Kisah si Bangau Putih Chapter 29

NIC

Sin-kiam Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan.

Dua orang perwira lain adalah pembantu-pembantunya. Memang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Penyerbuannya ke gurun pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan. Istana Gurun Pasir dan penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, karena mereka semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walaupun mereka bukan orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu, juga terdorong oleh perasaan benci oleh permusuhan sejak dahulu, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.

"Penyerbuan kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah membakar habis istana itu."

Sin-kiam Mo-li lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh tiga orang perwira tinggi itu, dan mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka. Setelah Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-Ciangkun berkata kepada Siangkoan Lohan.

"Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang, bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana hasilnya?"

"Hal itu ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan dapat menceritakan dengan jelas,"

Jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada kepala suku Mongol itu. Kepala suku Mongol yang mengaku putera mendiang Tai-lucin dan Keturunan Jenghis Khan itu, yang usianya sudah lima puluh tiga tahun Mengangkat dadanya yang bidang dan dengan sikap yang agung karena yakin Akan kemampuan dirinya, dia lalu menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia telah mendapatkan banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan kebesaran Mongol, membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai seluruh Cina dan negeri di sekitarnya.

"Jangan khawatir,"

Dia menutup ceritanya.

"Biarpun suku terbesar belum dapat saya bujuk, namun kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, sudah menyatakan persetujuan mereka dan apabila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus ribu orang."

Song-ciangkun dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali Mendengar laporan Agakai itu.

Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan Siasat yang dipergunakan atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas jaga di perbatasan utara. Panglima Coa memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah dapat dibujuk dan dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil menggempur pasukan pemerintah. Akan tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu, mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya. Pula, pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk memperkuat posisinya, dengan Dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok mengadakan gangguan dan pemberontakan.

Dan pihak pasukan pemberontak yang dipimpin Panglima Coa membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan dan kekuasaan Mongol! Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi keuntungan sendiri! Dan Siangkoan Lohan tahu akan hal ini, maka diam-diam dia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau mereka berhasil menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan Coa-ciangkun tentu saja menjadi orang ke dua setelah kaisar!

"Dan bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk Penyebaran mata-mata dan utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa Tai-ciangkun?"

Tanya pula Song-ciangkun. Siangkoan Lohan tersenyum gembira.

"Sudah beres, Ciangkun! Rencana Yang kita jalankan delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka utusan-utusan dan mata-mata kita dapat dengan mudah hilir mudik menyeberangi Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan dalam keperluanitu, telah kami serahkan kepada murid murid kami sendiri yang boleh dipercaya."

Persekutuan ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apalagi ketika pertemuan itu selesai, mereka diantarkan ke dalam kamar masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih, dan lebih hebat lagi, masing-masing di sambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita muda yang siap melakukan apa saja untuk menyenangkan hati tamu agung itu. Siangkoan Lohan memang pandai mengambil hati orang dan untuk itu, dia tidak segan-segan memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung! Ambisi merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki,tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri.

Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain dan membanding-bandingkan, dan keadaan orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih dari pada keadaan sekarang! Dan mulailah kita Melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin di dapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan sekarang, sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri karena mata ini selalu memandang ke adaan orang lain yang serba lebih, dan mata selalu memandang untuk mengejar yang di depan dan cita-cita atau ambisi ini makin dikejar semakin membesar dan semakin menjauh sehingga takkan habisnya kita mengejar,

Sampai mati! Kita di bius oleh kata-kata yang indah seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi. Lalu apakah kita lalu menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tidak melangkah, statis dan acuh, mati kutu? Bukan demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada akan keadaan diri pribadi setiap saat. Kewaspadaan ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tidak dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan, hati yang demikian itu bersih dan akan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat menikmati keadaan bagaimanapun juga. Batin yang kosong dari segala macam nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta kasih adalah bahagia.

Ambisi atau pengejaran keinginan selalu mendatangkan perbuatan-Perbuatan yang menyeleweng! Segala cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara karena tujuanlah yang terpenting bagi seorang yang ambisius. Namun sebaliknya, caralah yang terpenting bagi orang yang waspada, karena cara inilah kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah bayangan, khayalan yang dikejar-kejar. Pengejaran akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta, dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang, menendang orang yang kita anggap menghalang di depan. Pengejaran kesenangan inilah sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan! Hal ini jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata.

Pengejaran kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian, penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi, cara-cara yang di halalkan untuk mencapai tujuannya, yaitu memperoleh uang secara mudah dan banyak, termasuk diantaranya perjudian. Pengejaran kesenangan melalui sex menimbulkan perkosaan, perjinaan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan Melalui kedudukan menimbulkan perebutan kekuasaan, pertentangan, pemberontakan, perang! Apakah kalau begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat, sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limun sekalipun takkan dapat menikmati limun itu!

Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini Adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa diantara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorangpun merasa dirinya kaya raya! Namun,lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walaupun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya! Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siang-koan Lohan adalah untuk melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tidak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab. Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu.

Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih. Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikitpun dia tidak memiliki keinginan untuk memberontak. Dia adalah, seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isteri-nya yang telah meninggal, ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang di hadiah kan oleh kaisar kepadanya. Siangkoan Lohan yang bernama SiangkoanTek Itu selalu merasa berterimakasih dan setia kepada Kerajaan Ceng dan sedikitpun tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak. Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya Di kebun belakang yangsunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji,

"Ilmu silat bagus ....!"

Siangkoan Lohan cepat menghentikan gerakannya ketika memberi contoh kepada puteranya dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya! Akan tetapi, laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.

Posting Komentar