“Aku hendak kaubawa ke mana?”
“Tidak perlu bertanya, ikut saja,” kata kakek itu sambil menyeringai. “Aku bukan orang tolol, tidak akan membahayakan diriku dengan mengganggumu. Akan tetapi, untuk menyelamatkan diriku, aku tidak segan untul menyiksa atau membunuhmu. Kalau engkau mentaatiku, kita sama-sama aman dan selamat.”
Mimi bukan seorang gadis bodoh. Ia harus bersabar. Selama iblis tua ini tidak mengganggunya ia akan bersikap tunduk dan taat sambil mencari kesempatan untuk melarikan diri. Demikianlah, ia menurut ketika disuruh berjalan dan ia tidak pernah membantah.
Sore hari itu mereka memasuki sebuah rumah makan di dusun Ki-ciu, dusun yang besar dan ramai di Lembah Sungai Huai. Mereka mengambil tempat duduk di meja paling ujung. Tay- lek Kwi-ong duduk menghadap keluar agar selain dapat mengawasi gadis itu, diapun dapat mengawasi orang-orang yang datang dari luar karena dia masih curiga kalau-kalau para perwira dari Nan-king membayanginya.
Seorang pelayan yang memakai topi kain menghampiri mereka. Pelayan itu menundukkan mukannya, akan tetapi Mimi dapat menangkap sinar mata tajam penuh selidik ditujukan kepadanya. Sejak ia dipaksa mengikuti Tay-lek Kwi-ong, ia sengaja menggosok kedua pipinya sehingga warna kecoklatan buatan itu luntur dan nampak kedua pipinya putih kemerahan, juga ia tidak lagi menggunakan suara pria, melainkan menggunakan suaranya sendiri. Hal ini ia lakukan agar semua orang tahu bahwa ia seorang wanita dan karena ia menggunakan pakaian pria, maka keadaan dirinya tentu akan menimbulkan perhatian orang lain.
Ketika pelayan itu dengan sikap hormat bertanya masakan apa yang hendak dipesan, Tay-lek Kwi-ong menyebutkan nama beberapa masakan dan minta disediakan arak, kemudian sambil lalu dia bertanya kepada Mimi. “Engkau hendak makan apa?”
Dengan suaranya yang merdu tapi lantang, Mimi menjawab, “Aku tidak mau makan!”
Sepasang alis mata yang tebal itu berkerut dan pandang mata itu penuh kemarahan. “Sejak tadi engkau tidak makan tidak minum, engkau tidak lapar.”
“Biar aku mati kelaparan, lebih baik!” kata pula Mimi dengan ketus. Ia melirik dan hatinya senang melihat betapa sikap dan ucapannya ternyata membuat pelayan itu seperti orang tercengang keheranan. Tay-lek Kwi-ong mendongkol bukan main. Sungguh akan merupakan perjalanan yang amat menjengkelkan sekali kalau tawanannya bersikap seperti ini. “Anak bandel, kaukira aku tidak mampu menjejalkan makanan ke dalam perutmu?” bentaknya dan kepada pelayan dia berkata, “Sudah, cukup itu saja pesananku dan cepat keluarkan!”
Karena ia sendiri memang merasa lapar dan tidak ingin mati kelaparan, dan sikap dan kata- katanya tadi hanya dimaksudkan untuk menarik perhatian orang, ketika hidangan dikeluarkan, Mimi mau juga makan sehingga hati Tay-lek Kwi-ong merasa lega. “Nah, begitulah. Jadi kita tidak saling menyusahkan,” katanya.
Setelah mereka keluar dari dusun Ki-ciu, Mimi berhenti melangkah dan bertanya, “Sebetulnya engkau hendak membawaku ke manakah?”
“Tidak perlu kau mengetahui.”
“Kalau tidak diberi tahu, aku tidak akan sudi berjalan!”
“Hemm, dan engkau lebih suka kuseret atau kutotok lalu kupanggul seperti tadi?”
Sebelum Mimi menjawab, terdengar suara gaduh dan dari pintu gerbang dusun itu keluar berlarian belasan orang. Pelayan muda yang agak jangkung tadi berlari di depan dan begitu mereka berhadapan dengan Tay-lek Kwi-ong dan Mimi, pelayan itu berseru, “Inilah orangnya yang menculik gadis itu!”
Tay-lek Kwi-ong memandang marah. “Mulut busuk! Siapa menculik gadis? Ini adalah anakku sendiri! Kalian mau apa?”
Semua orang tertegun, juga si pelayan yang tadi memberitahu bahwa ada orang menculik seorang gadis yang dipaksanya makan seperti yang didengarnya dari percakapan mereka tadi. Selagi semua orang kebingungan mendengar bahwa gadis berpakaian pria itu adalah anak kakek yang disangka penculik, Mimi sudah berteriak, “Aku bukan anaknya dan dia memang menculik aku! Dia penjahat besar, tolonglah aku!” Setelah berkata demikian, Mimi sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Tay-lek Kwi-ong. Kakek ini menjadi marah sekali dan dia menangkis sambil mengerahkan tenaga sehingga tubuh gadis itu terhuyung. Sebuah tendangan mengenai lambungnya dan Mimi terpelanting pingsan.
Tay-lek Kwi-ong sudah marah dan ingin membunuh Mimi yang tadinya akan dijadikan sandera agar dia tidak dikejar pasukan. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, tiba-tiba sesosok bayangan menyambar dan ada angin yang kuat sekali meluncur ke arah dirinya. Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menangkis. Dua buah lengan bertemu dan Tay-lek Kwi-ong terdorong ke belakang. Dia terkejut dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah si pelayan jangkung tadi. Kini pelayan itu tidak mengenakan topinya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong.
“Tay-lek Kwi-ong, sungguh tidak kusangka seorang tokoh seperti engkau melakukan perbuatan rendah, menculik seorang gadis!” kata pemuda itu.
“Kau... kau Cu Goan Ciang...!” Tay-lek Kwi-ong berseru.
Seorang di antara mereka yang kini mengepungnya berkata lantang, “Tay-lek Kwi-ong, dia adalah Beng-cu, engkau jangan bersikap kurang ajar!”
Tay-lek Kwi-ong tertawa bergelak. “Beng-cu? Ha-ha-ha, aku baru mau mengakuinya sebagai Beng-cu kalau dia mampu menandingi dan mengalahkan aku!”
Cu Goan Ciang yang sedang menghimpun kekuatan memang seringkali menyamar untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan sekali ini dia menyamar sebagai seorang pelayan dari rumah makan yang memang khusus didirikan untuk menghubungi orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di situ. Ketika tadi Tay-lek Kwi-ong memasuki rumah makan bersama seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pria, dia terkejut dan timbul kecurigaannya, apa lagi ketika melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Akan tetapi, Goan Ciang tidak melakukan sesuatu karena dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam dusun itu. Setelah Tay-lek Kwi-ong dan gadis itu meninggalkan rumah makan, dia lalu mengajak beberapa orang anak buahnya dan melakukan pengejaran sampai ke luar dusun.
Kini, mendengar ucapan Tay-lek Kwi-ong, Goan Ciang melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang namun berwibawa.
“Tay-lek Kwi-ong, sikapmu ini bukan sikap seorang gagah. Engkau ikut dalam pemilihan Beng-cu dan engkau sudah kalah, sudah mengundurkan diri. Semua orang kang-ouw mengetahui bahwa akulah yang menang dan terpilih, kenapa engkau sekarang bersikap seperti ini? Dan engkau sudah menculik seorang gadis. Akuilah kekalahanmu dan bebaskan gadis itu dan kami akan menerimamu sebagai seorang kawan seperjuangan.”
“Cu Goan Ciang, aku mengaku bahwa aku gagal dalam pemilihan Beng-cu. Akan tetapi, dalam pemilihan itu aku dikalahkan oleh Thian Moko, bukan olehmu. Maka, kalau engkau ingin aku mengakui kau sebagai Beng-cu, kalahkan aku dulu! Kalau tidak, lebih baik engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku dengan gadis itu.”
“Beng-cu, kiranya tidak perlu melayani si sombong ini! Biar kami yang akan menghajarnya,” kata beberapa orang pembantu Goan Ciang yang mengepung tempat itu.
Akan tetapi sambil tersenyum Goan Ciang mengangkat tangan ke atas mencegah mereka. Dia melihat dalam diri Tay-lek Kwi-ong seorang pembantu yang dapat diandalkan. Memang orangnya kasar dan tinggi hati, akan tetapi kalau dapat ditundukkan, dengan ketinggian hatinya tentu akan dapat menjadi seorang pembantu yang tidak mau kalah dalam membuat jasa oleh para pembantu lainnya.
“Baiklah, Tay-lek Kwi-ong, aku akan melayanimu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.” Tentu saja jawaban Cu Goan Ciang ini sudah dia perhitungkan baik-baik. Cu Goan Ciang seorang yang amat cerdik dan ahli siasat maka dia telah yakin bahwa dia pasti akan mampu menundukkan raksasa ini, yang pernah dilihat sepak terjangnya ketika bertanding melawan Thian Moko tempo hari. Kalau dia tidak yakin, tentu dia tidak akan mempertaruhkan kedudukannya sebagai Beng-cu.