Suling Emas Chapter 68

NIC

Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi puteri mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.

"Biarpun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah puteri mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang raja kita?"

Demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami! Akan tetapi, pihak lain membantah dengan sama kerasnya.

"Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapapun juga, langkah seorang wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai puteri mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."

Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara.

Sebagian besar para panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.

"Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."

Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis. Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi berang permainan dan kesayangannya sejak kecil, menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata.

"Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kaulimpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas milikku ini sebagai kenangan-kenangan."

Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata,

"Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini..."

Biarpun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan puteri mahkota ini masih besar sekali.

Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena sungguhpun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada puteri mahkota. Raja Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang tahu entah kemana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan disampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan. Demikianlah, secara singkat dituturkan disini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta.

Tidak terjadi sesuatu diantara raja baru dan Puteri Tayami maupun suaminya karena mereka tidak saling menganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi, sesungguhnya didalam hati mereka itu terdapat semacam "perang dingin". Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja. Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya dimalam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!

Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara Si Kakek Cebol! Mendengar suara Si Cebol, bangkitlah amarah dihati Kwee Seng. Si Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat langkahnya menghampiri arah suara ketawa.

Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sambil memeriksa muka seorang yang menggeletak didepan kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan! Memang aneh kakek itu, ia membungkuk, mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.

"Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jail iblis siluman! Muka Si Cantik halus yang kuarah, kiranya malah bocah tolol ini yang terkena! Heh-heh-heh!"

Makin yakin kin hati Kwee Seng bahwa kakek cebol

ini sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Disamping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Untuk melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu Kwee Seng menanti sesaat. Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba kakek itu berseru.

"Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik...!"

Terkejutlah Kwee Seng, dengan kening berkerut ia menggerakkan muka kekanan kiri, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek itu? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri. Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh.

"Wah, baunya, baunya makin keras! Jembel busuk tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah, bau... bau... tak tertahankan...!"

Kakek itu lalu berbangkis-bangkis. Rasa mendongkol didalam hati Kwee Seng seperti membakar,

"Kakek cebol tua bangka tak sedap dipandang!"

Ia memaki.

"Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor watakmu pun keji seperti ular berbisa!"

Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai kebawah menutupi mata.

"Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang mengotori hawa udara disini! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk daripada muka orang. Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka monyet siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol daripada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak disini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor? Segala macam bangkai dimasukkan kemulut, sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan oleh yang masuk melalu mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!"

Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel ditulang paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara dipagi hari itu amat dingin.

"Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti didepan mata."

Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya diatas tanah, mukanya memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan.

"Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa buktinya?"

Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya daripada ikatan lahir.

Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding! Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti ia kenal, baik mengenal muka maupun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, disamping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini?

"Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak didepan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak didepan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun dimukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sandiri melakukan kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat!"

Posting Komentar