Si Teratai Emas Chapter 52

NIC

“Tentu engkau telah minum terlalu banyak lagi.” Shi Men tidak menjawab. “Bagaimana perasaanmu” tanya pula Goat Toanio, kini agak Cemas.

“Aku tak tahu... aku merasa kepalaku kosong dan segalanya berputar di depan mataku” “Tentu engkau tidak dapat ke kantor sekarang.” “Tak rnungkin aku tidak kuat, melangkahpun kakiku berat, mantuku harus menulis beberapa kartu undangan untuk pesta malam ke lima belas.”

“Sudahlah jangan memikirkan hal-hal itu. Engkau harus minum susu untuk menguatkan dirimu.” Cun Bwe, pelayan Kim Lian disuruh cepat lari mencari Yu I untuk minta sebotol air susu dari padanya. Dengan patuh Shi Men minum susu itu, yang sudah dlcampuri obat penguat tubuh oleh Goat Toanio. Kemudian, dipapah oleh isteri dan pelayannya, dia tertatih-tatih pergi ke kamar perpustakaan. Akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia harus kembali lagi karena tidak kuat.

“Engkau harus sedlkitnya beristirahat selama dua hari,” kata Goat Toanio, dan jangan memikirkan tentang undangan dan urusan-urusan lain...” Isteri pertama ini lalu membujuknya untuk merebahkan diri di atas pembaringan dan tidur kembali. Harapan Shi Men untuk dapat bangun kembali setelah mengaso beberapa jam di pembaringan, ternyata sia-sia. Bahkan pada keesokan harinya, lambungnya terasa panas dan dia mendapat kesukaran kalau ingin kencing. Bahkan dia sama sekali tidak dapat bangun kembali. Tabib Yen segera dipanggil.

Ketika tabib ini memeriksa keadaan Shi Men, wajahnya berkerut dan menjadi muram. Dia menggumam tentang penggunaan tenaga yang berlebihan, keletihan, kekosongan pada otak, dan dia memberi resep obat yang dapat mengurangi perasaan nyeri dan tersiksa dari si sakit, namun tidak mengurangi penyakitnya. Dalam kebingungannya, Goat Toanio lalu mengundang Tabib Hou, Tabib tertua dari kota itu yang berusia delapan puluh dua tahun. Tabib ini memeriksa dan menyatakan bahwa keadaan si sakit amat parah, kehabisan daya tahan tubuh karena tenaga yang terlalu dihamburkan dengan bersenang- senang dan menuruti nafsu birahi. Obatnyapun tidak menolong banyak dan keadaan Shi makin hari semakin payah. Hampir semua tabib di kota itu dan kota-kota yang berdekatan telah diundang untuk menolong, namun semua usaha yang dilakukan Goat Toanlo sia-sia belaka.

“Suamiku, apakah engkau hendak mengatakan sesuatu kepadaku?” Akhlrnya Goat Toanio bertanya sambil menangis ketika keadaan Shi Men sudah payah sekali dan seluruh keluarganya sudah berkumpul di sekitar pembaringannya. Beberapa lamanya Shi Men hanya memandangi mereka satu demi satu, kemudian dia menjawab lirih,

“Ya, aku ingin meninggalkan beberapa pesan terakhir. Apabila setelah aku mati engkau melahirkan anak laki-laki, aku ingin agar semua isteriku tetap tinggal bersama seperti saudara dan bersama-sama menjaga dan merawat anak itu. Dan Kim Lian, harus dapat melupakan semua perbuatannya yang telah lalu” Goat Toanio tak dapat menahan tangisnya mendengar ini, diikuti oleh para isteri yang lain. Setelah kebisingan itu mereda, dan setelah napasnya agak longgar, Shi Men melanjutkan, ditujukan kepada Chen Ceng Ki, mantunya.

“Mantuku, karena aku tidak mempunyai putera, engkaulah yang harus mengubur jenazahku sebagai pengganti putera dan selanjutnya, engkaulah yang harus menjadi tulang punggung keluarga kita, melindungi isteri-isteriku. Kuharap saja engkau cukup berharga untuk melaksanakan tugas itu.” Dia berhenti lagi untuk bernapas, karena napasnya sudah terengah-engah.

“Mantuku, setelah aku tiada semua toko harus dihentikan. Toko sutera perkongsianku dengan Saudara Kiao berharga lima puluh ribu ons, jual dan kembalikan modal Saudara Kiao berikut separuh dari keuntungannya. Juga dua tokoku yang lain harus di hentikan dan uangnya disimpan untuk keperluan kehidupan keluarga ini. Yang boleh dilanjutkan hanyalah toko obat yang berharga lima ribu ons, dan pegadaian yang berharga dua puluh ribu ons. Ada pula para piutang yang harus ditagih menurut daftar. Uruslah semua itu.”

“Ayah mertua, saya akan mentaati semua perintahmu dengan patuh,” jawab Chen Ceng Ki dengan suara parau oleh keharuan. Kemudian Shi Men menyuruh panggil semua kuasa dari toko-tokonya, juga pegawai-pegawai terpenting. Kepada mereka dia mengulangi permintaannya tadi dan mereka semua berjanji akan mentaati.

Sesudah itu, Shi Men hanya bertahan hidup satu hari lagi saja. Teman-temannya berdatangan untuk menjenguknya di ranjang kematiannya, dan pada keesokan harinya, setelah mengalami sekarat sampai berjam-jam lamanya dengan sengsara, menderita kenyerian yang hebat, diapun meninggal dunia dalam usia yang tidak lebih dari empat puluh empat tahun. Seluruh keluarganya menangisi kematian Shi Men. Akan tetapi Goat Toanio, yang memiliki watak tenang, tidak mau tenggelam dalam kedukaan. Ia segera menyuruh adik laki-lakinya dan seorang pegawai untuk cepat memesan peti mati yang patut, dan mengambilkan uang untuk keperluan itu. Akan tetapi baru saja hal ini selesai ia lakukan, tiba-tiba ia merasa perutnya nyeri dan iapun segera dipapah oleh para pelayat dalam keadaan kesakitan ke dalam kamarnya.

Dan pada saat di dalam kamar kematian orang masih menangisi kematian Shi Men, di lain kamar terdengar pula jeritan yang nyaring dari seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan oleh Goat Toanio. Pada jam yang sama, Goat Toanio telah menjadi janda dan juga menjadi Ibu. Tentu saja karena baru saja melahirkan, Goat Toanio tidak dapat ikut berkabung di dekat peti jenazah suaminya. Banyak tamu berdatangan untuk menyatakan ikut berbelasungkawa, melayat. Nampak pula Bi Hwa, gadis penyanyi yang menjadi kekasih Shi Men datang melayat dan ia disambut oleh Bibinya, yaitu Li Kiao yang menjadi isteri ke dua dari Shi Men. Dalam kesempatan ini, Bi Hwa menyampaikan pesan Ibunya kepada Bibinya bahwa setelah Shi Men meninggal dunia, Bibi Li Kiao itu telah bebas dan diharapkan kembali ke rumah pelesiran.

“Ibu memesan agar Bibi jangan begitu bodoh, membiarkan diri menjadi janda selamanya tinggal di sini. Sebaiknya Bibi mengumpulkan uang dan perhiasan sebanyak mungkin, dan kembali kepada kami. Bibi harus mengingat masa depan Bibi sendiri.” demikian Bi Hwa mengakhiri pesan itu. Li Kiao tentu saja memperhatikan pesan ini dan berjanji akan bertindak semestinya.

Wang Liok Hwa juga melayat, akan tetapi tak seorangpun dari isteri-isteri Shi Men mau menyambutnya. Dari A Tai, ia mendengar bahwa para isteri itu menyalahkannya karena bagaimanapun juga, Shi Men jatuh sakit setelah malam sebelumnya datang berkunjung kepadanya. Tentu saja Wang Liok Hwa merasa malu dan marah, dan diam-diam ia berjanji akan membalas penghinaan ini. Semenjak hari kematian Shi Men, banyak kesempatan didapatkan oleh Kim Lian dan Chen Ceng Ki untuk mengadakan pertemuan. Setiap hari kedua orang ini mengadakan pertemuan rahasia untuk mengadakan perjinaan, memuaskan gejolak berahi mereka setelah kini mereka tidak melihat adanya penghalang lagi. Shi Men telah mati, dan Goat Toanio tidak dapat meninggalkan kamarnya maka mereka berdua bermain cinta sepuas hati mereka.

Demikianlah kesetiaan hanya menjadi janji mulut belaka. Beberapa hari setelah Shi Men mati, selagi jenazahnya masih hangat berada di dalam peti jenazah dan belum dikubur, masih di dalam lingkungan rumahnya, isterinya yang paling disayangnya mengkhianatinya, berjina dengan mantunya sendiri! Sementara itu, Li Kiao, isteri ke dua Shi Men, juga sudah bersiap-siap mengumpulkan uang dan perhiasan sebanyak mungkin. Setelah jenazah suaminya dikubur, ia selalu mencari kesempatan untuk dapat berselisih pendapat dengan Goat Toanio. Kesempatan itu tiba ketika pada suatu sore ia mendengar dari pelayan bahwa Goat Toanio sedang minum teh bersama Mong Yu Lok, isteri ke tiga. Li Kiao memasuki ruangan itu dan menangis karena merasa dihina dan tidak dihargai oleh Goat Toanio. Kenapa kalau Mong Yu Lok diajak minum teh bersama, ia yang menjadi isteri ke dua tidak diundang?

Ia menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang suaminya dan menangis bergulung-gulung seperti gila. Bahkan malam itu ia berusaha untuk menggantung diri, dan tentu saja para pelayan mencegahnya. Melihat ini, Goat Toanio menjadi marah, memanggil Bibi Li dan minta agar Bibi Li mengajak Li Kiao kembali ke rumah pelesiran. Inilah yang dikehendaki Bibi Li, juga Li Kiao. Wanita seperti Li Kiao adalah wanita yang menganggap tubuhnya sebagai barang dagangan. Siapa mampu membelinya, dia akan memiliki tubuhnya. Pembeli terakhir adalah Shi Men, maka begitu Shi Men meninggal dunia, iapun merasa dirinya bebas untuk dijual kepada siapa saja yang mau dan mampu membelinya. Wanita seperti ini tidak pernah mengenal arti cinta antara suami isteri, rnelainkan hanya mengejar pemuasan nafsu berahi dan nafsu untuk hidup wah dan senang.

Posting Komentar