"Ha-ha-ha, bocah setan, kiranya engkau bersembunyi di sini!" Tangannya yang panjang itu dijulurkan ke depan hendak mencengkeram Tiong Li. Akan tetapi tangan Itu bertemu tangan lain yang lembut.
"Omitohud, hendak kau apakan anak ini, sobat?"
Si Golok Naga mengerutkan alisnya yang tebal ketika merasa betapa gerakan tangannya tertahan.
"Hemm, Jangan ik ut-ik ut, hwe-sio tua. Jangan mencampuri urusanku dan serahkan anak itu ke padaku!"
"Engkau belum menjawab pertanyaan ku, sobat.
Hendak kauapakan anak ini?"
"Persetan, keparat! Anak itu harus mat! ditanganku!" bentak raksasa hitam itu.
"Omitohud, siapa yang berbuat jahat terhadap orang yang tidak bersalah atau berdosa, maka kejahatan itu akan berbalik menimpa dirinya sendiri, bagaikan menebarkan debu melawan arah angi n yang akan berbalik menimpa yang menebarkannya." Hwe-sio itu mengucapkan pelajaran agama Buddha dengan suara yang lantang namun lembut mengi ngatkan.
"Hwe-sio tua, kalau engkau banyak cakap lagi, engkaupun akan kubunuh! Serahkan anak itu!"
Kembali hwe-sio tua itu menjawab dengan ayat-ayat dalam pelajaran agama Buddha, "Dia yang melaksanakan kehendaknya dengan jalan kekerasan tidaklah benar. Bijaksanalah dia yang menimbang antara yang salah dan yang bernar."
Ketika raksasa hitam itu nampak semakin marah, hwe- sio tua itu berkata lagi, "Anak ini bukan apa-apamu, dan sudah lari ke sini mencari perli ndungan kepada pinceng. Pinceng harap engkau orang gagah suka memandang muka pinceng dan tidak mengganggunya lagi."
"Hwe-sio yang bosan hid up. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku enggan membunuhmu karena engkau seorang pendeta dan tidak mempunyai urusan apapun denganku. Akan tetapi anak ini harus mati di tanganku. Hyaaaattt. !"
Dia lalu mengirim pukulan maut dengan tangan kanannya ke arah kepala anak itu, Pukulan Itu hebat dan dahsyat bukan main. Jangankan sampai kepalan itu, baru angin pukulan nya saja sudah dapat membunuh orang karena hawa sin-kang yang keluar dari ge rakan pukulan itu.
"Plakk!" kepalan kanan yang besar dan keras itu bertemu telapak tangan yang lunak halus seperti telapak tangan kanak-kanak. Dan pukulan itu terhenti dan tenaganya seolah amblas masuk ke dalam air. Si raksasa hitam merasa seperti memukul agar-agar atau air saja .
Tentu saja dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya dan memandang hwe-sio tua yang tidak dikenal nya itu. Kini baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti! .
"Omitohud, sadarlah, sobat. Lalang merupakan bencana bagi ladang padi dan kebencian adalah bencana bagi kemanusiaan, karena itu persembahan yang disajikan kepada mereka yang bebas dari kebencian mendatangkan pahala besar. Sobat yang baik, kekerasan hanya akan mendatangkan kehancuran bagi dirimu sendiri, ingatlah itu.".
Si raksasa hitam yang baru saja dengan mudahnya membunuh empat orang tokoh partai besar, tentu saja tidak mendengarkan semua peringatan hwe-sio tua itu. Dia sudah mencabut goloknya yang baru saja minum darah lima orang itu, golok yang sebulan lalu dicurinya dari gudang pusaka Istana, yaltu Mestika Golok Naga.
Begitu mencabut golok Itu, si raksasa hitam lalu menyerang dengan bacokan ke arah kepala hwe-sio tua itu Golok menyambar dengan suara berdesing, cepat dan kuat bukan main. Akan tetapi hwe-sio itu hanya menyebut "Omitohud...!" dan sedikit membungkukkan tubuhnya, golok itu luput. Si raksasa hitam menjadi penasaran dan semakin marah. Serangannya lalu dilanjutkan dengah bacokan-bacokan lain yang lebih kuat lagi .
Akan tetapi, dia merasa seperti membacok bayangan saja. Betapapun cepatnya dia menggerakkan goloknya, namun bacokannya tidak pernah mengenai sasaran, seolah tubuh kakek itu sudah tergeser lebi h dulu, terdorong angi n serangannya, seperti orang menyerang sehelai bulu yang amat ringan. Karena kakek Itu terus menerus mengelak, raksasa hitam itu mendapat akal. Yang penting baginya adalah membunuh anak itu karena anak itu yang tadl menyaksikan pertemuannya dengan empat orang tokoh partai besar.
Maka tiba-tiba saja dia membalik dan kini goloknya menyambar ke arah anak yang masi h berlutut. Akan tetapi golok itu tertahan di udara! Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata goloknya sudah dijepit dua buah jari tangan kakek itu.
Cepat dia membalik dan menggerak kan goloknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya tak dapat digerakkan lagi karna secepat kilat kakek itu telah menotok bawah lengannya, membuat lengan itu lumpuh seketika. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kirinya, kakek melanjutkan dengan totokan satu jari yang amat dahsyat, dalam sekejap mata saja tiga jalan darah terpenting di tubuhnya telah tertotok dan dia tidak dapat bergerak lagi seperti sebuah patung! .
"Omitohud....! Sobat, mulai hari ini, sadarlah dan kembalilah ke jalan benar. Kalau engkau melanjutkan kejahatanmu, maka kejahatan itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan yang amat hebat. Nah, pergilah!"
Dia menepuk pundak raksasa hitam itu dan tubuh itu terhuyung ke belakang akan tetapi dia telah mampu bergerak kembali. Kini yakinlah si raksasa hitam bahwa dia tidak akan mampu menandi ngl hwe-sio tua itu, maka diapun melompat pergi dengan cepat.
"Nah, sekarang pembunuh itu telah pergi. Marilah kita cari ayahmu, anak yang baik," kata hwe-sio tua itu sambil menggandeng tangan Tiong Li. Mereka menuruni puncak dan tak lama kemudian mereka berdua sudah menemukan tubuh Tan Hok yang sudah menjadi mayat dengan kepala terpisah.
"Omitohud !"
Hwe-sio tua itu merangkap kedua tangannya dan melihat Tiong Li menjerit dan menangis, berlutut memeluki tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat. Hwe-sio tua itu menggeleng-geleng kepalanya. "Omitohud, bagaimana dunia dapat menjadi tempat yang damai kalau nafsu dan kekerasan merajalela menguasai hati manusia?"
Dia lalu menghampiri Tio ng Li yang masih menangis, lalu mengangkatnya bangun.
"Diamlah, anak yang baik. Yang mati tidak akan dapat hidup kembali oleh tangis. Kematian datang menjemput setiap orang, karena itu jangan di tangisi lagi. Mari pinceng bantu engkau menguburkan jenazah ayahmu dengan baik. Di manakah rumahmu? Kita dapat membawa jenazah ayahmu kembali ke keluargamu."
"Lo-suhu, ayah dan saya tinggal di dusun lereng bawah sana. Akan tetapi kami tidak mempunyai siapa- siapa lagi. Kami hanya hid up berdua."
"ibumu?"
"Sudah meninggal sejak saya masi h kecil, lo-suhu." "Aih, anak sekecil inl sudah yatim piatu. Kalau begitu,
bagaimana baiknya? Apakah dikubur di sini saja?"
Anak itu mengangguk. Baginya sama saja ayahnya akan dikuburkan di mana karena dia sudah mengambil keputusan bulat bahwa dia akan ik ut dengan hwe-sio tua Ini yang mampu mengusir raksasa hitam yang jahat tadi.
Kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Tiong Li terheran-heran . Dengan menggunakan sepotong kayu; bukan cangkul atau senjata tajam lainnya. kakek itu menggali tanah dan penggalian dengan menggunakan sepotong kayu itu terjadi sedemikian cepatnya sehi ngga dalam sekejap saja sudah tergali sebuah lubang yang cukup besar dan panjang untuk menguburkan jenazah ayahnya!. Kakek itu lalu mengangkat Jenazah itu berikut kepalanya dan merebahkan ke dalam lubang dengan baik, Kemudian setelah kakek itu membaca doa untuk yang mati, lubang itu ditimbuni tanah oleh mereka berdua. Di atas gundukan tanah itu diletakkan sebuah batu panjang oleh si hwe-sio tua yang dengan mudahnya mengangkat batu yang belum tentu dapat diangkat empat orang laki-laki yang bertenaga besar .
Setelah itu, Tiong Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Lo-suhu, saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, oleh karena itu perkenankanlah saya ikut dengan lo-suhu, menjadi murid lo-suhu," Dia berkata demikian sambil menangis.
"Omitohud, menolong orang tidak boleh setengah- setengah. Tanpa kau minta sekalipun, pinceng tidak akan menegakanmu. Anak yang baik, siapakah namamu dan siapa pula nama ayahmu7"
"Mendiang ayah bernama Tan Hok dan saya bernama Tan Tiong Li, lo-su-hu."
"Kalau begitu. di atas batu ini perlu dituliska n nama ayahmu agar kelak dapat menjadi peringatan bagimu." Hwe-sio tua Itu lalu menggunakan jari telunjuknya, menggurat-gurat pada batu besar dan nampaklah huruf- huruf seperti dipahat saja dan berbunyi : Kuburan Tan Hok.
"Marilah kita pulang, Tiong Li." kakek itu berkata dan dia menggandeng tangan anak itu. Segera Tio ng LI merasa tubuhnya seperti terangkat da n meluncur dengan cepat mendaki puncak. Kakinya seolah tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak di mana dia bertemu dengan kakek tadi. "Puncak ini merupakan tempat tinggal pi nceng dan disebut Pek-hong sen- kok (Lembah Gunung Burung Hong Putih). Mulai sekarang engkau tinggal di sini bersamaku."
Demikianlah, mulai hari itu Tio ng Li menjadi murid kakek itu yang tidak mempunyai nama, melai nkan memakai nama puncak itu sebagai namanya, yaitu Pek Hong San-ji n (Orang Gunung Hong Putih). Anak itu memang rajin dan tahu membawa diri. Biarpun masih kecil dia sudah membantu kakek itu dengan segala macam pekerjaan. Mencari kayu kering, memasak air,, berkebun, memikul air dari sumber, membersihkan pondok kecil yang seperti gubuk itu, menyapu pekarangan. Dan diapun tidak pernah mengeluh harus makan nasi dan sayur-sayuran sederhana saja. Dia tidak tahu dari mana kakek itu mendapatkan beras, hanya kadang kakek itu meninggalkan puncak sampai sehari lamanya dan pulangnya membawa segala bahan keperluan hidup mereka.
Akan tetapi dari hwe-sio tua itu Tiong LI mempelajarl segala macam ilmu. Bukan saja dasar-dasar ilmu silat, melainkan juga Ilmu membaca dan menulis, bahkan setelah dia pandai membaca, dia mulai disuruh membaca kitab- kltab agama.
Beberapa tahun kemudian setelah Tiong Li memiliki dasar-dasar Ilmu silat, barulah gurunya mengajarkan ilmu silat. Ternyata kakek Itu merupakan seorang ahli semua ilmu silat.