Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lainnya.
Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan pe-rondaan di sekitar gedung besar itu un-tuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para pen-jaga.
Ia melompat pagar tembok bela-kang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi.
Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintalan dari atas.
Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng.
Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras.
Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mo-hon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah Ayah dan Ibu.
Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya.
Sama sekali tidak! Saya telah mendengar ten-tang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang ber-kepandaian tinggi, berwatak gagah per-kasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal." "Nah, mau apa lagi?" Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita.
Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.
"Benar sekali kata Ayahmu, anakku.
Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya.
Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?" Kalau tadinya Eng Eng yang men-dengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini men-dengar apa yang dipercakapkan, dia ter-tarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu ten-tang ikatan jodoh.
Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan meng-harapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pa-ngeran itu akan menikah dengan orang lain.
Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda.
Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya men-jadi kekasihnya itu sekarang telah men-jadi musuh besarnya.
Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri.
Ia ingin sekali mengeta-hui apa jawaban pangeran itu dan bagai-mana isi hatinya! Maka, ia pun men-dengarkan dengan jantung berdebar te-gang.
"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu.
Akan tetapi untuk menjadi is-teriku, ia memiliki kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku.
Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!" Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang.
Ucap-an pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut.
Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerah-an tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
"Omong kosong!" kata sang ayah.
"Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya.
Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta." "Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah.
Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah de-ngan gadis yang saya cinta itu." Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi.
Ia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru ber-hasil mengauasai jantungnya yang me-lonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.
"Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia mendengarkan terus.
"Kalau engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan.
Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kaucinta itu menjadi selirmu....
" kata sang ibu.
"Maaf, Ibu.
Saya tidak mau mem-punyai selir!" "Hemmm, apa salahnya dengan itu?" bantah ayahnya.
"Engkau seorang pange-ran, sudah sepatutnya mempunyai selir.
Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang malah." "Akan tetapi saya tidak, Ayah.
Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain." Pa-ngeran itu berkeras.
"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun.
Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini" Siapa namanya?" tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan mata-nya setengah terpejam, mulutnya ter-senyum simpul, hatinya senang sekali.
Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu.
Dan ia mendengarkan terus, siap untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya! "Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng...." Terdengar gerakan di atas genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu suara kucing.
Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum itu men-jadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak.
Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerah-an dan kedua tangannya dikepal.
"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya ter-hadap Cia Sun memuncak.
"Engkau mem-bohongi aku, engkau merayu dan menipu-ku!" Sekarang ia mengerti.
Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan perkumpulan, itu, dan ketika orang mulai mencurigai-nya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya.
Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata.
Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya.
Namanya Sim Hui Eng! Keparat! pan dia masih berani berpura-pura meminangku! "Jahnam kau!" Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakapcakap.
Ia mengerah-kan tenaga dan menerjang daun jendela."Brakkk....!" Daun jendela pecah be-rantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.
"Kau....!" seru Cia Sun, akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasih-nya.
Eng Eng menggerakkan tangan kiri-nya dan dua batang jarum hitam menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
"Ahhhhh....!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting.
Sebelum tubuh-nya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.
Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
"Tolong....! Pangeran diculik....!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.
"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak.
Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang dalam ke-gelapan malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Ehg untuk melarikan Cia Sun dari rumahnya.
Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung.
Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas.
Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
"Bukankah engkau Eng-moi" Eng-moi, kenapa kaulakukan ini kepadaku?" Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja.
Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian.
Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung perajurit.
Semen-tara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya.
Dan dia pun teringat.
Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu.
Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyer-buan.
"Eng-moi, engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng--pai" Eng-moi, bukan....
bukan aku yang melakukan.
Engkau salah duga.
Mari kita bicara baik-baik dan kaudengarkan semua keteranganku." Mendengar ucapan ini, Eng Eng men-dapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpakesulitan.
Ia harus dapat membawa pa-ngeran inikeluar.
Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!"Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja.
Kalau engkau mem-bawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana.