Tiba-tiba dari atas genteng terdengar jawaban nyaring dibarengi isak, “Ibu, anakmu Siang Lan berada di sini...!” pada saat itu, dari atas genteng berkelebat turun tiga bayangan orang. Siang Lan terus berlari menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ibunya, yang segera memeluknya.
“Benar... kau Siang Lan... Ya Allah terima kasih...” Ibu yang selama bertahun-tahun merindukan pertemuan ini akhirnya tak dapat menahan getaran hatinya dan roboh pingsan dalam pelukan Siang Lan!
Dua bayangan yang lain adalah Souw Cong Hwi yang segera menghampiri Hwe Lan dan The Sin Liong yang menghampiri Sui Lan.
“Sui Lan,” berkata Sin Liong dengan suara perlahan dan gemetar karena terharu, “ternyata bibiku adalah ibumu sendiri...”
Sui Lan tak dapat menjawab, hanya terdengar isaknya dan ia segera lari pula menubruk ibunya yang kini telah siuman kembali dan bertangis-tangisan dengan Siang Lan.
Adapun Hwe Lan yang berdiri bagaikan patung melihat semua ini, tiba-tiba berseru keras, “Tidak...! Tak mungkin...! Tak mungkin aku mempunyai ayah demikian!” gadis yang keras hati itu lalu melompat ke atas genteng dan lari secepatnya.
“Hwe Lan...!” Siang Lan berseru keras. “Enci Hwe Lan...!” Sui Lan juga berseru. “Hwe Lan, anakku...!” Nyonya Lee mengeluh.
Akan tetapi Hwe Lan tidak mempedulikan jeritan-jeritan itu dan berlari terus.
Cong Hwi dan yang lain-lain hendak mengejar, akan tetapi Siang Lan berkata, “Jangan kejar dia! Hatinya keras sekali, jangan ganggu dia dalam saat seperti ini, takkan ada gunanya!” gadis ini sudah kenal baik watak adiknya itu dan tahu bahwa dalam keadaan marah seperti itu, tidak hanya amat sukar untuk membujuk Hwe Lan, bahkan amat berbahaya karena gadis itu mungkin akan memusuhi dan menyerang orang yang berani membujuk agar ia merubah pendiriannya.
The Sin Liong ketika melihat pamannya terluka lengannya dan mengeluarkan banyak darah, segera maju menolong. Ternyata bahwa lengan perwira itu mendapat luka parah dan perlu segera dirawat. Akan tetapi perwira ini seakan-akan tidak mempedulikan luka-lukanya dan tiada hentinya ia berkata,
“Anak-anakku sudah kembali... anakku selamat... ah, terlalu besar karunia ini bagiku yang sudah tua, yang banyak dosa. Anakku kembali sebagai orang-orang pandai...” kemudian ia tertawa bergelak lalu menubruk meja sembahyang Nyo Hun Tiong.
“Nyo Hun Tiong..., kau benar-benar telah mengembalikan anak-anakku!”
Sementara itu, Souw Con Hwi yang melihat Hwe Lan pergi, tanpa mempedulikan cegahan Siang Lan, lalu melompat ke atas genteng dan pergi tanpa pamit.
Melihat keadaan suaminya yang masih menangis dan tertawa di depan meja sembahyang Nyo Hun Tiong, Nyonya Lee lalu menghampiri sambil menggandeng kedua orang puterinya.
“Lihat ayahmu itu,” kata nyonya yang kini telah menjadi segar seakan-akan kembang yang tadinya kekeringan dan hampir layu tiba-tiba mendapat siraman air, “semenjak kalian bertiga diculik orang, ia selalu bersedih dan ia sampai memelihara abu orang yang menculik kalian, yakni Nyo Hun Tiong. Tapi usahanya itu benar, karena buktinya, baru setengah bulan ia membakar rangka Nyo Hun Tiong dan merawat abunya, kalian benar-benar kembali!”
Siang Lan dan Sui Lan masih segan mendekati ayah mereka yang tadinya mereka anggap musuh besar itu, akan tetapi mereka benar-benar kaget melihat betapa di rumah itu benar-benar dirawat abu dari Nyo Hun Tiong yang mereka anggap penolong mereka!
“Ibu, benarkan bahwa Nyo Hun Tiong dahulu menculik kami bertiga? Bagaimanakah sebenarnya duduknya persoalan ini?” tanya Siang Lan kepada ibunya yang masih menggandeng tangannya.
“Marilah kita semua masuk ke dalam agar kami dapat menceritakan duduknya perkara yang sesungguhnya.”
Mereka beramai-ramai masuk ke ruang dalam dan sebelum Lee Song Kang menceritakan pengalamannya, ia bertanya,
“Siang Lan, kau yang terbesar di antara saudara-saudaramu, cobalah kau ceritakan bagaimana asal mulanya maka kau dan adikmu menganggap aku sebagai musuh besarmu.”
Siang Lan bercerita betapa mereka telah ditolong oleh Nyo Hun Tiong dan kemudian dirawat oleh Yap Sian Houw yang menceritakan kepada mereka bahwa mereka adalah anak-anak dari seorang pemberontak atau seorang anak murid Siauw-lim-si yang terbunuh oleh para perwira, dan kalau mereka tidak tertolong oleh Nyo Hun Tiong, tentu mereka akan menjadi korban pula. Kemudian, mereka mendengar dari Yap Sian Houw yang mereka anggap sebagai ayah sendiri bahwa Nyo Hun Tiong penolong mereka itu, tewas di dalam tangan perwira Lee. Kemudian, pada waktu mereka telah dewasa dan telah belajar silat dari Toat-beng Sian-kouw, mereka melihat betapa Yap Sian Houw, guru dan ayah angkat mereka, terluka pula oleh anak panah perwira Lee sehingga menemui ajalnya. “Sudah tentu kami bertiga yang tak kenal ayah ibu, yang semenjak kecil dirawat dengan penuh cinta kasih oleh Yap Sian Houw, merasa sakit hati sekali. Kami merasa bahwa sudah menjadi kewajiban kami untuk membalas dendam kepada orang yang telah membunuh penolong kami Nyo Hun Tiong, dan yang telah membunuh pula satu-satunya penolong yang kami anggap sebagai orang tua kami, yakni Yap Sian Houw! Tidak tahunya, orang yang kami anggap musuh besar kami itu... tak lain adalah ayah kami sendiri! Ah, mengapa bisa terjadi hal begini...? Mengapa ayah... bisa berlaku demikian kejam? Dapat kubayangkan betapa hancur hati Hwe Lan... ia seorang keras hati, jujur dan penuh pribudi tinggi. Melihat bahwa orang yang dianggapnya paling jahat dan paling kejam itu ternyata adalah ayah sendiri, ah, aku tahu... hatinya tentu hancur dan sakit sekali...” tak terasa pula Siang Lan menangis tersedu-sedu, dipeluk oleh Sui Lan yang juga menangis.
Lee Song Kang menarik napas panjang berkali-kali.
“Hm, sampai demikian besar rasa dendam dari Nyo Hun Tiong kepadaku sehingga iamasih berusaha untuk membalas dengan cara yang amat keji, yaitu mengadu anak-anakku sendiri agar membalas dendam kepadaku! Ah, Nyo Hun Tiong... Nyo Hun Tiong...! Akan tetapi aku maafkan dia, telah lama aku maafkan dia semenjak aku menerima rangkanya. Memang, dia mempunyai alasan kuat untuk mendendam kepadaku! Dengarlah Siang Lan, dan kau juga Sui Lan dan Sin Liong, karena betapapun juga, Sin Liong sebagai keponakanku yang telah mempunyai ilmu silat tinggi dan patut pula memikirkan soal ini harus pula mengetahui duduknya hal yang benar, dengarlah kalian penuturanku ini.”
Perwira itu yang wajahnya menjadi pucat karena banyak kehilangan darah dari lengannya, setelah minum arak yang disediakan oleh pelayan yang segera disuruh mundur lagi, menarik napas panjang beberapa kali, lalu mulai dengan penuturannya,
“Sebagai seorang perwira kerajaan yang setia, aku melakukan tugasku membasmi anak murid Siauw-lim-pai yang dianggap memberontak terhadap Kaisar. Dalam usaha ini, aku memimpin anak buahku dan tentu saja tidak semua anak buahku adalah perajurit-perajurit yang taat akan disiplin, bahkan kuakui bahwa di antara mereka banyak terdapat orang-orang yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Oleh perbuatan mereka inilah maka aku dibenci orang-orang kang-ouw, terutama sekali anak-anak murid Siauw-lim-pai. Di dalam sebuah penyerbuan, anak buahku telah berlaku kejam dan membunuh isteri dan anak-anak Nyo Hun Tiong dan tentu saja Nyo Hun Tiong menimpakan seluruh kesalahan kepadaku sebagai pemimpin pasukan itu, sungguhpun ia sendiri tahu bahwa perbuatan yang ganas itu bukan dilakukan olehku sendiri!”
Kembali perwira Lee itu berhenti sebentar untuk minum araknya, agaknya dengan arak itu ia hendak memperkuat hatinya.
“Kemudian terjadilah penyerbuan Nyo Hun Tiong dengan anak buahnya di kota raja. Dia benar-benar nekat dan melakukan pembakaran dan pembunuhan kepada para pembesar di kota raja. Aku memimpin pasukanku untuk menghalau perusuh-perusuh itu, akan tetapi dalam keributan itu, Nyo Hun Tiong yang tak berhasil membunuhku, lalu membalas dendamnya dengan menculik kalian bertiga. Aku mengejarnya dan akhirnya aku dapat melukainya dengan anak panahku, akan tetapi tak berhasil menangkapnya. Ia melarikan diri dan membawa kalian bertiga sehingga akhirnya aku terpaksa pulang dengan tangan kosong!”
Siang Lan dan Sui Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan mereka menjadi amat terharu lalu memeluk ibunya ketika nyonya itu berkata,
“Semenjak itu, aku tidak mengenal lagi artinya senang atau bahagia, aku hampir gila memikirkan kalian, dan semua ini terjadi karena salahnya ayahmu!”
Lee Song Kang melanjutkan ceritanya, “Agaknya Nyo Hun Tiong tewas karena luka yang ditimbulkan oleh anak panahku itu dan kemudian menyerahkan kalian kepada Yap Sian Houw dan guru-gurumu. Kemudian aku bertemu dengan Yap Sian Houw dan melukainya, hal itu kulakukan hanya sebagai tugasku. Aku seorang perwira kerajaan dan dia sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang dibenci bertempur dan mengamuk sehingga para perwira tidak ada yang dapat menahannya tentu saja aku turun tangan dan berhasil melukainya. Sama sekali aku tidak pernah memimpikan bahwa hal ini akan mempertebal rasa dendam di dalam hati kalian, anak-anakku sendiri! Aku menyesal, sungguh-sungguh aku menyesal bahwa dahulu aku tak sadar siapakah orang-orang yang kumusuhi dan kubasmi. Baru sekarang aku menjadi ragu-ragu apakah mereka yang kubasmi itu bukannya orang-orang gagah dan budiman yang berusaha menolong rakyat. Aku bingung... akan tetapi, betapapun keji usaha Nyo Hun Tiong hendak mengadu anak-anakku dengan aku sendiri sebagai pembalasan dendamnya, aku berterima kasih kepadanya. Kalian telah menjadi orang-orang gagah, ilmu silatmu tidak kalah dengan kepandaianku. Kalau kalian dulu tetap bersamaku, belum tentu kalian akan memiliki kepandaian sehebat ini. Sekarang, biarpun kalian measih tetap hendak membunuhku, aku bersedia! Aku akan mati dengan senyum dan bangga, karena selain melihat kalian menjadi orang-orang gagah, akupun dapat meninggalkan ibumu dengan hati tenteram karena telah bertemu kembali dengan tiga orang anaknya!”
Lee Song Kang berhenti bercerita dan menundukkan kepalanya, sedangkan dari kedua matanya menitik air mata karena merasa amat terharu. Agaknya orang tua ini teringat kepada Hwe Lan yang melarikan diri dan yang masih amat membencinya!
Siang Lan mempunyai hati yang lebih sabar dan tenang. Ia dapat berpikir secara mendalam dan setelah mendengar cerita ayahnya ini, lenyaplah dendamnya terhadap perwira ini. Bukan salah ayahnya, dan juga bukan salah Nyo Hun Tiong atau Yap Sian Houw, yang salah adalah keadaan pemerintahan pada masa itu. Ayahnya adalah seorang perwira yang harus bersetia memenuhi tugasnya, dan dalam melakukan tugasnya di waktu itu, ayahnya belum tahu dengan betul keadaan para tokoh Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, yang dianggapnya bukan lain hanya pemberontak-pemberontak dan pengacau-pengacau negara!
Maka ia lalu berlutut di depan ayahnya dan berkata,
“Ayah, jangan berkata demikian. Yang sudah terjadi biarlah lalu. Kesalah pahaman telah menjadi terang dan melihat adanya meja sembahyang untuk menghormati arwah mendiang Nyo Hun Tiong saja, sudah cukup bagiku untuk melihat bahwa ayah bukanlah seorang jahat dan kejam. Kami adalah anak-anak ayah, tentu saja tak mungkin kalau kami menaruh hati dendam kepada ayah...”
Melihat Siang Lan dan Sui Lan berlutut di depannya, Lee Song Kang lalu mengelus-elus kepala kedua orang anaknya itu, akan tetapi suaranya masih penuh keharuan ketika ia berkata,