"Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekalipun!"
Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apalagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walaupun halus dan teratur rapi. Dia memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang amat rapi seperti pakaian seorang pelajar, seorang siucai, rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, biarpun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.
"Sahabat yang baik terlalu memujiilmu silat kami yang tidak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silakan turun dan menikmati secawan arak denganku."
Orang itu tersenyum mengangguk,
"Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!"
Setelah berkata demikian, dia meloncat turun. Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh, akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggauta tubuh lain masih seperti tadi. Juga dia teringat betapa para anggauta Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat diluar pagar tembok, bagaimana orang ini dapat enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?
"Harap maafkan kalau kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?"
Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah, apalagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang. Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum sopan!
"Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Harus bercerita panjang lebar untuk memberitahu dari mana aku datang dan sebetulnya aku tidak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan mendengar kalian berlatih silat, aku ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat, kalau di didik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!"
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agaknya keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia, terhadap kerajaan!
"Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?"
Ouwyang Sianseng tersenyum.
"Aku sejak kecil mempelajari kesusastraan Dan ilmu perbintangan, dan aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas Untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Namsan Sian-jin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,"
Katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandang matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan kekaguman,
"Akan tetapi tentu saja diaharus di didik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Kalau kelak aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar."
Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan merasa tidak senang batinnya. Betapa sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang amat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!
"Nanti dulu, Sobat!"
Katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biarpun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah.
"Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orangitu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku."
Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum.
"Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, Dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, Tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri."
Memang demikianlah, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seolah-olah menerang kan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali. Sementara itu, Siangkoan Liong sejak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu dan kini dia pun merasa penasaran.
"Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi."
Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sian-jin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.
"Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan aku pergi tidak akan mengganggu kalian lagi."
Tantangan ini diucapkan dengan halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.
"Baik, marilah kita memulai perkenalan kita dengan menguji kepandaian, Ouw-yang Sianseng. Dengan cara bagaimana engkau menghendaki mengadu kepandaian?"
Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara. Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan, itu menjura dengan hormat dan tersenyum.