Tek Hoat menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya. Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga.
"Kau.... kau.... kau anak Siok Bi....? Ahhh.... ah tidak salah lagi.... kau.... kau puteranya.... auhh!"
Tubuh itu terguling.
"Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?"
Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat. Tek Hoat bangkit berdiri, termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula. Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan guha di mana selama dua tahun dia melatih diri.
Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.
Karena adanya halangan yang hampir merupakan malapetaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi! Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan "perhitungan"
Bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai "tanda-tanda"
Untuk menentukan sesuatu di masa depan. Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar "perhitungan"
Para "ahli nujum"
Pula.
Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, Dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun! Kaisar menerima surat permohonan itu dan dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apalagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun! Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng.
Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi! Biarpun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan diapun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama.
Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi daripada dia. Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apalagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi! Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan maupun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka. Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan sekali ini,
Kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya! Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan. Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi. yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri,
Dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biarpun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian. Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biarpun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya! Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keingin-an di hati Ceng Ceng.
"Kak Syanti...."
Dia berbisik. Syanti Dewi menengok.
"Ada apakah, Candra?"
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja. Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya. Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi.
Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi. Tak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat.
Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu. Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biarpun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang,
"Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu."
Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.
"Wirrrr....!"
Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang!
Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah. Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biarpun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak "memegang"
Guci yang cukup berat itu membuktikan sin-kang yang amat kuat! Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun,
Sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya. Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang,
"Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini."