Maling Budiman Berpedang Perak Chapter 08

NIC

Di dalam kota Seng-koan yang besar dan ramai juga terdapat sebuah panitia macam ini. Pengurus panitia adalah orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di dalam kota itu dan penasehatnya tentu saja pembesar setempat yang berpengaruh. Oleh karena itu di daerah Seng-koan ini seringkali terjadi kekacauan dan perampokan yang dilakukan dengan nekad oleh orang-orang yang hampir mati kelaparan, maka sebagai penjaga dan pelindung panitia ini, diangkatlah tiga orang pembesar yang menjadi cabang atas atau jagoan kota Seng-koan. Tiga orang pendekar ini dijuluki Seng-koan Sam-eng atau Tiga Orang Pendekar dari Sengkoan. Akan tetapi, oleh karena sepak terjang mereka yang tidak sesuai dengan sikap pendekar- pendekar, terlampau membanggakan kepandaian mereka dan tidak segan-segan memukul dan menindas orang-orang yang lemah, maka julukan mereka itu diam-diam dirobah oleh orang-orang menjadi Seng-koan Sam-kwi atau Tiga Setan dari Seng-koan! Setelah diangkat menjadi pengurus dan pelindung Panitia Penolong Korban Banjir, ketiga jagoan ini lalu mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan pemerasan dan perampasan berkedok “minta sumbangan”.

Pada suatu hari, terlihat banyak orang berkerumun di depan sebuah toko yang menjual hasil bumi. Ternyata bahwa telah terjadi percekcokan antara pemilik toko yang bernama Gui San dan seorang di antara Seng-koan Sam- kwi. Gui San adalah seorang pedagang muda yang berdarah panas dan juga mempunyai hati berani dan tabah, oleh karena biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi ia pernah belajar silat di bawah pimpinan orang pandai. Ia baru beberapa bulan tinggal di Seng-koan, maka ia belum kenal betul akan kehebatan Seng-koan Sam-kwi dan berani melawan ketika seorang di antara tiga jagoan ini datang minta sumbangan dengan paksa.

“Orang menyumbang harus berdasarkan hati rela dan suka, sama sekali tidak mungkin diharuskan dan ditentukan besar jumlah sumbangannya! Biarpun menyumbang sedikit, asal memberinya dengan senang dan rela hati, seharusnya diterima dengan baik. Mana ada aturan minta sumbangan dengan secara paksa?” Gui San berkata dengan suara keras sambil bertolak pinggang menghadapi Ban Hui, saudara termuda daripada Seng-koan Sam-kwi.

Ban Hui bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam dan adatnya keras sekali. Mendengar ucapan orang yang disertai muka merengut dan marah, iapun menjadi marah sekali. Sambil menuding dengan jari telunjuknya ke arah hidung Gui San, Ban Hui memaki, “Orang She Gui, jangan kau membuka mulutmu yang lebar dan busuk itu! Kau harus tahu bahwa sekarang ini musim apa? Kau adalah seorang pedagang, maka apa artinya bagimu menderma seratus kantong gandum untuk mereka yang sengsara karena banjir? Kau hidup terlalu kikir hingga kelak kau akan mati seperti seekor anjing! Kau tak mau menderma dan menolong mereka yang menderita, apakah kau hendak makan semua gandummu itu? Betapapun kaya dan kikirmu, yang kau makan tiap hari tak lebih hanya semangkok saja! Apa kau mau mati ditimbuni kekayaanmu?”

Bukan main marahnya Gui San mendengar orang memaki-makinya. “Ban Hui! Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak perduli akan segala gertak sambalmu! Jangan kau pura-pura menjadi orang budiman dan berhati pengasih! Ketahuilah, aku hendak menyumbang sepuluh kantong gandum adalah terbit dari hati kasihanku kepada mereka yang menderita, Biarpun hanya sepuluh kantong gandum, akan tetapi hendak kuberikan dengan tulus ikhlas. Sedangkan kau ini apa? Kau mengeluarkan kata-kata seakan-akan kau seorang dewata yang berhati suci murni, akan tetapi semua orang tahu bahwa ke kantong siapa semua sumbangan itu lari? Ban hui, jangan kau menjual lagak di sini, aku bukan anak kecil. Sepak terjangmu sudah kuketahui betul-betul. Pendeknya, aku hanya mau menyumbang sepuluh kantong gandum kepada panitia, kau sebagai pesuruh panitia tinggal mau terima atau tidak. Kalau mau terima, baik. Kalau tidak mau, tidak apa!”

Ban Hui membelalakkan kedua matanya dan mukanya yang hitam itu menjadi hitam lagi! “Bangsat rendah, kau harus dihajar tahu adat!” Setelah berkata begitu, Ban Hui melompat dan menyerang dengan pukulan Thai-san-ap-teng (Bukit Thai-san Menimpa). Gui San yang berhati tabah itu cepat mengelak dan tiba-tiba ia mengangkat sebuah bangku dan hendak memukul kepala si muka hitam dengan bangku itu. Wajahnya merah, matanya berapi-api! Melihat hal ini, orang-orang yang berkerumun di situ dan yang mengkhawatirkan keselamatan Gui San, segera datang mencegah dan memisahkan. Kedua orang itu masih bersitegang tidak mau mengalah dan menyudahi perkara itu sampai di situ saja. Pada waktu mereka masih meronta- ronta dalam pegangan orang banyak, tiba-tiba terdengar bentakan orang.

“Eh, eh, ada apa ini?”

Semua orang mundur karena yang membentak ini adalah seorang pendek kecil, akan tetapi yang mempunyai sikap dan gaya yang sangat gagah. Inilah Ban Siauw, saudara kedua daripada Seng-koan Sam-kwi, seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan yang sikapnya lebih halus daripada kedua saudaranya, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik sikap yang halus itu, bersembunyi sifat seekor serigala yang jahat dan kejam.

Ketika mendengar duduknya persoalan, Ban Siauw memandang kepada Gui San dengan tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan pandangan yang menakutkan.

“Gui-congsu, kau benar-benar gagah berani. Tak kusangka bahwa di kota kita ini telah datang seorang jagoan berilmu tinggi! Sekarang baiklah diatur begini saja, congsu. Soal sumbangan ini adalah soalnya orang banyak, dan bukanlah menjadi kehendak kami sendiri. Kita telah bertemu dan belum saling berkenalan, maka aku persilahkan kepadamu untuk datang ke gedung panitia pada besok pagi. Di sana kami akan mengadakan sambutan selayaknya dan hendak minta pengajaran darimu. Mari kita berkenalan sambil mengukur kepandaian masing-masing. Dan sebagai iseng-iseng saja, kalau congsu tak dapat mengalahkan kami, congsu harus menyerahkan dua ratus kantong gandum. Sebaliknya kalau kami tak dapat mengalahkan congsu, maka biarlah congsu tak usah mengeluarkan sesuatu untuk menyumbang, sebaliknya kami akan datang ke sini memohon maaf dan mengirimkan bingkisan. Bagaimana, congsu! Setuju atau tidak?”

Memang sifat si pendek ini sangat lihai. Ia dapat melihat bahwa orang she Gui ini berhati keras dan mudah marah, maka sengaja pada akhir kata-katanya ia menggunakan kalimat pertanyaan “setuju atau tidak” ia terang-terangan ditantang orang dan kalau ia menolaknya, maka ia akan dianggap penakut dan pengecut hingga akan menjadi bahan tertawaan penduduk Seng-koan. Apalagi pada saat itu terdapat banyak orang menyaksikan pertengkaran ini, maka ia lalu berkata, “Kalian Seng-koan Sam-kwi sudah kudengar tentang kehebatan namamu. Hari ini aku Gui San tanpa sebab telah digangu, bahkan ditantang, maka terpaksa aku melupakan kebodohanku sendiri dan biarlah besok pagi aku datang.”

Ban Siauw tertawa girang dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus!! Beginilah sikap seorang pendekar yang sekali bicara tentu takkan menarik kata-katanya kembali. Bagaikan ludah yang telah dijatuhkan ke atas tanah takkan dijilat lagi!” Kemudian si pendek ini menggunakan kefasihan lidahnya untuk menyindir dan mencegah agar orang she Gui itu tidak bermuka tebal untuk membatalkan kesanggupannya.

Setelah kedua orang she Ban itu meninggalkan tempat itu, maka banyak orang menyesalkan peristiwa ini dan memberi nasehat kepada Gui San agar supaya pedagang muda itu berlaku hati-hati, karena Seng-koan Sam-kwi terkenal jahat dan kejam. Akan tetapi Gui San yang berhati tabah itu tidak memperlihatkan sikap takut, maka diam- diam semua orang menjadi ingin tahu sampai dimana kepandaian orang ini. Tentu saja mereka ini sebagian besar memihak Gui San dan mengharapkan mudah-mudahan orang she Gui ini dapat mengalahkan dan memberi hajaran kepada Seng-koan Sam-kwi.

Berita tentang akan diadakannya pibu (adu kepandaian) itu tersiar cepat di seantero negeri, hingga terdengar juga oleh Tan Hong yang kebetulan lewat di kota itu. Pemuda ini tertarik juga dan ingin sekali menyaksikan pibu yang disertai taruhan dua ratus kantong gandum itu! Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah berada dalam arus orang yang berbondong-bondong menuju ke gedung panitia penolong korban banjir.

Di depan gedung itu telah didirikan sebuah panggung luitai yang cukup tinggi hingga terlihat oleh semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Para pengurus (panitia) yang telah terdiri dari hartawan-hartawan dan pembesar- pembesar setempat telah pula mendengar tentang pibu ini. Mereka menganggapnya lucu dan merekapun merasa marah kepada orang she Gui yang menolak untuk menyumbang, yakni menurut laporan Seng-koan Sam-kwi, maka mereka lalu datang menonton juga.

Tak lama kemudian, dari jurusan selatan, datanglah Gui San yang bertindak dengan langkah lebar dan dada terangkat. Melihat kedatangan orang muda yang tabah dan berani ini semua penonton menoleh dan memandangnya. Suara mereka terdengar seperti suara sarang lebah di obrak- abrik.

Ban Siauw lalu berdiri di atas panggung dan menyambut kedatangan Gui San dengan tertawa lebar dan berseru keras. “Gui-congsu yang gagah, silahkan naik ke panggung!”

“Baik!” jawab Gui San dengan gagah perkasa, lalu ia melompat ke atas panggung dengan gerakan Burung Walet Menyambar Hujan. Gerakan ini kelihatan indah benar dan tubuhnya seperti melayang ke atas panggung. Para penonton yang tidak mengerti ilmu silat lalu bertepuk tangan riuh rendah menyambut demonstrasi ini.

Akan tetapi, melihat cara melompat Gui San ini, diam- diam Tan Hong merasa khawatir, karena ia maklum bahwa Gui San lebih banyak memiliki ketabahan daripada kepandaian. Juga Ban Siauw yang berkepandaian tinggi dapat mengukur kepandaian lawan dari caranya melompat itu, maka ia tersenyum sinis dan berkata sambil menjura memberi hormat, “Bagaimana, Gui-congsu. Apakah kau tetap bersedia menyumbangkan dua ratus gandum apabila kau kalah?”

Wajah Gui San memerah, karena merasa betapa ia dipandang rendah oleh lawan, seolah-olah ia telah memastikan bahwa ia pasti akan kalah!

“Aku telah datang dan kata-kata yang telah kuucapkan sebagai seorang laki-laki takkan kutarik lagi.”

Posting Komentar