Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya.
Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar ta-ngan kakak seperguruan atau kakak se-gerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan mak-sud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang me-ngejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kira-nya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudara-nya itu keluar dari kubangan lumpur.
47 "Tolong....
Twako (Kakak Tertua) tolong....!" kini si muka hitam juga ber-teriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya mem-buat tubuhnya cepat sekali amblas sam-pai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya.
Dia mendongkol dan kecewa sekali.
Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh! "Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya men-dongkol.
Mendengar bentakan kakak me-reka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan de-ngan tangan terbuka sehingga kedua le-ngan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedot-an lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.
Sementara itu, orang pertama dari Tiatliong Sam--heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun de-ngan susah payah melawan sedotan lum-pur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergerak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu me-lihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan." Sang kakak mengomel.
"Aih, maafkan kami, Twako.
Meng-hadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu" Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat ke-matian merayap begitu dekat dan ber-angsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti.
Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!" kata si gendut.
"Hemmm, kubangan lumpur ini me-mang berbahaya sekali, Twako.
Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main.
Huhhh!" kata si muka hitam.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan.
Dari atas tadi, gedung itu ter-letak di sana.
Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain." kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan ber-bahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena me-reka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alangalang yang tebal.
Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup mem-buat bulu tengkuk meremang.
Mereka mencari-cari jalan lain.
Akan tetapi sa-ma sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu.
Kalau hendak menguna-kan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang.
Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.
"Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal tangan.
Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.
"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" kata pria si mu-ka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.
Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah.
Kira-nya seekor lintah menempel dan meng-hisap darah di lehernya tanpa dirasakan-nya! Dia bergidik dan menyumpah--nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu.
Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita dari-nya.
Sebaliknya, keuntungan sendiri nam-pak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya.
Demikian sifat dan watak se-seorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar.
"Jangan sem-barangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!" Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.
"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk ja-lan!" Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khikang, dan gemanya ter-dengar dari sekeliling tempat itu.
"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan." tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali ka-rena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau de-ngar, tahutahu telah di situ, tersenyum manis.
Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tem-pat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia! Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata.
"Nona manis, engkau ini bidadari, siluman atau-kah manusia?" Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis ber-pakaian putih itu tersenyum ramah.
"Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)." "Bukan main!" kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara.
"Apakah se-mua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!" 49 Gadis itu menggeleng kepala.
"Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku." "Nanti dulu!" teriak si gendut.
"Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!" "Aku juga!" kata si muka hitam.
Me-reka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Paobeng-pai cantik-cantik se-perti nona ini, dan kalau begitu banyak-nya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampak de-retan giginya berkilauan.
"Jangan kha-watir.
Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana." Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata meng-ambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan.
Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya.
Seperti berebut, si muka hitam dan si gendut segera man-di di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur.
Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntal-an itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor dan kini, mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara menanti kedua orang adik-nya mandi dan mencuci pakaian, si ting-gu kurus yang berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih.
Tidak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu.
Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebut-kan siapa namanya, mengundang orang--orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.
"Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas." demikian katanya mengakhiri keterangannya.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang--orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw.