Si Teratai Emas Chapter 55

NIC

Kini Cun Bwe, bekas pelayan Kim Lian, mendapatkan nasib yang amat baik sebagai seorang selir dari Pembesar Chouw yang terkasih, ia menjadi isteri ke tiga, akan tetapi karena isteri pertama sudah tua dan berpenyakitan sehingga setiap hari hanya tinggal di dalam kamar sedangkan isteri ke dua baru saja melahirkan seorang anak perempuan, maka segala urusan rumah tangga berada di tangan Cun Bwe sehingga seolah-olah kedudukannya bukan Isteri Ke tiga, melainkan yang pertama. Pada suatu hari, Bibi Pi yang menjadi perantara datang berkunjung dan dari perantara ini, Cun Bwe mendengar bahwa Kim Lian telah diusir dari rumah keluarga Shi Men dan kini tinggal di rumah Bibi Wang, dengan masa depan yang tidak tentu akan nasib bekas majikannya itu, tergeraklah hati Cun Bwe dan ia kasihan sekali, Ia segera membujuk suaminya dengan kedua mata basah air mata,

“Ia adalah sahabatku, sepenanggungan dan kawan sependeritaan. Aku merasa kasihan sekali padanya. Aku akan berterima kasih sekali kalau engkau mengambilnya sebagai isterimu Kalau engkau suka menerimanya, biarlah aku mengalah dan aku menjadi Yang Ke Empat dan ia menjadi Yang Ke Tiga.” Cun Bwe lalu menceritakan tentang kecantikan Kim Lian, memuji-mujinya dengan maksud agar suaminya suka menerima bekas majikannya itu. Tentu saja penawaran isteri tercinta ini menggerakkan pula hati Pembesar Chouw. Dia lalu menyuruh dua orang kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan apakah benar seperti yang digambarkan oleh Cun Bwe, tentang kecantikan wanita yang berada di rumah Bibi Wang, menghubungi Bibi Wang. Agaknya matahari mulai bersinar terang lagi bagi nasib Kim Lian! Niat baik dari Cun Bwe yang penuh setiakawanan itu membuka kesempatan besar baginya untuk kembali memasuki kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan! Akan tetapi, hal inipun belum dapat ditentukan melihat adanya awan hitam tebal yang perlahan-lahan terbawa angin mendekat matahari, mengancam untuk menutup kembali sinar matahari yang baru saja muncul sehabis hujan.

Para pembaca tentu masih ingat kepada Bu Siong, pendekar perkasa pembunuh harimau dengan tangan kosong itu! Dia telah menjalani hukuman buang, kini telah diberi pengampunan dari Istana, bahkan dia diperbolehkan menduduki kembali jabatannya sebagai Komandan Keamanan di distrik. Bu Siong melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari tibalah dia di Ceng-Ho Sian. Dengan Surat keputusan pembebasan dan pengangkatannya kembali sebagai komandan keamanan, dia menghadap pembesar setempat dan diterima dengan gembira karena para pejabat tentu saja senang dengan adanya seorang kepala jaga yang demikian lihainya untuk menjaga keamanan di kota mereka.

Dia tinggal di bekas rumah mendiang kakaknya, Bu Toa, yang berada di Jalan Batu Ungu Dia lalu mengambil keponakannya, Bu Ying, yang dahulu di titipkan kepada keluarga Yao yang menjadi tetangga. Ketika dia mengambil keponakannya, dia mendengar banyak hal dari para tetangga. Dia mendengar bahwa musuhnya, Shi Men, telah meninggal dunia, dan bahwa bekas kakak iparnya, Kim Lian kini tinggal bersama Bibi Wang dan kabarnya akan menikah lagi. mendengar tentang Kim Lian, dendam dalam hatinya berkobar dan dia mengambil keputusan untuk melaksanakan pembalasan sakit hati yang sudah di kandungnya terlalu lama itu.

Pada keesokan harinya, dia mengenakan pakaian baru dan berkunjung ke rumah Bibi Wang, Kim Lian yang seperti biasa berdiri di ambang pintu depan telah melihat kedatangannya dari jauh dan segera mengenalnya. Dengan wajah pucat ketakutan, Kim Lian melarikan diri ke dalam rumah dan bersembunyi ke dalam kamar. Bu Siong melihat hal itu, akan tetapi dia diam saja dan melihat Bibi Wang di pekarangan sibuk dengan penggilingan gandum, Bu Siong memberi hormat dengan ramah. Bibi Wang juga terkejut melihat munculnya pendekar ini, dengan gugup mempersilakan tamunya masuk ke depan, dan menyambut dengan gembira.

“Ah, kiranya engau telah tiba ke rumah.” Nenek ini menyambut Bu Siong Ciangkun (Perwira) untuk mengambil hati.

“Ya, aku telah diampuni dan aku telah kembali untuk beberapa hari lamanya. Aku ingin menghaturkan terima kasih atas kebaikanmu yang telah membantu untuk mengamati rumah kami selama aku tidak ada!” Bibi Wang menarik napas lega.

“Aih, Ciangkun kini sungguh telah berubah sekali. Engkau tampan dan gagah daripada dahulu. Dan jenggot itu cocok sekali untukmu. Tentu kehidupan di tempat jauh itu telah menambah kebijaksanaan Ciangkun.” Bu Siong dipersilakan duduk dan di suguhi air teh.

“Ada hal lain yang mendorongku datang berkunjung, Bibi, Wang. Aku mendengar bahwa Tuan Shi Men telah meninggal dunia dan bahwa bekas Kakak iparku kini tinggal bersamamu, juga aku mendengar bahwa ia mau menikah lagi bibi, maukah bibi bertanya kepadanya apakah ia bersedia untuk menjadi isteriku? Aku ingin agar keponakanku Bu Ying mempunyai sėorang pengganti ibu. la sekarang telah cukup usia untuk menikah, dan aku ingin agar bekas Kakak iparku itu memberi pelajaran kepadanya agar ia dapat memperoleh jodoh yang layak. Selain itu, aku ingin menghilangkan prasangka buruk orang- orang kalau aku hanya tinggal berdua. saja dengan keponakanku itu.” Bibi Wang berpikir sejenak.

“Benar bahwa ia tinggal. bersamaku akan tetapi aku tidak tahu apakah langkah selanjutnya yang akan diambilnya. Sebaiknya aku bertanya kepadanya apa pendapatnya tentang lamaranmu ini.”

“Terima kasih, sampaikanlah kepadanya.” Semetara itu, diam-diam Kim Lian telah mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Melihat pendekar yang gagah perasa itu, dan kiní nampak lebih matang dan lebih tampan, jantung dalam dada Kim Lian sudah berdebar penuh gairah. Inilah seorang laki-laki jantan! jauh sekali bedanya dengan Chen Ceng Ki yang lemah, atau dengan putera Bibi Wang yang kasar dan dusun!

“Ah, kiranya Nasib mempertemukan kita,” pikirnya, girang sekali dan iapun tidak sabar menanti masuknya Bibi Wang ke dalam kamar. Dengan senyum memikat dan menantang, iapun keluar menemui Bu Siong dan memberi hormat dengan sikap paling manis yang dapat diambilnya. Suaranya merdu merayu, matanya mengerling tajam dari sepasang barisan bulu mata yang ditundukkan, mulutnya tersenyum memikat dan tubuhnya yang ramping itu membungkuk seperti batang pohon liu tertiup angin.

“Dengan seluruh perasaanku, adik iparku yang baik, aku menerima penawaranmu dan akan kulakukan apa yang kau inginkan untuk mendidik Bu Ying dengan penuh perhatian.”

“Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh dilupakan!” Tiba-tiba bibi Wang berkata,

“Goat Toanio tentu tidak akan membiarkannya pergi kalau imbalannya kurang dari seratus ons!”

“Kenapa ia minta demikian banyak!” tanya Bu Siong. “Ia mengatakan bahwa mendiang tuan Shi Men telah mengeluarkan uang begitu banyak untuk Kakak iparmu ini, maka sudah selayaknya kalau kini iapun minta tebusan yang pantas.”

“Baiklah. Aku akan membayar seratus ons, juga lima ons untuk upah perantara, untuk menyatakan terima kasihku.” Wajah Bibi Wang segera terbuka penuh senyum ompong.

“Hal itu tentu saja terserah kepadamu, Ciangkun. Sungguh kini Ciangkun telah menjadi seorang yang bersikap bangsawan.” Kim Lian pergi ke dapur dan dalam kegembiraannya ia memasak teh yang terbaik untuk adik ipar yang kini menjadi calon suaminya itu. Sementara itu, Bibi Wang menjadi girang bukan main. Rejeki nomplok ini sama sekali tidak pernah disangkanya akan dilimpahkan kepadanya. Ketika Kim Lian datang lagi menyuguhkan teh wangi, ia segera berkata kepada Bu Siong.

“Sudah ada tiga empat orang berminat kepada Kakak iparmu, Ciangkun, agaknya banyak yang tertarik untuk mengambilnya sebagai isteri dan mereka adalah para pembesar dan hartawan. Karena itu, sebaiknya kalau engkau segera membayar uang tebusan itu, Ciangkun, jangan sampai engkau didahului orang lain.”

“Benar sekali, adik iparku yang baik. Kalau memang engkau ingin mengambil aku sebagai isterimu, jangan sampai terlambat. Aku akan merasa jauh Iebih berbahagia menjadi isterimu daripada dimiliki orang lain.” “Jangan khawatir, besok akan kukirim pembayaran itu dan malamnya aku akan membawamu pulang.” Setelah Bu Siong pergi, Bibi Wang meragukan apakah seorang yang berpangkat komandan pasukan keamanan saja mampu mengeluarkan uang sebanyak itu. Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Siong sudah datang dan mengeluarkan uang seratus ons dari sebuah kantong kulit. Sebenarnya uang ini adalah milik komandan penjara di Mong-Chouw di Tembok Besar yang mempercayainya untuk menyerahkan uang itu kepada seorang keluarganya. Dapat dibayangkan betapa gembira hati Bibi Wang melihat perak bertumpuk-tumpuk di atas meja dan mengeluarkan sinar berkilauan Dengan teliti ia menimbang perak-perak itu karena ia tidak mau kalau dikurangi sedikit saja jumlah yang telah ditentukannya.

“Sekarang aku ingin mengajak Kakak iparku pulang,” kata Bu Siong.

“Kenapa begitu tergesa-gesa? Malam nantipun tidak akan terlambat. Aku akan pergi dulu menyerahkan uang ini kepada Nyonya Goat Toanio, kemudian aku akan mengantarkan Kakak iparmu kepadamu. Sementara itu, di rumahmu engkau dapat mempersiapkan segalanya untuk menerimanya. Peristiwa yang begitu penting selayaknya disambut dengan upacara yang patut pula.” Bu Siong tidak membantah dan pergi. Setelah dia pergi, Bibi Wang berpikir.

“Yang menjadi keinginan utama dari Goat Toanio adalah menyingkirnya Kim Lian yang tidak disukainya, ia tidak menentukan suatu jumlah tertentu. Kuberi dua puluh ons saja ia tentu sudah akan merasa puas.” Ia lalu menimbang dua puluh ons perak, menyimpan sisanya yang delapan puluh, kemudian pergi berkunjung ke rumah Goat toanio. Benar saja seperti diduganya, Goat Toanio puas dengan jumlah itu. Memang yang penting baginya adalah perginya Kim Lian dari rumahnya.

Posting Komentar