

“Bukan begitu, Bibi. Suamiku yang bodoh yang menghendakinya. Jika engkau tidak mau menerima uang ini, aku harus menyelesaikan. pekerjaan jahitan ini di rumah.”

“Ah, suamimu yang terhormat itu sungguh sungkan sekali, nona. Baiklah kalau memang nona menghendaki, aku menerima pemberianmu ini.” kata Nenek itu cepat-cepat karena ia melihat bahaya dalam rencananya. la menambahkan beberapa uang kecil lagi dari kantungnya sendiri lalu membeli arak yang baik dan masakan-masakan yang lezat untuk makan siang mereka. Menjelang sore, Kim Lian meninggalkan rumah itu, diiringkan ucapan terima kasih berulang kali oleh Nenek Wang. Pada hari ke tiga, ketika Kim Lian sedang menjahit dan janda Wang duduk menemaninya, tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk di luar, kemudian disusul suara yang nyaring.

“Hai, Bibi Wang! Sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Bibi yang baik!” Janda Wang memicingkan matanya dan mengangkat muka memandang ke arah luar. Siapakah yang berada di luar?”

“Aku, Bibi, aku Shi Men.”

“Ah, kiranya Shi-Kongcu (Tuan muda Shi) yang datang. Silakan masuk Kongcu, silakan masuk!” Munculah Shi Men yang mengenakan pakaian indah dan baru, menggerakkan kipasnya buatan Se-Cuan yang indah, wajahnya berseri dan tampan, sekali. Setelah Shi Men masuk, Ia segera melihat Kim Lian yang sedang menjahit. Kim Lian juga mengangkat muka memandang dan wajahnya yang cantik itu segera menunduk, warna kemerahan menjajar keatas sepasang pipinya yang sudah merah.

“Nona Kim Lian, perkenankan aku memperkenalkan pemberi kain sutera bahan pakaian yang kau jahit ini, Tuan muda Shi Men.” Shi Men terpesona dan tak mampu mengalihkan pandang matanya dari wajah yang jelita itu, yang menunduk di atas tumpukan kain yang sedang dijahitnya, rambutnya yang hitam panjang itu terurai dari sanggulnya, manis sekali. Kim Lian hanya menundukkan mukanya dan sikapnya ini menambah daya tariknya, ini membuat Shi Men beberapa kali menelan ludah sebelum dapat mengeluarkan suara.

“Terimalah hormat saya, nona,” katanya dengan suara agak gemetar. Mendengar ini, dan ketika mangerling Ia melihat pria itu menjura dengan hormatnya, Kim Lian terpaksa mengesampingkan jahitannya, dan membalas penghormatan itu.

“Semoga Kongcu berbahagia.”

“Kongcu yang baik, ketahuilah, sampai sekarang saya belum juga mendapat kesempatan untuk mengerjakan kain, yang Kongcu berikan kepada saya setahun yang lalu. Dan sekarang, berkat bantuan jari-jari tangan yang demikian ahli dari nona Pang Kim Lian, bahkan pakaian itu baru dapat dijahit. Dan betapa indah dan rapinya jahitan-jahitannya Kongcu, mengagumkan sekali! Sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri. Coba mendekatlah, dan lihat sendiri, betapa rapi dan indahnya jahitan ini!” Shi Men melangkah maju mendekat.

Posting Komentar