Jago Pedang Tak Bernama Chapter 18

NIC

Bagaimana pendapatmu Lui Pangcu?" Lui Im yang sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti pula bahwa Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat kedua orang ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah pengalaman.

Melihat sikap tan Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun bergembira dan sambil tersenyum ia berkata, "Setuju, setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu Beng Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja." Lo Sam tertawa tergelak-gelak.

"Ah, ah memang kedua Pangcu ini jahat dan usilan! Memaksa aku yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago aduan dan mereka berdua dengan enak bertaruhan? Ah, tak beres, tak beres!" Bu Beng tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata, "Ah, mana berani siauwte berlawan tangan dngan Lo Sam Lo-Enghiong? Sudah lama siauwte mendengar kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya? Lui Pangcu sebaiknya kau saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga mukaku!" "Ha, ha kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda," kata Lo Sam.

"belum tentu lohu dapat mengalahkanmu.

Kulihat kepandaianmu lebih tinggi daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu.

Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak sebentar dan memenuhi kehendak kedua Pangcu yang jahat ini." Bu Beng terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap mempersilakan orang tua itu bergerak dulu.

tapi Lo Sam sambil memperdengarkan suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata, "Anak muda, kiam hoatmu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong kiamhoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini." Bu Beng terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda pertahanan.

Lo Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan "awas" ia ayun tongkatnya menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan berkelit kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang saling serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang menonton.

Tak percuma Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan tongkatnya betul-betul hebat.

Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan dan keahliannya untuk dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini.

tapi sambaran tongkat mendatangkan angin tajam mengiris kulit.

Setelah bertempur lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu Beng segera mrubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan pukulan-pukulan Hoa San Pai.

Dalam menyerang ia gunakan Kim Liong Pai dengan denagn campuran Hoa San Pai, sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim Liong Pai dan Go Bi Pai.

Lo Sam mengeluarkan seruan "hebat" karena kagum dan heran.

Ia kagum sekali melihat ilmu pedang campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran bagaimana cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya.

Tak ia sangka bahwa pemuda itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat tunggalnya yang telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun lamanya.

Lo Sam merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu tangkisan dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar menutupi seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat melukainya, Kini ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat kwa mui yang diandalkan.

Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya dari gerakan Bu Beng, bahkan serangan-serangannya berubah=ubah dari delapan penjuru sambil menangkis serangan pemuda itu dari manapun.

Namun biaroun Bu Beng masih muda tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui itupun pernah ia pelajari jalan-jalannya di bawah petunjuk gurunya, hingga kini setelah menghadapi ilmu itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga gerakan-gerakan lawan.

Hanya saja, belum pernah ia menemukan seorang lawan yang demikian mahir dalam ilmu ini dan gerakan-gerakannya banyak terdapat kembangan-kembangannya yang diciptakannya sendiri, Maka tak heran kalau Bu Beng harus berlaku hati-hati agar jangan sampai tertipu.

Makin lama pertempuran berjalan makin hebat hingga ratusan jurus.

Pada suatu saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak Keluar dari Pintu selatan.

Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur kesamping itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga.

Serangan ini hebatsekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan "lihat pokoam" untuk menambah tenaga semangatnya.

Melihat datangnya serangan hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya sedang terdorong maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat kilat ia membalikkan tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping, Terus ia gunakan tenaga sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan.

Dua buah senjata pusaka yang apuh digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga iweekang tinggi beradu di tengah-tengah udara.

Terdengar suara keras sekali dan kedua lawan itu masing-masing merasakan telapak tangan mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak dapat menahan pula, dan kedua senjata itu terlepas dari pegangan! Pada saat itu pula masing-masing meloncat mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik napas.

Lo Sam masih berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju untuk memungut kedua senjata itu.

Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan tongkatnya dengan sikap hormat sekali.

"Lo-Enghiong sungguh gagah, siauwte tunduk sekali." Lo Sam menghela napas.

"Memang gurunya naga muridnyapun naga.

Seumur hidupku dalam perantauan beribu-ribu li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat kau, anak muda.

Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak melawan ular.

Kiam hoatmu luar biasa sekali.

Nah, kini berlakulah murah untuk melayaniku dalam ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja." Bu Beng menjura, "Siauwte bersedia melayanimu, Lo-Enghiong." Demikianlah, jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya menggunakan kepalan dan tendangan.

Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng bahwa Lo Sam tak berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu tongkatnya.

Hanya orang tua itu memiliki kuletan dan kematangan berlatih saja.

Kalau ia mau, dengan mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan pengemis kate itu, tapi Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu.

Maka, ia hanya melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening.

Dalam keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu Beng dengan tipu dewa menyuguh dua buah tho, ialah gerakan sederhana tapi mengandung tenaga dalam yang kuat sekali.

Bu Beng yang melihat bahwa lawannya telah lelah, mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini.

dan mereka lalu mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan bejabat.

Empat tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Raja pengemis kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata, "Bu Beng Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah." Bu Beng segera membalas memberi hormat.

"Lo-Enghiong sengaja mengalah, siauwte yang sebenarnya kalah.

Mendengar kata-kata kedua orang itu.

Tan Pangcu dan Lui Im saling pandang, karena mereka sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul.

Di waktu Lo Sam terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima langkah! Maka kedua Pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan damailah kedua pihak.

"Ha, ha ha! puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih puas lagi karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa.

Cuwi, contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat teladan.

Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan.

Biarlah dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan musim Cun tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan pesta kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari pendirian perserikatan pengemis seluruh daratan timur.

Waktu itu sungai Yang ce sedang tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana." Semua orang menjuru menyatakan terima kasih.

"Kini Taihiap hendak pergi kemanakah?" tiba-tiba Lo Sam bertanya.

Dengan singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang Coat Ho atau pulau ular merah.

Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Perjalanan berbahaya.

Ah, betapapun juga lohu percaya bahwa kau pasti akan berhasil mendapatkan obat itu.

Tahukah Taihiap cara pengobatan dengan mustika ular itu?" mendapat pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya ia belum tahu cara bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu.

"Baiknya lohu pernah mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk menyembuhkan berbagai penyakit beracun.

Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk dicampur dengan obat itu." Tan Pangcu segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis resep itu.

"Taihiap belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan mustika ular itu untuk dimakan oleh yang sakit." Bu Beng menerima resep sambil mengaturkan terima kasih.

Kemudian Lo Sam meninggalkan tempat itu sungguhpun ditahan oleh Pangcu dari Hong bu pang, Bu Beng juga bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.

Karena menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari.

Maka kini ia percepat tindakan kakinya.

Ia berjalan langsung kearah utara dan dua hari kemudian tibalah ia di kampung Po Teng dimana mengalir sungai Yang ce kiang yang lebar dan melintasi kampung itu bagaikan seekor naga raksasa.

Airnya mengalir perlahan tapi jika musim hujan tiba, air itu akan berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana yang dalam beratus-ratus tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa rakyat.

Beberapa perahu tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal menjadi gudang ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan.

Ketika mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang sanggup membawanya ke samudra.

"Ke laut? Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh? Jaman sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat.

Perjalanan itu jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu.

Semua perahu disini hanya sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampung yang berdekatan saja.

Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan berani harus menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk berminggu-minggu," demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua itu.

"Habis, apa yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?" Tanya Bu Beng dengan suara sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendriri.

Nelayan tua itu agaknya kasihan melihat Bu Beng.

Posting Komentar