Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 66

NIC

"Teecu akan mengantar mereka pulang."

Hwesio itu mengangguk-angguk dam dia duduk bersila di bawah pohon, berkata sambil tersenyum ramah. "Baik, kau lakukan tugasmu itu, pinceng akan menantimu di sini."

Giok Cu lalu mengajak muda mudi itu untuk kembali ke dusun mereka. Melihat sikap muridnya yang wajar saja, sama sekali tidak memperlihatkan kekhawatiran, diam-diam Hek-bin Hwesio semakin kagum. Muridnya itu sungguh memiliki hati yang luar biasa tabahnya. Ia tidak takut kalau kalau tugasnya mengantar pulang muda-mudi itu akan dihadang oleh subonya dan Lui Seng Cu! Tentu saja dia tidak tega begitu saja dan diam-diam kakek ini membayangi perjalanan Giok Cu dari jauh. Sebetulnya, Giok Cu bukan hanya tabah tanpa perhitungan. Ia cerdik sekali. Kalau ia berani mengantar dua orang muda itu kembali ke dusun tanpa khawatir akan dihadang oleh subonya, bukan karena ia berani menghadapi ancaman bahaya itu, melainkan karena ia sudah memperhitungkan bahwa subonya dan Lui Seng Cu yang baru saja menerima hajaran hebat dari Hek-bin Hwesio, sudah pasti tidak akan berani sembarang-an keluar dan melakukan kejahatan lagi untuk sementara waktu ini. Mereka tentu menjadi jerih, maklum bahwa kepandaian mereka sama sekali tidak mampu m nandingi kesaktian Hek-bin Hwesio. Selain ini, juga gadis cerdik ini memperhitungkan bahwa tidak mungkin suhunya yang baru itu akan membiarkan saja ia terancam bahaya, la sudah hampir merasa yakin bahwa suhunya tentu akan membayanginya dan melindunginya!

Giok Cu disambut dengan gembira oleh para penduduk dusun ketika ia mengiringkan dua orang muda yang lenyap diculik "iblis" seperti yang dipercaya oleh para penduduk dusun itu. Giok Cu menasehatkan mereka agar bekerja sama dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bahaya dari orang-orang jahat. Setelah itu, ia pun meninggalkan mereka dan kembali ke dalam hutan di mana ia mendapatkan suhunya masih duduk bersila dalam samadhi! Anehnya, biar dalam samadhi, tetap saja mulut gurunya itu tersenyum lebar! Ia tidak berani mengganggu suhunya, melainkan seger duduk bersila tak jauh dari situ dan ikut bersamadhi.

la bersamadhi seperti biasa, seperti diajarkan oleh subonya. Bersamadhi dengan satu tujuan tertentu, yaitu untuk menghimpun kekuatan batin dan membangkitkan tenaga sakti dari pusar. Akan tetapi, tiba-tiba saja, selagi ia hampir tenggelam dalam samadhi, ia mendengar suara yang besar dan dalam dari Hek-Bin Hwesio.

"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam dirimu. Kosong tenang hening……… " Giok Cu mentaati petunjuk ini, membuang semua keinginan mencapai suatu tujuan dan ia tenggelam ke dalam keheningan, membiarkan dirinya diseret arus yang amat halus, yang menghanyutkannya dan ia membiarkan dirinya dengan pasrah, pasrah kepada Tuhan dan andaikata pada saat itu nyawanya dicabut sekalipun, karena ia sudah menyerahkan diri, maka ia pun tidak merasa takut.

Kurang lebih sejam kemudian, suara panggilan yang lapat- lapat menyadarkan Giok Cu dari samadhinya. Masih suara Hek-bin Hwesio berkata dengar lembut.

"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur, pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap kali latihan." Giok Cu mentaati semua petunjuk gurunya dan mulailah ia menerima latihan pernapasan dan semadhi yang jauh berbeda dengan latihan yang diterima dari subonya.

Matahari sudah condong ke barat ketika Hek-bin Hwesio mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Mulai hari itu, Giok Cu menjadi murid Hek-bin Hwesio, meninggalkan rumah Ban-tok Mo-li berikut seluruh pakaiannya. Ia mengembara bersama Hek-bin Hwesio, mempelajari ilmu-ilmu, hidup sederhana seperti pertapa, mengunjungi Himalaya dan tempat-tempat lain yang selama ini hanya didengarnya sebagai dongeng saja.

Selama lima tahun kurang lebih ia menerima gemblengan Hek-bin Hwesio dan kini Giok Cu telah berubah sama sekali. Bukan lagi gadis remaja yang berwatak keras dan ganas, bahkan dapat bersikap kejam terhadap musuh-musuhnya, tidak mengenal ampun. Kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa, berusia kurang lebih dua puluh tahun yang cantik manis namun sederhana dan yang masih tinggal hanyalah sikapnya yang riang gembira dan jenaka walaupun di balik kejenakaannya itu terdapat watak yaraj mendalam dan seperti watak orang yang telah matang dalam gemblengan pengalaman hidup.

Pada suatu pagi, Giok Cu yang sudah dewasa turun gunung sebagai se¬rang gadis yang berpakaian sederhana tanpa membawa senjata, nampaknya lemah lembut dan hanya sinar matanya yang mencorong itu saja yang menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang gadis "biasa". Gurunya yang sudah amat tua itu menyatakan bahwa sudah tiba saatnya Giok Cu turun gunung dan tiba saatnya mereka berpisahan karena Hek-bin Hwesio ingin bertapa sampai maut da tang menjemputnya. Nampaknya saja gadis cantik manis ini tidak bersenjata, akan tetapi sesungguhnya, di balik bajunya, terselip dipinggangnya, ia mempunyai sebatang pedang. Pedang yang amat aneh! Sarung dan gagang itu cukupi indah, dengan ukir-ukiran burung Hong, dengan ronce-ronce merah. Akan tetapi kalau pedang itu dicabut dari sarungnya, orang tentu akan mentertawakannya. Pedang itu buruk sekali! Terbuat dari baja yang warnanya kelabu dan kotor nampaknya, buatannya pun pletat-pletot tidak halus, dan yang lebih jelek lagi, pedang itu tumpul, tidak runcing dan tidak tajam!

Pedang itu pemberian Hek-bin Hwesio kepada muridnya! "Jagalah baik-baik pedang ini, Giok Cu. Namanya Hong- pokiam, dan memang sengaja dibuat tidak tajam dan tidak tumpul untuk mengingatkan pemakainya bahwa senjata ini bukan dibuat untuk membunuh orang. Gagang dan sarungnya indah akan tetapi terbuat dari tembaga disepuh emas, pedangnya sendiri jelek sekali namun terbuat dari baja yang sukar dicari bandingnya. Ini untuk mengingatkan bahwa yang amat indah di luar itu hanyalah palsu, yang terpenting adalah dalamnya. Lebih baik jelek sederhana namun bermanfaat daripada gemilang dan mewah namun tidak ada gunanya."

Ketika suhunya menyatakan agar ia turun gunung, Giok Cu berlutut di depan kaki suhunya. Ia memang telah berubah sama sekali, bukan hanya karena gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi melainkan terutama sekali gemblengan batin dari suhunya.

"Suhu, mengapa teecu tidak boleh tinggal bertapa di sini atau menjadi seorang nikouw (pendeta wanita) dan hidup di kuil? Teecu melihat betapa dunia ini penuh dengan dosa. Kalau teecu me¬masuki dunia ramai, bagaimana teecu dapat mencegah terjadinya perbuatan dosa? Teecu tentu akan terseret hanyut dalam arus pertentangan antara baik buruk, dan kalau teecu berpihak kepada yang baik, dengan sendirinya teecu akan menentang dan berlawanan dengan yang jahat. Teecu ingin membaktikan diri kepada Tuhan dan hidup tenang tentram di pegunungan, dalam sebuah kuil atau gua."

Gurunya tertawa bcrgelak. "Itu akan menyalahi garis hidupmu, Giok Cu. Tidak, engkau tidak berbakat menjadi nikouw. Tugasmu sebagai orang yang memiliki ilmu silat amatlah banyaknya dan juga amat penting. Kini, kejahatan merajalela, rakyat hidup sengsara karena pemerintah yang lemah tidak mampu melindungi mereka. Bahkan kaki tangan pemerintah sendiri yang melakukan penyelewengan menambah beban rakyat dengan adanya kerja paksa dan korupsi. Banyak pejabat bersekutu dengan penjahat, banyak pemuka agama bahkan tidak segan menumpuk dosa demi menari kemuliaan melalui kedudukan dan harta. Tidak, muridku. Engkau harus terjun ke dunia ramai dan engkau harus melaksanakan tugas sebagai seorang pendekar, melindungi mereka yang terancam bahaya, membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang dikuasai nafsu iblis untuk menyebar kejahatan. Pesan pinceng, kalau engkau bertemu dengan para murid Siauw-Iim-pai, bantulah mereka. Biarpun mereka memusuhi pemerintah, akan tetapi pinceng tahu bahwa para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar- pendekar yang gagah perkasa dan pembela rakyat tertindas."

Demikianlah, akhirnya Giok Cu turun gunung seorang diri, meninggalkan gurunya dengan siapa ia telah hidup selama hampir lima tahun.

oooOOooo

Kota Pei-shen terletak di Lembah Sungai Kuning, di Propinsi Shantung. Kota ini cukup besar dan ramai, bahkan terkenal sebagai kota yang banyak menjual rempah-rempah. Banyak pedagang rempah-rempah yang kaya di kota ini dan satu di antara pedagang rempah-rempah yang juga memiliki sebuah toko cita di sebelah toko rempah-rempah, adalah Tang Gu it, seorang pedagang berusia lima puluh tahun. Tang Gu it bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang hidup kaya raya, akan tetapi dia dikenal sebag seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, di kota Pei-shen, dia disegani karena dua hal, pertama karena dia kaya raya dan juga dermawan, dan kedua karena dia lihai dalam ilmu silat. Pernah seorang diri pedagang ini melumpuhkan segerombolan perampok terdiri dari belasan orang yang berani mengacau di pinggiran kota, dan sejak itu namanya semakin terkenal dan keamanan kota Pei-shen, sebagian disebabkan oleh nama besarnya sebagai seorang jago silai yang tangguh.

Karena dia memiliki dua buah toko vang cukup besar dan sibuk, maka Tang Gu It mempunyai belasan orang pegawai yang bekerja di kedua toko itu. Rumah keluarganya yang cukup besar berada di belakang kedua toko itu. Di sini hanya tinggal dia, isterinya dan putera tunggalnya yang bernama Tang Ciok An, seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun akan tetapi belum me¬nikah. Tentu saja ada beberapa orang pelayan keluarga itu yang juga tinggal di situ, di beberapa buah kamar di bagian belakang bangunan. Sebuah taman yang luas dan penuh bunga indah dan kolam ikan penuh teratai berada di belakang rumah. Pendeknya, keluarga itu hidup serba kecukupan dan nampaknya berbahagia.

Memang sesungguhnya demikian, aka tetapi ada satu hal yang menjadi pikiran bagi Tang Gu It, yaitu tentang pernikahan puteranya. Puteranya itu, Tan Ciok An, sejak kecil sudah ia tunangkan dengan puteri tunggal adik perempuannya, Souw Hui Im yang kini sudah berusia delapan belas tahun dan tinggal bersama ayahnya yang sudah menjadi duda di kota raja.

Karena dia merasa bahwa usia ke dua orang muda itu sudah lebih dari cukup, yaitu puteranya sendiri berusi dua puluh lima tahun sedangkan calon mantunya itu sudah delapan belas tahun, maka beberapa hari yang lalu, dia bersama beberapa orang pengikutnya membawa kereta berkunjung ke kota raja untuk menentukan hari pernikahan mereka. Tentu saja dia membawa segala macam hadiah yang cukup mewah sebagaimana mestinya, hampir sekereta penuh! Akan tetapi, setelah tiba di rumah adik iparnya itu, yaitu Souw Ku Tiong yang membuka toko obat di kota raja, dia mendengar malapetaka yang menimpa keluarga adik iparnya. Adik iparnya itu bersama seorang sutenya telah tewas ketika rumah itu diserbu pasukan pemerintah dengan tuduhan pem¬berontak! Sedangkan puterinya, Souw Hui Im, dikabarkan orang hilang tak tentu rimbanya!

Tentu saja Tang Gu It menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, bahkan tidak berani lama-lama tinggal di kota raja, takut kalau-kalau dia akan tersangkut. Bagaimanapun juga, dia mengenal adik iparnya dan tahu bahwa Souw Kun Tiong memang seorang murid Siauw-lim-pai yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak! Adik iparnya itu dituduh pemberontak tentu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, pikirnya dengan hati tidak enak. Bagaimana tidak kalau dia sendiri pun pernah menjadi murid di kuil Siauw-lim-pai, walaupun hanya untuk dua tahun saja. Kalau ini diketahui oleh mereka yang membasmi keluarga Souw, tentu keluarganya sendiri akan terancam bahaya maut!

Dengan hati yang gelisah Tang Gu It pulang ke Pei-shen, membawa kembali barang-barang hadiah yang tadinya akan diserahkan kepada adik iparnya. Dia merasa amat gelisah memikirkan nasib Souw Hui lm, calon mantunya. Kemanakah perginya gadis itu? Pergi melarikan diri ataukah ditangkap musuh? Dilarikan orang? Tidak ada yang mampu memberitahu karena dia tidak berani banyak bertanya di kota raja. Setelah tiba di rumah, dia pun menceritakan tentang pengalamannya di kota raja kepada isteri dan puteranya.

Mendengar berita ini, Tang Ciok An seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersikap gagah dan tinggi hati, segera berkata, "Ayah, kalau begitu, biarlah aku pergi mencari Piauw- moi (Adik Misan) Souw Hui Im!" Pemuda ini pun sejak kecil mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan dia menganggap ayahnya dan dirinya sebagai pendekar-pendekar yang disegani di kota Pei-shen.

"Jangan lakukan itu, Ciok An!" cegah ayahnya. "Kalau engkau pergi sendiri, atau aku, hal itu berbahaya sekali. Mereka itu dibasmi pemerintah karena menjadi anggauta atau murid Siauw-lim-pai! Jangan mengkhawatirkan nasib calon istermu, aku tidak akan tinggal diam dan akan menyebar orang-orang untuk mencari dan menyelidiki ke mana ia pergi."

"Ayah aku ingin mencari Piauw-moi bukan kaiena ia calon isteriku saja. Terutama sekali karena bagaimanapun juga, ia itu adik misanku, puteri mendiang Bibiku. Tentang perjodohanku dengannya, andaikata tidak jadi pun tidak mengapa, Ayah. Masih banyak gadis yang akan suka menjadi isteriku."

Posting Komentar