Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari. Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan. Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang diantara para perwira tinggi yang hadir ditempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya.
Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak melihat Ban-pi Lo-cia ditempat itu. Dipanggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang panglima tinggi lainnya, dan disamping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung dibelakang punggung. Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya didaerah Khitan.
Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar dan agaknya menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing diatas. Tak jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton disebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang daripada para pedagang perantau.
"Inilah saat penentuan bagi para pemenang,"
Orang itu menerangkan.
"enam orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah diantara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju kuning!"
Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada ditempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh semangat.
"Perlombaan apa saja yang akan dipertandingkan?"
Ia bertanya gembira. Orang itu menengok. Melihat orang yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han, namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat,
"Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia dimana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin dihormat oranglah kamu! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak diantara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas. Sementara itu, dipanggung, Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh,"
Jawab Raja Kulu-khan.
"Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi? Apa perlunya kau hendak ikut pertandingan?"
Bayisan tersenyum.
"Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja Kulu-khan tersenyum. Didalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga mencari kesempatan "jual muka"
Memamerkan kepandaian, akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!"
Panglima Tua Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja. Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling kearah Puteri Tayami sambil berkata,
"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka itu?"
Setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani. Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh samua orang Khitan meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan, turun tangan diwaktu malam sunyi.
Raja memberi tanda dengan tangan diangkat keatas, terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi diantara penonton, karena ia sudah enak-enak duduk diatas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak. Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya melompat keatas. Hebat lompatan kuda ini.