"Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah.
"Memang sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!"
Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang. Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang.
"Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan."
Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring,
"Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biarpun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Peme-rintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng. Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa "ditelanjangi"
Oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu,
Bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu! Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam.
Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi (baca cerita ISTANA PULAU ES). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis dan untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri. Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... kenapa selama hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?"
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biarpun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...."
Katanya lirih bisik bisik sambil mengelus leher burung itu,
"siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan...."
"Nguk nguk...."
Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang daripada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas!
Memang To cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum! Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon. Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali.
Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apalagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah Hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
"Suma Han, bangunlah!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.
Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im yang Seng cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im yang Seng-cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im yang Seng cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki? Ha ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!"