Si Teratai Emas Chapter 05

NIC

“Aihh, isteriku. Dari mana aku dapat memperoleh uang banyak untuk membayar sewa rumah yang lebih besar dan mahal?”

“Huh, engkau manusia tolol yang tiada guna” Kim Lian memaki marah, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, sedang Bu Toa yang mencinta isteri cantik itu memandang kagum karena makin marah, isterinya itu nampak semakin cantik, pipinya demikian segar kemerahan. “Orang macam engkau ini masih berani mengaku laki-laki? Laki-laki tak tahu malu kalau engkau tidak becus mencari uang, gadaikanlah perhiasanku ini untuk mencari tempat tinggal yang lebih pantas. Kelak engkau dapat menebusnya kembali!”

Kim Lian lalu menyerahkan perhiasan-perhiasan yang dulu diterimanya dari Kakek Thio. Bu Toa menggadaikannya dan menggunakan uang itu untuk menyewa sebuah rumah yang memiliki loteng dengan empat buah kamar. Rumah itu sederhana, namun cukup pantas dan menyenangkan. Setelah pindah ke rumah baru di Jalan Barat ini, Bu Toa bekerja lagi membanting tulang, lebih rajin daripada biasanya, bahkan berjualan sampai malam untuk memperoleh hasil yang lebih, karena dia harus menebus perhiasan isterinya yang digadaikan. Dan pada suatu hari, ketika dia menjajakan dagangannya, Bu Toa melihat Bu Siong di jalan raya. Dia sudah mendengar akan pendekar pembunuh harimau itu, akan tetapi dia tidak menyangka bahwa Bu Siong pembunuh itu adalah juga Bu Siong adiknya yang sudah bertahun-tahun berpisah darinya.

“Haiii...! Bukankah engkau Bu Siong adikku?” Bu Toa berseru ketika dia melihat pendekar itu di jalan raya.

“Taoko...” Bu Siong juga berseru girang dan merangkul kakak yang sudah lama dicarinya itu. “Ah, betapa dengan susah payah aku mencarimu di mana-mana, Toako!” Kakak beradik itu berangkulan dan Bu Toa mengajak, adiknya untuk berkunjung ke rumahnya pada saat itu juga. Sambil berjalan menuju ke rumah, dengan singkat Bu Toa menceritakan tentang keadaannya selama mereka berpisah, betapa ibu Bu Ying telah meninggal dunia, dan betapa dia baru-baru ini telah menikah lagi. Ketika tiba di rumahnya, Bu Toa mengajak ke loteng dan dengan penuh kebanggaan dia memperkenalkan adik kandungnya itu kepada isterinya.

“Isteriku, inilah pembunuh harimau yang terkenal itu, pendekar gagah perkasa yang kini diangkat menjadi Komandan Keamanan, inilah Bu Siong, adik kandungku!” Bagaikan terkena pesona, Kim Lian memandang laki-laki yang berada di depannya. Seorang laki-laki jantan, ganteng, dengan tubuh yang tinggi besar dan membayangkan kekuatan yang hebat, dan membayangkan betapa laki-laki ini telah dapat memukul seekor harimau buas sampai pingsan, menggetarkan hatinya penuh dengan kekaguman. Betapa mungkin, pikirnya penuh keheranan, bahwa seorang laki-laki perkasa seperti ini dapat menjadi adik kandung suaminya. Suaminya seorang laki-laki tidak sempurna, kerdil dan buruk, hanya seperempat bagian laki-laki dan tiga perempat bagian boneka buruk, sedangkan adiknya itu, seratus prosen laki-laki yang jantan, laki-laki tulen penuh dengan kekuatan. Ah, dia harus tinggal di sini! “Adik Bu Siong yang baik, di manakah engkau tinggal?” tanyanya, suaranya dibuat semerdu mungkin dan wajahnya penuh keramahan, bibirnya yang merah basah itu mengarah senyum memikat. “Dan siapakah yang mengurus rumah tanggamu?”

“Kedudukanku mengharuskan aku tinggal di dekat benteng, So-So (kakak ipar perempuan). Aku tinggal di sebuah pondok dekat benteng. Dua orang perajurit anak buahku mengurus rumah tanggaku!”

“Aih, adikku yang baik, mengapa engkau tidak tinggal saja bersama kami di sini? Perajurit-perajurit yang kasar dan kotor memasak untukmu dan melayanimu. Hemm, sungguh tak menyenangkan! Di sini, aku sebagai kakak iparmu akan memasakkan makanan untukmu dan mengurus segala keperluanmu dengan baik.”

“Terima kasih banyak atas kebaikan So-So,” kata Bu Siong, mengelak karena dia masih merasa ragu-ragu untuk menerima penawaran kakak iparnya itu.

“Tentu engkau mempunyai keluarga. Engkau boleh tinggal bersama isteri dan anakmu di sini bersama kami,” kata pula Kim Lian, kata-katanya itu lebih merupakan pancingan untuk mengetahui keadaan pria yang menggerakkan hatinya penuh dengan kekaguman itu.

“Aku belum menikah, So-So.” kata Bu Siong, mukanya menjadi agak merah.

“Aihhh! Sudah sedewasa ini belum menikah? Berapakah usiamu sekarang, adik iparku yang baik?” “Usiaku dua puluh delapan tahun.”

“Kalau begitu engkau lebih tua lima tahun dariku” kata Kim Lian dengan hati girang karena adik ipar itu ternyata belum menikah. Mereka duduk bercakap-cakap dan dua orang kakak beradik itu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak berpisah. Mereka berdua saling rindu dan kini mereka menumpahkan semua kerinduan dalam percakapan itu. Dan tidak sebentarpun Kim Lian meninggalkan dua orang pria itu, bahkan terjun ke dalam percakapan dengan penuh keramahan dan kegembiraan. Tentu saja Bu Siong tidak berprasangka buruk dan diam-diam memuji nasib baik kakak kandungnya yang setelah menduda dapat berjodoh dengan seorang wanita yang demikian muda, cantik dan juga cerdas akan tetapi amat ramah.

“Oh, kami sampai lupa!” kata Bu Toa yang kini wajahnya berseri penuh kegembiraan. “Isteriku yang baik, bukankah sudah tiba waktunya bagi kita untuk mengajak adikku ini makan?” Kim Lian bangkit dari duduknya.

“Ha-ya, saking gembiranya bertemu dengan adikmu, aku sampai lupa.” Dan iapun cepat memanggil dengan suara tinggi,

“A Ying. di mana saja engkau?”

“Aih, akupun lupa memperkenalkan Bu Ying kepada pamannya!” Bu Toa juga berseru. Mendengar panggilan ibu tirinya, dengan takut-takut A Ying, panggilan sehari-hati dari Bu Ying, muncul dari pintu belakang dan cepat naik ke loteng. Kim Lian yang biasanya bersikap galak kepada A Ying, kini cepat merangkulnya dan mendekatkan anak itu kepada Bu Siong. “Adik Bu Siong, inilah keponakanmu A Ying.”

“A Ying, berilah hormat kepada pamanmu, Bu Siong ini.” Dengan sikap malu-malu dan takut-takut, anak itu memberi hormat. Sikap malu dan takut anak yang tertekan batinnya. Anak yang haus akan kasih sayang.

“A Ying, mari bantu aku mempersiapkan makanan. Adik Bu Siong, aku minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menanti sebentar dan makan bersama kami.” Dengan sikap hormat Bu Siong menjura.

“Aku hanya merepotkan saja padamu, So-So.”

“Aih, apanya yang merepotkan, Sudah sepatutnya aku melayanimu makan sebagai saudara yang dekat dan baik.” Dengan lenggang yang membuat kedua pinggulnya menari-nari dan pinggangnya meliuk-liuk seperti batang pohon yang-liu (sejenis cemara) tertiup angin, wanita itu meninggalkan ruangan loteng diikuti oleh A Ying. Setelah mereka menghadapi meja makan, Kim Lian dengan manis budi dan ramah menuangkan dan menawarkan cawan arak pertama kepada adik iparnya untuk menghaturkan selamat datang.

“Selamat datang di rumah kami dan semoga nasib baik akan selalu menyertaimu, adik Bu Siong,” katanya dan setelah Bu Siong menuangkan isi cawan arak ke dalam perutnya melalui tenggorokan dengan sekali teguk, Kim Lian segera memilihkan daging-daging dan sayur terbaik dengan sumpitnya, dimasukkan ke dalam mangkok Bu Siong. la bersikap manis sekali dan mengiringi pelayanannya dengan senyum di bibir.

Bu Siong adalah seorang laki-laki perkasa yang berwatak terbuka dan jujur. Dia menerima semua perhatian dari kakak iparnya ini sebagai tanda keramahan dan keakraban keluarga. Dia sama sekali tidak pernah curiga bahwa di balik semua kemanisan Kim Lian ini terkandung pamrih yang lebih mendalam dan tidak wajar. Betapapun juga, dia mendapat kenyataan betapa pandang mata kakak iparnya itu kadang-kadang demikian penuh kelembutan dan keanehan, seolah-olah dia merasa betapa seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki dibelai oleh sinar mata itu yang membuatnya selalu menundukkan mukanya dengan canggung. Maka, begitu mereka selesai makan, Bu Siong cepat bangkit dan berpamit, dengan halus dan tegas menolak penahanan kakak iparnya yang minta kepadanya untuk tinggal lebih lama di situ.

“Biarlah lain kali aku datang berkunjung lagi, So-So,” katanya. Suami isteri itu mengantar Bu Siong sampai ke depan pintu dan di sini wanita itu berkata lagi dengan suara mengandung penuh harapan,

“Akan tetapi, adik Bu Siong, engkau tentu akan tinggal bersama kami, bukan? Engkau tahu apa yang telah kuceritakan tadi, betapa kami menderita oleh ejekan para tetangga karena keadaan kami, dan kalau engkau tinggal bersama kami, tentu kami akan terbebas dari semua ejekan itu. Takkan ada seorangpun berani lagi menghina dan mengejek suamiku.” Bu Siong mengerti. Hatinya memang sudah merasa panas mendengar betapa kakaknya banyak menderita ejekan orang karena keadaan dirinya yang kerdil dan miskin.

Posting Komentar