Si Teratai Emas Chapter 66

NIC

“Ah, aku teringat sekarang, pernah aku melihatmu ketika engkau berkunjung bersama Ibumu di rumah Ayah mertuaku sebelum kalian pindah ke timur.” Wang Liok Hwa yang sudah berpengalaman dapat melihat kecondongan hati dua orang muda itu, lalu memberi isyarat kepada suaminya dan merekapun keluar meninggalkan mereka berdua dengan dalih hendak membereskan barang-barang mereka yang baru dibongkar dari perahu. Chen Ceng Ki yang sudah biasa bergaul dengan wanita, tidak menyia- nyiakan kesempatan itu dan tak lama kemudian mereka berdua bukan lagi duduk berhadapan melainkan bersanding dan bersendau gurau.

“lh, indah sekali penjepit rambut emas di kepalamu itu. Bolehkah aku melihatnya?” kata Mei Li dan sebelum Ceng Ki mengambilkannya, ia sudah menjangkau dan mengambil benda itu dari rambut Ceng Ki.

“Bagaimana kalau kita melanjutkan percakapan di atas? Banyak yang akan kuceritakan kepadamu,” kata Mei Li. “Aku akan senang sekali,” kata Ceng Ki dan merekapun bergandeng tangan naik ke loteng memasuki sebuah kamar yang bersih dan nyaman.

“Nah, apa yang hendak kau ceritakan?”

“Bahwa kita agaknya telah berjodoh, karena Thian telah mempertemukan kita seperti ini.” Tentu saja Ceng Ki merasa girang sekali dan diapun merangkul wanita itu dan keduanya terjatuh ke atas pembaringan. Setelah mereka merasa puas, Mei Li berkata,

“Orang tuaku sedang menderita oleh peristiwa yang terjadi di Ibukota Timur itu. Harta simpanan kami habis di perjalanan. Kalau engkau suka membantu mereka dengan sedikit uang, mereka akan berterima kasih sekali.” Tanpa banyak cakap lagi Ceng Ki mengeluarkan uang lima ons dan Mei Li lalu berlari turun dan menyerahkan uang itu kepada Ayah-Ibunya. Dan malam itu Ceng Ki tidak pulang, bersenang-senang dengan Mei Li dan dia merasa demikian puas dan bahagia seolah-olah dia menemukan Kim Lian ke dua. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lemas kelelahan, Ceng Ki baru pulang untuk menyerahkan bunga keuntungan kepada Cun Bwe. Isterinya, juga Cun Bwe, tentu saja dapat mellhat keadaan tubuhnya yang lemas kecapaian, maka mereka tidak memperbolehkan Ceng Ki keluar lagi selama lima hari.

Hal ini membuat keluarga Han yang berada di Lin-Ceng merasa kebingungan. Uang lima ons pemberian Ceng Ki sudah habis dan mereka membutuhkan uang lagi untuk keperluan sehari-hari. Tidak ada lain jalan bagi Han Tao Ki kecuali mengandalkan isteri dan puterinya. Banyak saudagar hartawan berdatangan ke Lin-Ceng untuk berdagang dan di antara mereka terdapat seorang hartawan she Hou. Hartawan Hou ini berusia lima puluh tahunan dan dia berdagang kain sutera. Tadinya, Mei Li yang ditugaskan Ayahnya untuk memikat hati saudagar ini, akan tetapi hati Mei Li yang dipenuhi kerinduan kepada Ceng Ki, tertutup untuk pria lain. Maka Wang Liok Hwa yang turun tangan dan wanita yang sudah matang dan berpengalaman ini, segera dapat memikat hartawan Hou dan sekali mereka berhubungan, hartawan itu melekat dan tidak mau berpisah lagi.

Tentu saja kini keluarga Han tidak lagi kekurangan uang belanja, sedangkan Mei Li setiap hari masih menanti datangnya Chen Ceng Ki yang menjadi kekasih barunya. Beberapa hari kemudian, setelah memperoleh kesempatan, dengan dalih memeriksa keadaan kedai araknya, Chen Ceng Ki segera pergi ke Lin-Ceng. Tentu saja ini hanya merupakan alasan karena yang terpenting baginya adalah mengunjungi keluarga Han yang menyewa tempat tak jauh dari situ. Dia mendapatkan kekasihnya duduk menulis sesuatu, ditemani Ibunya. Ibu dan anak itu menyambutnya dengan gembira dan Wang Liok Hwa segera turun dari loteng, membiarkan puterinya berdua dengan Ceng Ki. Tentu saja kedua orang ini segera saling dekap dan mereka melepaskan kerinduan yang sudah menyesak di dada.

Mereka hanya beristirahat sebentar untuk membaca sajak yang ditulis Mei Li, sajak yang menyatakan kerinduannya terhadap Ceng Ki. Setelah membaca sajak ini, Ceng Ki merasa terharu dan merekapun melanjutkan kemesraan untuk melepaskan semua kerinduan mereka. Mei Li segera memesan makanan dan arak, dan mereka pun berpesta, makan minum yang diseling cumbu rayu dan permainan cinta. Sementara itu, Wang Liok Hwa yang duduk di bagian bawah, menerima pula kunjungan hartawan Hou. Han Tao Kok segera meninggalkan mereka dan Wang Liok Hwa menjamu tamunya dengan manis budi, berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati hartawan itu. Tiba-tiba muncullah tukang pukul Liu, ipar dari Chang Shong! Orang kasar ini berteriak-teriak, mencari hartawan Hou dan jelas bahwa dia dalam keadaan mabuk. “Mana dia. si keparat dari selatan, Hou itu? Keluarlah!” Tak seorangpun berani melarangnya ketika dia menyerbu masuk dan dia melihat hartawan Hou sedang duduk makan minum bersama Wang Liok Hwa. Melihat hartawan ini, dengan mata merah tukang pukul Liu segera membentak.

“Anjing Hou, engkau masih hutang sewa dua bulan dan uang untuk dua orang pelacur yang sudah melayanimu di kedai arakku tak lama yang lalu. Engkau tidak membayarku sebaliknya engkau malah melacur di sini bersama seorang pelacur baru.” Hartawan Hou terkejut lalu bangkit berdiri dan menyabarkan tukang pukul itu.

“Sabarlah, sahabat Liu. Besok akan kubayar semuanya dan sekarang harap jangan menggangguku.”

“Pembohong tua, engkau patut dihajar!” Bentak Liu yang mabuk dan dia sudah menerjang ke depan dan memukul muka hartawan Hou sehingga hartawan ini terpelanting dengan sebelah muka menjadi biru dan bengkak. Tukang pukul itu kini menendang meja sehingga mangkok piring beterbangan dan melihat ini, Wang Liok Hwa menjadi marah.

“Hei, engkau ini jahanam keparat busuk dari mana berani memasuki tempat orang tanpa permisi? Kau kira aku takut padamu, anjing tukang pukul yang jahat?”

“Tutup mulutmu, pelacur tua, atau akan kutendang keluar semua isi perutmu. Engkau tidak mengenal siapa aku!” bentak Liu marah. Pada saat itu, orang-orang sudah memasuki tempat itu dan melerai. Seorang di antara mereka menenangkan.

“Nyonya Wang, engkau seorang asing di sini, tentu tidak mengenal dia. Dia adalah jagoan di sini, pemilik kedai minuman Liu, ipar dari pegawai kejaksaan Chang Shong, Harap jangan membikin marah dia, Nyonya, agar Nyonya tidak menghadapi malapetaka.” Akan tetapi Wang Liok Hwa tidak takut.

“Kalian orang-orang pengecut! Apakah sudah tidak ada seorangpun laki-laki jantan yang berani menantang jahanam keparat yang jahat ini?”

Untung bagi Wang Liok Hwa bahwa pengurus rumah dan beberapa orang tetangga datang melerai dan menyabarkan Liu, sedangkan Wang Liok Hwa dengan kemarahan meluap-luap sudah lari naik ke atas loteng untuk menemui puterinya dan Chen Ceng Ki. Dua orang inipun sudah mendengar keributan tadi dan Ceng Ki sudah cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali ketika Wang Liok Hwa memasuki kamar itu. Dengan suara gemetar saking marahnya, Wang Liok Hwa menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di bawah. Mendengar ini, Chen Ceng Ki terkejut sekali. Dia mengenal siapa adanya tukang pukul Liu, ipar dari Chang Shong itu dan dia merasa gelisah. Pernah dia berurusan dengan mereka itu dan kini Liu kembali membikin ribut, seolah-olah menjadi pertanda baginya bahwa dari dua orang ini ada bahaya mengancam terhadap dirinya.

Dia harus mengenyahkan Liu dan Chang Shong, bukan hanya Liu, karena Chang Shong juga amat berbahaya. Chang Shong tahu akan hubungannya dengan Cun Bwe dan kalau orang itu mengadu kepada Chow-Taijin, celakalah dia. Dia harus dapat mencari jalan untuk mengenyahkan dua orang kasar itu. Mulailah dia melakukan penyelidikan tentang dua orang itu. Dari hasil penyelidikannya, tahulah dia bahwa Liu adalah seorang tukang pukul yang sudah biasa melakukan pemerasan, seorang yang kasar dan suka sewenang-wenang. Adapun tentang diri Chang Shong, dia mendengar berita bahwa kini Chang Shong melakukan hubungan rahasia dengan Sun Siu Oh. Berita ini menggembirakan hati Ceng Ki karena dia mempunyai bahan untuk menjatuhkan dua orang yang dianggap berbahaya baginya itu. Sementara itu, terjadilah perubahan yang akan merusak semua rencana yang mulai diatur oleh Ceng Ki.

Pada waktu itu, terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh Suku Bangsa Kin. Dengan pasukan berkuda mereka yang amat kuat, mereka menyerbu masuk melewati tapal batas utara. Kaisar Kin Cung menjadi sangat khawatir dan diapun memerintahkan pasukannya untuk memerangi Bangsa, Tartar atau Kin itu. Semua panglima dikumpulkan dan di antaranya termasuk Chow-Taijin yang sudah diangkat menjadi Jenderal. Jenderal Chow ini harus segera bergabung ke markas di Tung-Cang-Fu. Maka kesibukan terjadi di markas dan rumah Jenderal Chow yang mempersiapkan keberangkatannya untuk memenuhi perintah atasan.

Ketika Ceng Ki pulang dari Lin-Ceng dan mendengar bahwa Chang Shong juga diharuskan berangkat, dia mengambil keputusan untuk segera bertindak agar jangan sampai terlambat. Kebetulan sekali Cui Peng, isterinya pergi mengunjungi Ibunya untuk beberapa hari lamanya, maka malam hari itu dengan leluasa dia mengadakan pertemuan dengan Cun Bwe. Cun Bwe juga pada malam hari itu ditinggalkan Jenderal Chow yang sibuk di markas, maka wanita inipun segera menyelinap masuk ke dalam kamar Ceng Ki di mana keduanya melepaskan kerinduan hati masing-masing dalam kemesraan yang memabukkan. Akhirnya, di antara kesunyian malam, Ceng Ki menceritakan apa yang telah direncanakan selama ini.

“Si Chang Shong itu makin lama menjadi semakin keterlaluan,” katanya dengan suara lirih ketika mereka beristirahat dari kelelahan,

“Dia selalu menyombongkan di tempat umum, kepada siapa saja bahwa aku berhutang budi besar kepadanya, bahwa dialah yang menemukan aku. Dan diapun mempunyai saudara ipar yang sombong dan jahat, yang disebut tukang pukul Liu, pemilik kedai arak dan rumah pelesiran. Dia seorang penjahat dan pemeras, dan dia telah bersikap kurang ajar terhadap langganan kedai arakku. Dan yang lebih memalukan lagi Chang Shong itu kini mempunyai hubungan gelap dengan Sun Siu Oh, dan mengambil wanita itu menjadi peliharaannya. Sudah lama aku ingin membicarakan urusan ini denganmu. Kalau dilanjutkan mereka itu merajalela, tentu tak lama lagi kedai arakku akan bangkrut. Dan keadaannya menjadi lebih berbahaya baik bagiku dan bagimu juga, setelah dia kini mempunyai hubungan dengan Sun Siu Oh.” Cun Bwe mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.

“Baiklah, kalau suamiku pulang, aku akan bicara dengan dia dan dua orang itu tentu akan habis riwayatnya.” Kedua orang itu agaknya lupa bahwa dindingpun kadang-kadang bertelinga. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa akan ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Padahal, pada malam hari itu, kebetulan sekali Chang Shong melakukan ronda demi keamanan rumah tangga majikannya. Ketika dia mendengarkan suara-suara dari dalam kamar Chen Ceng Ki, suara laki-laki dan wanita bermain cinta, dia merasa heran dan curiga.

Posting Komentar