Pedang Ular Mas Chapter 88

NIC

Sun Tiong Kun di lain pihak masih desak terus pada Ceng Ceng. Seperti juga ia telah peroleh perkenan dari gurunya, ia jadi bisa bertindak dengan merdeka. Ia girang melihat lawannya repot melayaninya.

"Sumoay, jangan lancang melukai orang!" Pwee Seng dan Kiam Hoo memperingati.

Baru nasihat itu diperdengarkan atau pedangnya Tiong Kun sudah sambar dadanya Ceng Ceng. Dia ini mati jalan, terpaksa ia buang diri dengan melenggak, dengan lompat jumpalitan, akan terus bergulingan di tanah. Masih saja Tiong Kun menyerang, selagi orang berguling, ia membabat. Ceng Ceng lolos, ikat kepalanya kena ditabas, karena mana, terlepaslah rambutnya yang panjang dan hitam sampai menutupi mukanya.

Menampak itu, Sun Tiong Kun tercengang. Tidak pernah ia sangka, si pemuda sebenarnya adalah satu pemudi. Tapi karena ia penasaran, ia maju pula, akan lanjuti serangannya.

Selagi Ceng Ceng terancam bahaya, dengan sekonyong- konyong terdengar seruan nyaring dan bengis yang datangnya dari atas pohon di samping mereka: "Oh, nona yang kejam!" Lantas seruan itu disusul dengan melayang

605 turunnya satu tubuh, sebelum Tiong Kun tahu apa-apa, pedangnya sudah kena ditendang hingga terlepas, dan tentu saja ia jadi kaget sekali.

Orang asing itu adalah satu imam, alis dan kumis- jenggotnya telah putih semua, dia berdiri melintang di depan Ceng Ceng.

Sun Tiong Kun mengawasi dengan tecengang, bersama- sama dengan Pwee Seng dan Kiam Hoo, ia tidak kenal imam itu.

Akan tetapi Kwie Jie-nio kenali Bhok Siang Toojin, sahabat kekal dari gurunya, ia lekas-lekas menghampirkan, untuk memberi hormat.

"Jangan repot dengan cara-hormat saja, lihatlah itu suheng dan sutee sedang berlatih!" katanya sambil tertawa.

Kwie Jie-nio lantas berpaling kepada suaminya, siapa lagi tempur Sin Cie dengan tubuh mereka bergerak bagaikan dua bajangan berkelebatan, anginnya menderu- deru. Sin Sie pesat tapi Sin Cie gesit, kalau yang satu mewariskan satu guru, yang lain adalah ahli warisnya tiga guru yang liehay....

Makin lama pertempuran jadi makin seru, walau demikian, Sin Cie berada di pihak lebih lemah. Dia berkelahi dengan gunai ilmu silat Hoa San Pay, benar ia pandai menggunainya, akan tetapi dari Sin Sie, ia kalah latihan, kalah pengalaman. Di lain pihak, ia lebih banyak menangkis, tidak berani ia keluarkan seantero kepandaiannya.

Kwie Jie-nio girang melihat suaminya menang di atas angin, tetapi meski demikian, sekarang tidak lagi ia sangsikan Sin Cie sebagai suteenya, karena ia telah saksikan baik-baik, ilmu silat Sin Cie tulen dari Hoa San Pay. Sin Cie terdesak terus, untuk menyingkirkan ancaman bahaya, tiba-tiba ia ubah caranya bersilat, maka selanjutnya, tubuhnya bergerak-gerak licin bagaikan ular air. Sebab sekarang terpaksa ia gunai ilmu silatnya Kim Coa Long-kun, ialah "Kim Coa Yu-sin-ciang" atau "Ular Emas main-main". Itulah ilmu entengkan tubuh yang dicangkok dari ular yang lagi berenang memain di muka iar. Untuk ini, Sin Cie boleh tak usah balas menyerang lagi. Dengan gunai "Pek pian kwie eng" tubuhnya jadi bertambah licin....

Kwie Sin Sie boleh liehay sekali, akan tetapi sekarang ia putus asa untuk berikan serangan berarti terhadap sutee itu, hingga ia pun jadi kagum berbareng heran.

Pertempuran dilanjuti sampai beberapa puluh jurus lagi dengan hasilnya tetap masih tidak ada, sekonyong-konyong Sin-kun Bu-tek berlompat keluar dari kalangan sambil serukan: "Tahan!"

Sin Cie heran, akan tetapi ia berhenti bergerak, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tak berhasil memukul aku, ini artinya kita seri, kedua pihak telah dapat lindungi muka mereka, pantaslah pertempuran habis sampai di sini. "

Setelah berdiri di pinggiran, Kwie Sin Sie dongak sambil terus menjura kearah atas, ke arah satu pohon.

"Suhu, suhu telah datang!" katanya.

Mendengar ini, Sin Cie terperanjat, ia heran. Ia mengawasi ke pohon, ke arah mana Sin Sie memberi hormat, dari situ ia tampak empat bajangan berlompat turun saling-susul, hingga di lain saat ia telah dapat lihat tegas empat orang itu, yang pertama ialah gurunya, Pat- chiu Sian wan Bok Jin Ceng, hingga tak ayal lagi, ia lari mendekati, untuk memberi hormat sambil paykui. Kemudian Barulah ia berbangkit, akan awasi tiga yang lain. Ialah Cui Ciu San, Toasuhengnya Tong-pit Thie-shuiphoa

607 Uy Cin dan di paling belakang, A Pa, si empeh gagu, sahabat karibnya di dalam guha.

Dalam kegirangannya yang luar biasa itu, Sin Cie segera bicara sama A Pa, sudah tentu dengan main gerak-gerik tangan mereka.

"Dasar aku kurang pengalaman, aku layani suko tanpa aku perhatikan segala apa di sekelilingku," pikir pemuda ini. "Coba yang sembunyi di atas itu bukannya suhu, hanya orang lain, apa aku tidak bakal celaka karena bokongan?"

Karena ini, ia kagumi Kwie Sin Sie.

Bok Jin Ceng usap-usap kepala muridnya yang bungsu. "Toasukomu telah tuturkan aku perihal perbuatanmu di

Kie-ciu, Ciatkang, perbuatanmu itu tak dapat dicela," berkata guru ini sambil tertawa. Setelah itu, mendadak tampangnya jadi sungguh-sungguh ketika ia kata dengan keras: "Kau, seorang anak muda, mengapa kau tidak hormati orang yang terlebih tua? Kenapa kau lawan sukomu?"

Sin Cie terkejut, lekas-lekas ia tunduk.

"Teecu bersalah, lain kali teecu tak berani pula," kata ia. Terus ia hampirkan Kwie Sin Sie dan Kwie Jie-nio, untuk menjura kepada mereka seraya berkata: "Siautee haturkan maaf kepada suko dan suso."

Meskipun Kwie Jie-nio aseran akan tetapi jujur.

"Suhu, jangan suhu tegur sutee," ia bilang. "Adalah aku dan suamiku yang paksa ia melayani berkelahi. Yang aku sesalkan adalah sutee sudah gunai ilmu silatnya lain kaum untuk menghina kepada beberapa muridku yang tidak berharga..." Nyonya Kwie lantas tunjuk Pwee Seng tiga saudara seperguruan.

"Bicara tentang pelbagai kaum persilatan, hatiku tawar," berkata Bok Jin Ceng dengan sabar. Lalu terus ia menoleh pada Kiam Hoo. "Eh, Kiam Hoo, mari!" ia panggil cucu muridnya yang berangasan itu. "Aku hendak tanya kau. Dia ini sudah berani lawan suhengnya bertempur, dialah yang salah! Akan tetapi kamu bertiga, kenapa kamu berani lawan susiokmu? Didalam kalangan kita mempunyai aturan yang tertua dan yang termuda, apakah kamus udah tidak hormati tingkatan derajat itu?"

Kiam Hoo, begitu juga Pwee Seng, tidak berani mendusta terhadap su-cou itu, si kakek guru, maka mereka akui kesalahan mereka, untuk itu Kiam Hoo tuturkan asal mulanya, ketika mereka bantui Bin Cu Hoa yang memusuhkan Ciau Kong Lee. Ia tuturkan semua dengan jelas, kecuali di bagian Sun Tiong Kun tabas tangannya Lo Lip Jie, ia lewatkan itu.

Ceng Ceng tidak puas dengan cerita tak lengkap itu. "Dengan telengas dia telah tabas kutung sebelah tangan

orang!" ia campur bicara, suaranya keras. "Wan Toako

tidak puas dengan perbuatan kejam itu, karenanya ia campur tangan!"

Wajahnya Bok Jin Ceng jadi guram.

"Apakah itu benar?" ia tanya. Kwie Sin Sie dan isterinya masih belum tahu hal itu, maka keduanya awasi Sun Tiong Kun, si nona yang disebut sebagai si "dia" oleh nona Un.

Kiam Hoo jawab gurunya, dengan pelahan:

"Sun Sumoay kira dia seorang jahat, maka ia turun tangan dengan tidak mengenal ampun lagi," katanya. "Sekarang sumoay telah jadi sangat menyesal. Harap sucou suka mengasi ampun..."

"Pantangan paling besar dari kaum kita Hoa San Pay adalah melukai atau membunuh tanpa sebab!" berseru dia. "Sin Sie, ketika kau mulai terima murid, apakah kau tidak jelaskan pantangan kita itu kepadanya?"

Belum pernah Sin Sie dapatkan gurunya gusar demikian rupa, lekas-lekas ia berlutut di depan guru itu.

"Teecu telah keliru mendidik, harap suhu jangan gusar," ia mohon. "Nanti teecu tegur padanya."

Kwie Jie-nio pun lantas berlutut di depan guru itu, maka perbuatannya lantas diturut oleh Lau Pwee Seng, Bwee Kiam Hood an Sun Tiong Kun. Ketiga murid ini berlutut dibelakang Kwie Sin Sie.

Bok Jin Ceng masih gusar. Ia tegur Sin Cie:

"Kau telah saksikan kejadian itu, kenapa kau sudah saja dengan cuma patahkan pedang? Kenapa kau juga tidak tabas kutung sebelah lengannya? Kita tidak jaga baik nama kita, kita tidak taat kepada pantangan sendiri, apakah kita tak bakal ditertawai, dihinai sesama sahabat kangouw?"

Sin Cie pun lekas-lekas berlutut, ia manggut-manggut. "Teecu bersalah, suhu," ia akui. Ia tak mau omong

banyak.

Pat-chiu Sian Wan si Lutung Sakti Tangan Delapan tertawa dingin.

"Mari kau!" ia panggil Sun Tiong Kun.

Nona itu takut bukan main, tidak berani ia menghampirkan kakek guru itu, ia terus mendekam di tempatnya, ia manggut berulang-ulang. "Apakah kau tidak mau menghampirkan?" tanya Bok Jin Ceng.

Kwie Jie-nio sangat takut, ia tahu maksud gurunya itu, ialah sang guru hendak bikin Sun Tiong Kun menjadi satu manusia bercacat. Tapi Tiong Kun ada murid kesajangannya, bagaimana ia tega. Maka ia lantas manggut- manggut pada guru itu.

"Suhu, harap suhu jangan gusar," memohon dia. "Sepulangnya nanti teecu beri ajaran keapdanya."

"Kau juga kutungi sebelah tangannya, besok kau ajak dia pergi kepada keluarga Ciau untuk menghaturkan maaf!" kata guru itu.

Dalam takut dan kekuatirannya yang sangat, Kwie Jie- nio bungkam.

Tapi Sin Cie segera berkata: "Mengenai urusan dengan keluarga Ciau itu, teecu sudah menghaturkan maaf. Lalu dari itu teecu juga telah janjikan orang yang dikutungi sebelah tangannya itu pelajaran silat dengan sebelah tangan. Karena itu, pihak Ciau sudah terima baik perdamaian, sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi."

"Hm!" berseru guru itu. "Sekarang bangunlah semua! Sukur Bhok Siang Toojin bukannya orang luar, apabila tidak, dia boleh tertawai kita hingga kita mati semua! Dasar Bhok Tooyu yang cerdik, setelah dapat pengalaman buruk dari muridnya, selanjutnya tak mau ia menerima murid pula, hingga tak usah ia mendapati hal-hal yang memalukan."

Kwie Sin Die semua berbangkit.

Bok Jin Ceng melirik kepada Sun Tiong Kun, justeru itu cucu murid lagi memandang dia, cucu murid ini kaget, lekas-lekas ia berlutut pula, karena ia jeri untuk sinar mata berpengaruh dari si kakek guru.

"Mari pedangmu, serahkan padaku!" Bok Jin Ceng kata pada cucu-murid itu.

Posting Komentar