Jago Pedang Tak Bernama Chapter 19

NIC

"Tuan muda, kalau saja kau bisa membujuk Hek Houw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu.

Kalau tidak jangan harap kau bisa berlayar ke samudra." "Hek Houw? Siapakah dia?" Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru.

"Hek Houw nelayan muda.

Tapi adatnya sukar diladeni.

Sekarang ia tentu sedang membuang-buang uangnya di kedai arak lagi," kata orang tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Setelah mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan langkahnya kesitu.

Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang kasar dan parau tapi cukup nyaring tengah berteriak-teriak marah.

"Kalian ini semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak tahu arti hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah tabahnya dengan seekor Hek houw (harimau hitam) tulen.

Aku cari uang untuk minum arak, aku bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian.

Apakah kalau tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya? Apakah kalau tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas? Hayo jawab, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!" "Jangan marah, Hek twako," terdengar suara lemah.

"Kami tidak menipumu.

Arak ini memang arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana.

Entah kalau arak ini dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya." "Ah, alasan saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen, tidak seperti ini.

arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?" Bu Beng bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata melotot.

Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut.

Si muka hitam itu masih muda, paling banyak berusia dua puluh tahun.

"Sekarang begini saja.

Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau tidak, kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku agar dapat kupersen pukulan satu-satu." "Kami tidak punya arak tulen selain ini Hek twako." "Bohong!" dan kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu menjadi pecah.

"Sabar, saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?" Hek Houw berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot.

Bu Beng kini dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas.

Wajah yang jujur tapi bodoh, pikiranya.

"Apa? Siapa kau berani menegurku?" Bu Beng tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya untuk mencoba rasanya.

"Hm, benar-benar bercampur air," katanya sambil memandang kepada tukang warung.

"Tidak adakah yang lebih baik?" Tukang warung yang setengah tua berkata perlahan.

"Ada sih ada, tapi Hek Houw hanya mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar.

Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?" Bu Beng tersenyum.

"Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar.

Ini uangnya." Dilemparnya potongan uang perak diatas meja.

Dengan tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng.

"Eh, orang sombong! Kau juga orang kaya yang jumawa ya? Kau kira aku sudi minum arakmu? Kau mau andalkan uangmu untuk bertingkah?" tinjunya yang segede buah kelepa diayun-ayunkan di depan hidung Bu Beng.

"Siapa yang menyombong? Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak minum arak.

Apakah itu sombong namanya?" "Sabar, Hek twako," kata tukang kedai, "tuan ini rupanya mengajak bersahabat denganmu.

Bukankah itu baik sekali?" "Hm, hm," Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung.

"apa maksudmu mencari aku? Ingin membeli ikan? Menyewa perahu?" Bu Beng mengangguk.

"Aku hendak menyewa perahumu." "Tidak bisa!" Bu Beng heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini.

benar-benar seorang yang aneh adatnya, ia pikir.

"Mengapa tidak bisa?" "Tidak bisa, habis perkara.

Jangan banyak cakap seperti perempuan!" Tiba-tiba Bu Beng tertawa.

Hek houw memandang mukanya dengan tercengang.

"Menhapa kau tertawa?" "Karena melihat kekhawatiranmu.

Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya? Jangan takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar." "Hm, aku tak butuh uang!" Bu Beng makin heran tapi ia tertawa lagi, kini lebih keras.

Hek Houw maju setindak.

"Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat hancur kepalamu kutinju.

Mengapa kau tertawa lagi?" "Karena ternyata kau penakut.

Kau takut bertemu bajak sungai." "Kenapa begitu?" "Karena aku hendak menyewa perahumu menuju ke laut." Hek Houw terkejut.

"ke laut?? kau...??" Ia maju lagi selangkah, kini tepat di depan Bu Beng.

"Jangan main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga.

Aku tidak takut bajak sungai atau bajak laut yang manapun juga.

Tapi...

kau sendiri, orang kurus kering dan lemah ini, berani mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani menghadapi bajak sungai?" Bu Beng angkat dada.

"Mengapa aku tidak berani?" "Ha, agaknya kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!" "Sedikit-sedikit aku mengerti," jawab Bu Beng dengan hati geli.

Tiba-tiba Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya.

"Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan perjanjian.

Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera." "Kalau kau yang kalah?" "Aku? kalah olehmu? Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau.

Jangankan ke laut, ke neraka jahanampun akan kuantar.

Dan semua itu tanpa ongkos satu chipun!" "Baik, mari kita keluar," tantang Bu Beng.

Mereka keluar kedaiitu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng dengan keheranan.

Apakah orang itu mencari mampus? Pikir mereka.

Bu Beng berdiri sambil bertolak pinggang.

"Bagaimana kita harus mengadu tenaga? Berkelahi?" "Tidak.

Kalau berkelahi kau akan mampus.

Begini saja kita saling pukul tiga kali.

Kau pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tigakali.

Siapa yang jatuh ia kalah." Bu Beng maju dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang bulat dank eras.

"Ah, dadamu begini lunak.

Lebih baik kau saja yang memukul aku dulu.

kalau aku memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi." Hek Houw terheran-heran, demikian juga enam oranag itu yang memperdengarkan suara ketawa.

Hek Houw menengok kearah mereka.

"Ada apa kau tertawa? Orang ini berhati tabah, tidak seperti kamu!" lalu ia menghadapi Bu Beng lagi.

"jangan kau sungkan begitu kawan.

Lebih baik kau yang memukul dulu." "Tidak, kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau takut." "Apa katamu? Baik, kalau kau mencari mampus sendiri.

Mari bersiaplah!" Bu Beng memasang kuda-kuda dan pasang dadanya.

"Nah, pukullah yag keras." Hek Houw mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng.

Ia hanya menggunakan sebagian tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus.

"Duk!" dan Hek Houw heran sekali karena ia rasakan bagaikan memukul karet hingga kepalanya terpental kembali.

"Ah, puulanmu seperti bakpauw saja.

Empuk dan lunak," Bu Beng mengejek.

Enam orang itu tertawa ditahan.

Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya makin keras.

"Awas, terimalah pukulan kedua." Hek Houw memukul lagi, kini sepenuh tenaga.

"Bluk!" dan orang muka hitam ini makin heran karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga oukulannya tak berbekas! Ia memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir.

Tapi ia masih penasaran dan berkata, "Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!" Kini ia mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya.

"Duk!" dan heran sekali, pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi tangan kananya karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat tangannya ternyata tangan itu menjadi merah biru.! "Sudah puas?" Tanya Bu Beng.

"Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali, cukup sekali saja." Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah.

"Boleh, boleh!" kata Hek Houw menahan sakit tangannya.

"Pukullah, pukullah dadaku dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali." Hek Houw membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot, nampak kuat sekali.

Sambil tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan kanannya memukul kearah dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan.

Semua orang yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga Hek Houw menjerit kesakitan dan jatuh terguling.

Kedua tangannya memegang dadanya dan ia mengerang-erang kesakitan.

"Aduh...

aduh..." kemudian sambil menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di depan Bu Beng.

"Suhu...

ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai.

Suhu akan kuantar kemana saja, biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran padaku tentang cara memukul tadi.!" Bu Beng tertawa geli dan merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya menepuk pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya.

Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga perlahan-lahan tangan itu sembuh kembali.

"Nah, jadi orang janganlah sombong.

Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru berangkat menuju ke laut." Hek Houw tak berani membantah lagi.

Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Baik suhu." Ia mengikuti Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya.

Ternyata Hek Houw adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang kara.

Ia memiliki sebuah perahu yang sederhana tapi kuat.

Maka setelah makan minum berangkatlah mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di kampung itu.

Air sungai Yang ce kiang pada waktu itu tenang.

Perahu terbawa aliran air ditambah dengan tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang berujung runcing itu meluncur cepat sekali.

Lima hari lima malam mereka berlayar dengan cepat, hanya berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampung- kampung sepanjang sungai.

Pada hari kelima mereka tiba di kampung Cin hu chung! Kampung itu besar juga, terlihat dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai.

Ketika perahu mereka sampai di situ.

Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu seakan-akan orang tengah berpesta.

Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan orang-orang nampak gembira.

Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti.

Posting Komentar