Suling Naga Chapter 22

NIC

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja. Andaikata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang! Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu berbahaya, maka dia cepat mengelak.

"Plakkk!"

Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat dia berhenti berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi. Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sin-kang keras dan lunak, panas dan dingin,

Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan keluarga Pulau Es! Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walaupun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sin-kang yang saling berlawanan itu. Betapapun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati.

Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya. Tentu saja memutar terus senjatanya untuk melindungi tubuhnya memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi semakin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan. Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walaupun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sin-kang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakangnya, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.

Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.

"Tring! Tranggg....!"

Dua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya, terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali.

Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah. Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semua sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu. Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja ia berkata,

"Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku...."

"Kami mengerti, mundurlah kau,"

Kata seorang di antara dua pria kembar itu. Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak diperdulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan nonton dua orang suhunya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya ia berpikir di balik senyumnya yang mengejek. Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Lalu seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus,

"Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"

Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimanapun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka, dan yang lebih memalukan lagi, biar mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya! Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak,

"Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"

Dua orang kakek itu mengang-guk.

"Bagus!"

Kata kakek berjenggot panjang.

"Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang sudah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!"

Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum.

"Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"

"Tidak! Kami datang sengaja uutuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!"

Posting Komentar