Daging segala macam binatang ber-limpah ruah, guci arak tak pernah ko-song, dan masakan-masakan termahal dihidangkan.
Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran melihat masakan yang belum pernah mereka ra-sakan sebelumnya.
Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini amat menyenang-kan para tamu.
Tadi mereka dijamu hi-dangan yang royal tanpa merasa sungkan karena pihak tuan rumah hanya mewakil-kan kepada para gadis cantik yang men-jadi anggauta Pao-beng-pai.
Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah, bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucap-an yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ.
Hal ini saja menunjukkan betapa taatnya para anggauta Pao-beng-pai.
Biasanya, para anggauta wanita itu merupakan orang-orang yang galak.
Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu.
Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tidak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka agar melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan puas makan minum sampai kenyang, para ta-mu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan.
Ketua Pao-beng--pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan.
Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilat-an, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Siangkoan Kok memang gagah.
Tu-buhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang, wajahnya yang tam-pan gagah itu berwibawa dan kening-ratan, langkahnya mantap dan gagah seperti seekor singa, sebatang pedang tergantung di pinggang dan pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal walaupun tidak berkesan mentereng.
Rambut-nya tidak dikuncir, melainkan digelung dan diikat ke atas.
Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peratur-an pemerintah Mancu bahwa semua pria diharuskan menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang usianya empat puluh lima tahun, namun masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping.
Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu di-hias senyum yang membayangkan kebang-gaan, seperti senyum seorang puteri ke-rajaan yang menyadari akan kekuasaan-nya, kemuliaannya dan kecantikannya.
Ia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang oleh para anggautanya selalu disebut Toanio.
Semua mata me-mandang kagum karena wanita ini me-mang pantas untuk menjadi seorang wa-nita bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling menarik per-hatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu.
Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati.
Usia-nya sekitar dua puluh tiga tahun, pakai-annya lebih mewah daripada pakaian ibu-nya.
Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata ber-kilauan.
Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin.
Pandang mata-nya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang me-rasa ngeri karena sinar mata itu men-corong seperti mata seekor naga.
Di punggung gadis ini nampak sebatang pe-dang beronce merah, dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu me-rah.
Kebutan pendeta ini sungguh mem-buat orang merasa heran.
Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh se-orang pendeta" Gadis ini adalah Siang-koan Eng, gadis yang pernah menggempar-kan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
Di belakang ayah ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggauta wanita dari Pao-beng-pai.
Mereka ini dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya, dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggautanya disebut Sio-cia atau Nona.
Setelah para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.
Dengan isyarat tangannya, Siang-koan Kok mempersilakan para tamu un-tuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru de-ngan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan penge-rahan khi-kang.
"Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhor-mat.
Pangcu kami mempersilakan Cu-wi untuk duduk dan diharap agar masing-masing memperkenalkan diri, sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran ma-na, dan bertempat tinggal di mana." Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang.
Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini.
Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri.
Satu demi satu, kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpul-an yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka.
Dengan cara demikian, bukan saja tuan rumah mengenal siapa tamu--tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.
Lebih dari delapan puluh orang sudah memperkenalkan diri, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan.
Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat.
Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena me-reka ini termasuk mereka yang meng-anggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh.
Melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya, kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Harap para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, suka memperkenal-kan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!" Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat wakil-wakil dari partai persilat-an yang besar.
Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid Kun-lun-pai.
Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang ter-kenal sebagai golongan pendekar.
Untuk menjaga kebesaran nama partai masing--masing, delapan orang yang sudah saling pandang dan dari pandang mata mereka saja mereka maklum bahwa mereka ber-pendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak mem-perkenalkan diri dan akan melihat per-kembangan selanjutnya.
Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampak-nya ragu-ragu karena mereka pun ber-sandar kepada sikap para wakil empat partai besar itu.
Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mere-ka merasa tidak enak juga.
Mereka ada-lah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka se-cara royal sekali.
Kalau sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan itu.
Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka telah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.
Tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bu-lat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawan-nya.
Mereka agaknya mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
"Kami bertiga mewakili sebuah per-guruan silat, dan sebelum memperkenal-kan diri, kami ingin memrotes cara per-kenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap.
Ka-rena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!" Agaknya ucapan yang gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil empat partai besar mengangguk--angguk dan tersenyum.
Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah.
Semua orang meman-dang ke arah tempat duduk tuan rumah.
Akan tetapi ketua Pao-beng-pai itu, is-terinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi se-suatu dan mereka menyerahkan saja ke-pada gadis berpakaian putih yang me-wakili Siangkoan Kok bicara.
Gadis berpakaian putih itu dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenal-kan diri.
"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya se-tuju dengan usul saudara yang baru ber-bicara.
Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan.
Ketua kami telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) de-ngan penuh kehormatan dan keramahan.
Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah.
"Kalau begitu dengarlah baik-baik.